“Abang janji akan kembali ‘kan? Berkumpul lagi bersama kami?” tanya Meutia Siddiq, menatap sendu netra suaminya.
“Iya. Abang janji!” ucapnya yakin, tapi kenyataannya ....
Setelah kabar kematian sang suami, Meutia Siddiq menjadi depresi, hidup dalam kenangan, selalu terbayang sosok yang dia cintai. Terlebih, raga suaminya tidak ditemukan dan dinyatakan hilang, berakhir dianggap sudah meninggal dunia.
Seluruh keluarga, dan para sahabat juga ikut merasakan kehilangan mendalam.
Intan serta Sabiya, putri dari Meutia dan Ikram – kedua gadis kecil itu dipaksa dewasa sebelum waktunya. Bahkan berpura-pura tetap menjalani hari dimana sang ayah masih disisi mereka, agar ibunya tidak terus menerus terpuruk, serta nekat mau bunuh diri, berakhir calon adik mereka pun terancam meninggal dalam kandungan.
Dapatkah Meutia beserta buah hatinya melewati badai kehidupan?
Bagaimana mereka menjalani hari-hari berat itu ...?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
04 ~ Orang sabar disayang Tuhan
Pertanyaan beruntun itu hanya mampu ditanggapi dengan pelukan sayang. Intan mendekap Sabiya yang menangis tanpa suara, dia sendiri sudah berlinang air mata. “Sabar ya, Dek. Orang sabar kan disayang Tuhan, semoga saja Allah mendengarkan lalu mengabulkan doa kita siang tadi.”
“Iya.” Sabiya mengangguk, air matanya tak kunjung berhenti.
Malam pun semakin larut, jam telah menunjukkan pukul 10. Kedua gadis kecil itu bergantian naik bangku plastik, lalu mencium kening ibu mereka.
“Mamak, selamat bobo ya.” Sabiya mengelap bekas air matanya yang jatuh di kening sang ibu.
Giliran Intan mengecup pipi ibunya – ini adalah rutinitas mereka sebelum tidur. Biasanya ayah dan sang ibu akan membacakan dongeng ataupun mengajak bercerita tentang keseharian mereka. Baik itu sewaktu disekolah maupun di lingkungan kampung.
“Dek, inget pesan ayah ya … baik-baik didalam sini. Hibur Mamak biar sedihnya tak berlarut-larut.” Jari rampingnya mengelus perut tertutup selimut. Kemudian dia turun, ikut berbaring di atas kasur lantai bersama bunda Amala.
“Biya mau tidur dipeluk kak Intan,” Sabiya menolak kala mau di dekap neneknya.
Gadis cantik bermata bulat itu memang sangat dekat dengan kakaknya. Kendatipun sering dimarahi apabila menyembunyikan hewan peliharaan sang kakak, tapi dia tetap saja mengekori kemana saudari berpergian.
Intan yang terbiasa tidur bersebelahan dengan dinding, memilih mengalah karena Sabiya juga tidak bisa tidur bila kakinya belum mengelus permukaan tembok halus.
Belum ada dua puluh empat jam – gadis manis itu mengalami perubahan signifikan. Dia yang terbiasa bercerita, seakan tak pernah kehabisan kosa kata, kini terlihat sangat pendiam. Dia yang biasanya selalu heboh, suka mengganggu para saudaranya, dan menggoda sang tante maupun paman, sekarang memilih abai, bungkam.
Wahyuni dan nur Amala serta nyak Zainab saling pandang. Tanpa kata mereka paham, kalau jiwa Intan Rashid tengah terguncang, tapi berusaha tegar dan baik-baik saja didepan semua orang.
***
Malam pun digantikan oleh pagi.
Intan ditemani oleh neneknya – tengah sholat subuh di musholla rumah sakit.
‘Ayah, Mamak semalam tak tidur. Sebentar-sebentar terbangun dan terus mengigau nama Ayah! Apa ayah mendengarnya? Sabiya pun demam. Ayah cepat pulang ya, Intan takut Yah.’ Cepat-cepat ia bekap nmmulutnya kala tidak mampu meredam tangis.
Nyak Zainab melirik sang cucu, sekuat tenaga menahan diri untuk tidak mendekap. Dia ingin Intan melepaskan segala rasa yang bergelayut di hatinya.
Di ruang rawat. Meutia masih terlelap setelah diberi obat oleh dokter. Semalam tidurnya tak nyenyak, bermimpi tentang suaminya.
Sabiya kedinginan, sesekali sesunggukan dikarenakan merindukan ayahnya. Badannya demam. Putri kedua Meutia memang memiliki fisik sedikit lebih lemah bila dibandingkan kakaknya.
Hasan menggendong, menepuk-nepuk bokong gadis kecil yang kesulitan tidur apabila dosis obat dari dokter habis.
“Sebaiknya Biya dan Intan dibawa pulang saja. Tak baik menginap di rumah sakit apalagi melihat Meutia bentar-bentar histeris,” usul Wahyuni kepada abangnya.
Agam Siddiq setuju. Diapun sudah memikirkan ini sedari semalam suntuk.
Suara ponsel berdering, milik Hasan. Wahyuni langsung mengambil di dalam tas tak dikancingkan. “Assalamualaikum.”
“Walaikumsalam kak Yuni,” sahut suara diseberang sana.
“Bagaimana perkembangannya, Dzi? Apa mau bicara dengan bang Agam?”
“Boleh Kak, tolong kasih ponselnya ke Abang,” pinta Dzikri Ramadhan.
Agam keluar dengan membawa ponsel, diikuti oleh Hasan setelah Sabiya diambil alih oleh Nur Amala.
“Kabar apa Dzi?” tanyanya tanpa basa-basi.
“Sedikit buruk, Bang. Ternyata aliran sungainya bermuara langsung dengan laut lepas. Sebelas orang yang dinyatakan hilang – hu huf!” Dzikri menarik napas panjang nan berat.
Hasan yang ikut mendengarkan pun menahan napas.
Agam meremas ponsel dalam genggamannya.
“Dua di antara mereka, jasadnya telah ditemukan tak jauh dari lokasi jatuhnya bus. Lainnya masih dalam pencarian yang pagi ini aka kembali dilakukan,” lanjutnya berat hati.
“Apa kau baik-baik saja, Dzi? Jaga kesehatanmu, jangan telat makan! Atau mau gantian dengan Ayek, Rizal, maupun Danang? Kebetulan letak lokasi itu tak terlalu jauh dari tempat kost mereka?” Agam menyebutkan tiga nama pemuda kampung mereka yang tengah berkuliah di ibukota provinsi.
“Mereka sudah ada disini, Bang. Semalam sewaktu saya kirim pesan dan mengabarkan tentang Ikram – pada langsung menyusul dan mengajukan diri menjadi relawan. Ini kami bersiap-siap hendak menyusuri sungai bersama tim SAR,” beritahunya.
“Tolong katakan kepada mereka, hati-hati! Terima kasih telah bersedia membantu ya Dzi.”
Setelahnya sambungan telepon genggam pun dimatikan. Agam mengusap kasar rambutnya. “Ya Rabb, hanya kepada-Mu lah kami berlindung serta memohon. Hamba mohon ya Allah yang Maha berkuasa – tolong lindungi Ikram dimanapun dia berada.”
“Aamiin Allahumma Aamiin,” ucap Hasan.
.
.
Menit pun berlalu dan jam berganti serta hari terlewati.
Tepat tiga hari sudah Meutia dirawat – kondisi mentalnya naik turun. Terkadang dia terlihat tabah, tak lama kemudian meraung-raung mengatakan tidak dapat ikhlas. Kemudian termenung seolah hanya ada dirinya seorang di dunia ini.
Pencarian Ikram masih belum membuahkan hasil. Dari sebelas korban yang hilang cuma empat orang telah ditemukan dalam keadaan sudah tidak bernapas.
Dzikri terus memberikan kabar terkini, dia sama sekali tidak pulang ke kampung. Sang istri menyusul membawakan pakaian dan keperluan pribadinya.
Hari ini Meutia diperbolehkan pulang setelah merengek tidak betah, dan mengatakan kalau dirinya baik-baik saja.
Di dalam mobil yang dikemudikan sang abang, Meutia asik termenung menatap keluar jendela.
"Iya. Abang janji. Iya, abang janji!"
'Nyatanya engkau ingkar Bang. Jangankan kembali, memberi kabar pun tidak. Aku menunggu disetiap hembusan napas, berharap ada sms masuk ke ponselku dari Abang. Namun ....' tarikan napasnya terasa penuh beban.
"Tia, apa ada yang kau inginkan? Kebetulan kita masih di area pajak (pasar)." Agam melihat adiknya melalui kaca tengah mobil.
"Mau ketemu bang Ikram," Meutia tidak sadar mengatakan itu, lisannya seperti terprogram secara otomatis.
Hasan memalingkan wajah menatap jalanan yang mulai memasuki perkebunan karet. Hatinya ikut sakit saat melihat adik iparnya seperti raga tanpa dihuni nyawa.
Wahyuni membawa kepala Meutia agar bersandar pada bahunya. Mengelus lembut perut besar adiknya.
***
Isuzu Panther telah memasuki pemukiman kampung Jamur Luobok, Agam memarkirkan mobilnya di halaman rumah sang adik yang bersebelahan dengan huniannya dengan jarak hampir puluhan meter.
"Mamak!"
"Mamak pulang! Hore!" Zain dan Zeeshan, serta adik kandung mereka, Hazeera – memukul-mukul pantat panci dengan spatula, meluapkan kegembiraan mereka atas kepulangan sang tante terkasih.
Siron dan adiknya, Lanira, serta Nia bersama Abangnya, Kamal Nugraha – meniup peluit.
Meutia keluar dari dalam mobil. Tangannya terentang lebar.
Intan dan juga Sabiya yang sedari tadi menunggu dengan perasaan cemas – langsung berlari. Tidak peduli kaki mereka sakit dikarenakan menginjak batu kerikil. "MAMAK!"
"Mamak rindu sangat, Nak. Ayo kita susul Ayah, Nak!"
Nur Amala dan Wahyuni – melihat gelagat aneh Meutia, serta ekspresi kesakitan Sabiya.
"Tarik Meutia, Bang! Jauhkan dia dari Sabiya dan Intan!"
.
.
Bersambung.
#pembacaesmosi