#Yang mau promosi di lapak saya silahkan#
Seri kedua dari novel.
"Istri simpanan Presdir"
Anggia Seorang Dokter cantik terpaksa menikah dengan anak majikan Ibunya karena balas budi.
"Beri aku satu kesempatan Mas. Aku ingin menikah hanya satu kali dalam hidup ku. Dan aku tidak ingin mempermainkan pernikahan"
Anggia Tiffani~
"Tapi kau bukan selera ku. Aku tidak sudi beristri anak pembantu. Dan pernikahan ini hanya karena kau balas budi pada Ayah ku. Itu saja dan kau tidak perlu mencampuri urusan ku"
Brian Wiratwan~
Tidak ada cinta di atara keduanya. Anggia yang terpaksa menikah dengan Brian hanya karena balas budi dan sekaligus syarat untuk Pasha mau membiayai pengobatan Ayahnya.
Dan hal yang paling membuat Anggia menderita adalah. Dirinya setiap hari menyaksikan suaminya bercumbu mesra dengan wanita yang ia bawa ke tempat tinggal mereka.
Sakit bukan?.
Anggia seorang istri tapi masih suci!.
Namun karena suatu insiden yang membuat nya tidak bisa menolak hasrat yang di tawarkan kenikmatan dunia sesaat. Sehingga membuatnya melupakan tabiatnya sebagai seorang wanita bersuami. Dan hubungan terlarang itu terjadi hingga ia mengandung anak dari pria lain. Di saat ia masih berstatus istri Brian Wiratwan.
Lalu apakah yang akan terjadi setelah Suaminya tau dengan kehamilan Anggia?
Sementara ia tidak pernah menyentuh istrinya selama hampir dua tahun menikah.
---
21+
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon IPAK MUNTHE, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 29
TOK TOK TOK.
CLEKK!
"Nyonya," seorang Art memasuki kamar yang di tempati Anggia, dengan membawa nampan berisi makanan di tangannya. Art itu meletakannya di atas nakas dan mulai membangunkan Anggia yang sedang tertidur.
"Nyonya," terdengar suara Art terus memanggil Anggia.
"Em," jawab Anggia dengan rasa malas, dan kesal.
"Saya membawa makanan untuk nyonya," Art itu berdiri di dekat ranjang dengan menundukan kepala.
"Aku nggak lapar!" ketus Anggia, yang ia inginkan saat ini keluar dari vila itu, beberapa kali Anggia mencoba keluar namun Anggia melihat banyak pengawal yang tersebar di sekeliling vila, Brian memang sengaja melakukan itu agar Anggia tidak bisa kabur, ataupun di bawa kabur.
"Nyonya saya mohon," terdengar suara Art itu bergetar dan hampir menangis.
Anggia mendudukan tubuhnya di tengah ranjang, dan menatap Art itu dengan tajam.
"Bawa makanan itu dari sini, aku tidak lapar," ketus Anggia dengan emosi yang masih menguasainya.
"Nyonya dari tadi pagi belum makan, dan sekarang sudah malam nyonya."
"Terus kalau saya nggak makan kenapa kamu yang repot," entah sadar atau tidak Anggia berubah kasar dan sangat mudah emosi apalagi saat ini suasana hatinya sedang buruk.
"Tadi pagi dan tadi siang kami di marahi habis-habisan nyonya, karena kami tidak bisa membujuk nyonya makan. Dan taruhannya pekerjaan kami nyonya, bila kami semua di pecat kami tidak tau harus makan apa," Art itu memohon untuk di kasihani oleh Anggia.
Anggia tidak tega melihat wajah Art itu, ia tau seperti apa Brian. Pria itu adalah manusia kejam yang tak memiliki hati nurani sedikit pun.
"Ya, saya makan," dengan terpaksa Anggia memakan makanan yang di bawakan oleh Art itu.
"Terimakasih nyonya," Art itu terlihat sangat bahagia, bayangkan saja orang lain yang makan namun yang lainnya yang mengucapkan terimakasih, sungguh konyol.
"Udah bawa ini semua keluar dan tinggalkan aku."
"I-iya nyonya."
Tidak lama berselang pintu kembali terbuka dan siapa lagi yang membuka pintu kalau bukan Brian. Brian terus berjalan mendekati Anggia sambil membuka jas yang masih melekat pada tubuhnya, lalu ia melempar ke atas sofa.
"Kau sudah makan?" Brian duduk di sisi ranjang, tangannya mulai menyetuh lengan Anggia.
"Ck," Anggia berdecak kesal sambil menepis tangan Brian.
"Anggi," Brian memanggil sang istri dengan nada yang lembut.
"Apasih," ketus Anggia.
"Jangan begini," ujar Brian sambil terus berusaha memeluk Anggia, namun beberapa kali pula Anggia menepis tangan Brian.
"Janga sentuh aku, berapa kali aku bilang? Jangan sentuh aku!" Anggia berteriak sekencangnya di wajah Brian, entah bagaimana namun sepertinya Anggia sudah sangat membenci Brian.
"Kau istri ku, dan tidak ada yang melarang," jawab Brian.
"Aku bukan istri mu lagi, kita sudah bercerai,"
"Aku sudah membatalkan perceraian kita, dan kau masih istri ku dan akan terus begitu!" Brian mulai berbicara tegas pada Anggia.
"Aku tidak sudi," Anggia terus saja berteriak pada Brian, sepertinya sifat yang selama ini lembut dan anggun sudah tidak ada lagi, Anggia sangat berubah, bahkan Brian tidak pernah tau dengan sifat Anggia yang sekarang.
"Aku tidak ingin berdebat," Brian memasuki kamar mandi tidak lama berselang ia keluar dengan sudah menggunakan baju santai.
Brian menaiki ranjang, lalu membaringkan tubuhnya di samping Anggia. Anggia tidak suka dengan hal itu, rasa jijik memandang Brian sepertinya sudah melekat pada Anggia.
"Ngapain tidur di sini," Anggia turun dari ranjang dan menatap tajam Brian.
"Anggia, aku lelah sekali dan aku ingin istirahat. Jadi tidak usah terus ribut," jawab Brian.
"Heh, kalau kau mau tidur, cari kamar lain aku tidak sudi seranjang dan satu selimut dengan mu!" bentak Anggia.
"Anggia aku sangat mengantuk," Brian menujukan wajah melas.
"Keluar!" Anggia mengambil bantal dan melempar pada Brian.
"Ayolah Anggia, biarkan aku tidur disini dengan mu," Brian menangkup kedua tangannya sambil memohon pada Anggia.
"Keluar!" Anggia melepar guling pada Brian, kemudian menunjuk pintu.
"Ck," dengan kesal Brian keluar dari kamar itu, Brian ingin istirahat dan ia pikir mungkin kalau ia membiarkan Anggia sendiri, Anggia akan lebih tenang. Dan besok Anggia mungkin sudah lebih baik.
"Aaaaaah," Anggia berteriak merasa kesal mengapa bisa ia dengan bodohnya percaya pada Brian, padahal jelas-jelas Brian selama ini selalu menyakitinya.
Anggia keluar dari kamar ia mulai menyusuri vila berniat mencari telpon. Anggia terus berjalan menuruni anak tangga ia kini berada di ruang keluarga, namun yang ia cari sepertinya tidak ada. Anggia pergi keruang tamu dan juga keruang lainnya, namun sama saja di sana tidak ada telpon juga.
Anggia mulai yakin semuanya memang sudah di rencanakan oleh Brian. Anggia mencari kamar Art untuk meminjam ponsel mereka, ia ingin menghubungi Veli. Veli pasti sangat menghawatirkannya, ia sudah seharian pergi dan ini sudah tengah malam namun ia belum juga pulang.
TOK TOK TOK!
Anggia mengetuk pintu kamar yang tidak jauh dari dapur, ia yakin itu pasti pelayan di Vila itu. Dan benar saja tidak lama Anggia mengetuk pintu, pintun di buka oleh seorang wanita yang sudah tidak lagi muda, namun masih terlihat bugar.
"Nyonya," Art itu melihat Anggia dan ia menundukan kepala.
"Siapa nama mu?" tanyan Anggia sambil melihat sekitarnya, ia takut ada Brian yang mengikutinya.
"Nama saya Ani nyonya," jawab Art itu yang sepertinya sangat merasa ketakutan saat melihat Anggia yang datang ke kamarnya.
"Ani saya pinjam ponsel, sebentar," pinta Anggia dengan suara yang cukup lembut menurut Anggia, mungkin jika orang lain yang mendengarnya akan terdengar kasar padahal Anggia sedang berusaha menguasai emosi yang terus menguasai dirinya.
Art itu terlihat bingung dan semakin takut, "Maaf nyonya, saya tidak punya ponsel," jawab Ani dengan tubuh gemetar.
"Tidak punya?" Anggia di buat bingung, tidak mungkin di dunia yang serba cangih ini ada orang yang tidak memiliki ponsel. Apa lagi orang yang bekerja di vila cukup mewah seperti Ani. Kalau pun bukan ponsel mahal, ponsel murah minimal ada.
"I-ya," Ani terlihat ketakutan bahkan tidak berani melihat wajah Anggia.
"Em," Anggia mengerti sekarang, pasti ini semua ulah Brian yang sudah mengancam Art untuk tidak memberikan ponselnya pada Anggia.
Anggia tidak mau terlalu lama berdiri di hadapan Ani, Anggia takut Brian juga memarahi Ani. Pria tidak punya hati itu pasti akan meluapkan emosinya pada semua orang, tanpa melihat siapa orang tersebut. Anggia pergi berjalan kembali kekamar yang tadi ia tempati. Sambil sedikit berpikir bagaimana caranya keluar dari vila itu, terutama lepas dari Brian.