Bagi Aditya, Reina bukan sekadar kekasihnya tapi ia adalah rumahnya.
Namun dunia tak mengizinkan mereka bersama.
Tekanan keluarga, perjodohan yang sudah ditentukan, dan kehormatan keluarga besar membuat Aditya terjebak di antara tanggung jawab dan juga cinta.
Dalam keputusasaan, Aditya mengambil keputusan yang mengubah segalanya. Ia nekat menodai Reina berkali kali demi bisa membuatnya hamil serta mendapatkan restu dari orang tuanya.
Cinta yang seharusnya suci, kini ternodai oleh ketakutan dan ambisi. Mampukah Aditya dan Reina mengatasi masalah yang menghalang cinta mereka berdua?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sylvia Rosyta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16
Beberapa jam kemudian, mobil putih itu akhirnya berhenti di halaman luas kediaman keluarga Wiranegara, sebuah rumah besar bergaya kolonial yang berdiri megah di tengah taman hijau. Dari kejauhan, para pelayan rumah yang melihat kedatangan Bu Ratna langsung berlari mendekat, dibuat terkejut saat melihat keadaan Aditya yang tampak babak belur.
“Cepat bantu saya!” perintah Bu Ratna tegas kepada pelayan rumahnya.
Dua pelayan itu segera membantu menopang Aditya, membawanya dengan hati-hati masuk ke dalam rumah menuju kamar pribadinya di lantai dua. Reina berjalan di belakang, menunduk dalam diam, seolah takut langkahnya sendiri terdengar terlalu keras di rumah besar yang terasa asing itu.
Begitu tiba di kamar Aditya, Bu Ratna langsung meminta mereka meletakkan tubuh putranya di atas tempat tidur besar dengan sprei putih bersih. Wajah Aditya tampak pucat, napasnya pelan, namun matanya masih terbuka sedikit, menatap langit-langit kamar.
“Panggil dokter keluarga kita sekarang juga!Suruh dia datang secepatnya!” perintah Bu Ratna lagi, yang kali ini lebih keras.
Salah satu pelayan segera berlari keluar ruangan. Sementara itu, Reina mendekat ke sisi tempat tidur dan menggenggam tangan Aditya dengan lembut.
“Aditya… Aku mohon bertahanlah, dokter akan datang sebentar lagi." bisik Reina dengan lirih,
Bu Ratna yang berdiri di sisi lain ranjang, menatap pemandangan itu dengan matanya yang mulai basah oleh air matanya. Ia bisa melihat bagaimana cinta dalam tatapan Reina, cinta yang murni, bukan karena harta, bukan karena nama besar.
Beberapa menit kemudian, terdengar langkah cepat mendekat, diikuti suara pintu yang terbuka. Seorang pria paruh baya berjas putih masuk dengan tas medis di tangannya.
“Saya datang, Bu Ratna. Bagaimana kondisinya?” ujarnya sambil menunduk singkat.
“Tolong periksa keadaan putraku, dokter. Jangan biarkan sesuatu yang buruk terjadi padanya." Ucap Bu Ratna dengan cemas.
Dokter itu mengangguk dan segera memulai pekerjaannya. Ia memeriksa denyut nadi Aditya, luka di wajah, serta memeriksa bagian tubuh lain yang kemungkinan mengalami memar. Reina yang berdiri di sisi ranjang, terlihat menggigit bibirnya sendiri setiap kali dokter itu menekan bagian tubuh Aditya yang memar.
Beberapa kali Aditya terdengar mengerang kesakitan, namun ia tetap diam dan tak ingin membuat ibunya khawatir lebih jauh.
Setelah hampir setengah jam pemeriksaan, dokter itu akhirnya berdiri, melepaskan stetoskopnya, lalu menghela napas pelan.
“Lukanya cukup banyak, tapi tidak ada yang fatal. Hanya beberapa memar dalam dan sedikit luka robek di bahu. Saya sudah memberinya suntikan pereda nyeri dan resep obat. Besok kondisinya akan jauh lebih baik, Bu.” ucap dokter itu yang membuat Bu Ratna menghela napas panjang, lalu mengangguk dengan lega.
“Terima kasih banyak, Dokter. Tolong kirimkan obatnya secepatnya.”
“Baik, Bu Ratna.” Dokter itu menunduk, lalu keluar dari ruangan.
Begitu pintu tertutup, suasana kamar itu kembali hening. Hanya suara napas Aditya yang teratur dan lembut terdengar di antara keheningan itu.
Bu Ratna kemudian menatap anaknya lama sekali sebelum akhirnya beralih pada Reina. Senyum lembut namun penuh arti menghiasi wajahnya.
“Reina,” panggilnya pelan.
Reina yang masih menunduk langsung menatapnya, dengan matanya berkaca-kaca.
“Iya, Bu?”
“Tolong rawat Aditya untuk sementara waktu ini. Aku percaya padamu,” ucap Bu Ratna lembut namun tegas. “Aku tahu kau tidak akan meninggalkannya dalam keadaan seperti ini.”
Reina tertegun.
“Tapi… Bu… saya—”
“Sshh…” Bu Ratna menyentuh pundaknya pelan. “Kau tidak perlu berkata apa-apa. Aku tahu seperti apa perasaanmu pada anakku. Dan mulai malam ini, kau tinggal di rumah ini. Aku akan mengurus semuanya. Jangan khawatirkan apa pun, Nak.”
Air mata pelan pelan jatuh dan membasahi pipi Reina. Ia menunduk dalam diam, menangkup tangan Bu Ratna, dan mengecupnya dengan hormat.
“Terima kasih, Bu. Saya akan menjaga Aditya dengan segenap hati saya.”
Bu Ratna mengangguk, lalu menatap Aditya sekali lagi dengan senyum getir.
“Istirahatlah, Nak. Ibu akan bicara dengan Ayahmu nanti. Untuk saat ini, kau hanya perlu istirahat.”
Setelah memastikan semuanya aman, Bu Ratna perlahan meninggalkan kamar dan menutup pintu dengan lembut. Kini hanya ada Reina dan Aditya di kamar besar itu.
Reina berdiri beberapa saat di samping ranjang, menatap wajah lelaki yang terbaring lemah di hadapannya. Setiap helaan napas Aditya terasa seperti sebuah pengingat betapa rapuhnya kehidupan yang selama ini ia pikir kuat. Lalu perlahan, tanpa bisa menahan perasaannya, Reina berlutut di sisi tempat tidur dengan tangannya yang kemudian menggenggam tangan Aditya yang dingin.
“Semua ini karena aku,” bisiknya lirih sambil menahan isak. “Kalau saja aku tidak keras kepala, kalau saja aku tidak menyebabkan mu untuk melawan mereka, kau tidak akan seperti ini, Aditya.”
Air matanya mengalir deras, dan menetes ke atas punggung tangan Aditya.
“Aku… aku seharusnya pergi darimu sejak awal supaya kamu tidak perlu terluka seperti ini, Aditya.”
Tapi sebelum ia sempat berkata lebih jauh, sebuah sentuhan lembut menghentikan tangisnya. Jari-jari Aditya yang lemah menggenggam tangannya perlahan, lalu menariknya hingga tubuh Reina condong ke depan dan dalam sekejap, tubuhnya jatuh ke dada Aditya.
Reina terkejut.
“A-Aditya…”
Dengan suara serak namun lembut, Aditya berbisik di telinganya,
“Jangan pernah sekali kali menyalahkan dirimu, Reina. Aku yang memilih jalan ini. Aku yang memutuskan untuk memperjuangkan mu, bukan karena paksaan siapa pun.”
Reina masih terisak dalam pelukannya. Tubuhnya gemetar, tapi Aditya mengangkat tangan kirinya dan mengusap punggung Reina dengan lembut, sembari berusaha menenangkan gadis itu yang kini menangis dalam diam.
“Lihat aku, sayang.” ujar Aditya dengan pelan.
Reina mengangkat wajahnya, menatap mata Aditya yang sayu namun penuh keteguhan.
“Aku masih di sini, bukan?” lanjutnya dengan senyum kecil. “Aku masih bisa memelukmu, itu artinya aku baik-baik saja. Kau tidak perlu mencemaskan aku.”
“Tapi…” suara Reina bergetar, “aku takut… aku takut kehilanganmu…”
Aditya menggeleng pelan, lalu menatapnya dengan dalam.
“Kau tidak akan kehilanganku, Reina. Karena selama aku hidup, aku akan selalu ada di sisimu.”
Kata-kata itu seperti menenangkan badai dalam hati Reina. Tangisnya perlahan mereda, dan ia menunduk, menyandarkan kepalanya di dada Aditya. Ia bisa mendengar detak jantung laki-laki itu yang lemah, tapi nyata. Dan di antara setiap detak itu, ada cinta yang tak tergoyahkan oleh siapa pun.
Waktu seakan berhenti di kamar itu. Di luar, langit mulai berwarna gelap. Sinar matahari sore yang semula menembus tirai tipis di dalam kamar itu kini menghilang dan digantikan oleh cahaya lampu kristal yang terdapat di langit langit kamar yang cahayanya jatuh dengan lembut ke wajah mereka, seolah dunia ingin memberi kehangatan pada dua jiwa yang saling mencintai meski diselimuti oleh luka.
/Speechless//Speechless//Speechless//Speechless/