ini adalah perjalanan hidup clara sejak ia berumur 5 tahun membawanya bertemu pada cinta sejatinya sejak ia berada di bangku tk, dan reymon sosok pria yang akan membawa perubahan besar dalam hidup clara. namun perjalanan cinta mereka tidak berjalan dengan mulus, akankah cinta itu mempertemukan mereka kembali.....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Spam Pink, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
episode 29
Ponsel itu masih bergetar di kasur, seolah tidak sabar ingin membuat seluruh isi dada Clara pecah berkeping-keping. Tangan Clara gemetar begitu kuat ketika ia meraihnya kembali. Napasnya naik turun cepat—terlalu cepat—sehingga ia harus duduk bersandar pada kepala ranjang untuk tidak jatuh pingsan.
Ia memandang layar.
Tidak ada yang lain muncul.
Hanya satu email itu.
Dan instruksi untuk bersiap menerima panggilan khusus selama 3 menit.
Tiga menit.
Clara menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan.
“Aku bahkan bisa menangis sejam penuh kalau cuma kebayang wajah kamu… gimana aku harus bertahan CUMA tiga menit, Rey…?”
Namun di balik kepanikan itu, ada sesuatu yang membuat seluruh tubuhnya hangat.
Reymon… akan bicara dengannya.
Suara itu. Nafas itu. Ketegasan lembut khas Reymon yang selama ini hanya hadir lewat mimpi dan ingatan.
Clara memeluk lutut. Dadanya terasa sesak.
“Ya Tuhan… aku kangen banget…”
Waktu begitu lambat. Sakit. Seperti ditarik dengan paksa.
Clara berdiri, duduk, jalan mondar-mandir, lalu berhenti dekat jendela. Langit masih gelap, dengan bintang-bintang kecil tampak samar.
“Rey pasti juga lagi lihat langit gelap…” gumamnya pelan.
Di luar sana, di sebuah tempat terpencil yang tidak bisa ia bayangkan… Reymon sedang berjuang.
Ia menggenggam gelang.
“Rey… aku takut. Kalau panggilan ini bikin aku makin kangen dan nggak bisa tidur berhari-hari, gimana?”
Tapi ia tahu… jawaban itu jelas:
Tetap terima panggilan itu.
Karena kesempatan seperti ini mungkin tidak akan datang lagi selama pendidikan Reymon berlangsung.
Panggilan Masuk
Bunyi tring yang lembut namun menghantam seperti petir terdengar di kamar.
Clara sontak menoleh.
Layar ponselnya berubah.
“Panggilan Masuk: Komunikasi Khusus pasukan khusus”
Durasi maksimal: 3:00 menit
Clara menutup mulut kuat-kuat. Napasnya tercekat. Lututnya hampir roboh.
Ia mengusap air mata, mencoba mengatur suara walau jelas tidak mungkin stabil.
Lalu… ia tekan tombol hijau.
Butuh dua detik sebelum suara itu terdengar.
Dua detik yang seperti 10 tahun.
“Clara…”
Clara langsung jatuh terduduk di lantai sambil menangis. Tangis yang tanpa suara di awal, lalu berubah menjadi isakan tertahan.
“Rey… Rey… oh Tuhan… Rey…” suaranya pecah.
“Hey…” Suara Reymon terdengar pelan… serak… letih… tapi sangat hangat. “Clara… aku di sini.”
Clara menunduk, air matanya menetes tanpa henti ke lantai.
“Kamu beneran… kamu beneran nelpon aku? Itu kamu kan? Bukan mimpi kan?”
Reymon tertawa kecil—suara yang begitu ia rindukan, suara yang mampu menenangkan badai di hati.
“Aku beneran. Ini aku. Clara… aku kangen kamu.”
Clara memukul dadanya sendiri karena terlalu penuh emosi. “Aku kangen kamu lebih… Rey… aku kangen kamu tiap hari… tiap malam…”
“Aku tahu,” jawab Rey dengan suara pelan. “Aku juga kangen kamu tiap aku bisa berhenti sebentar. Kamu selalu di kepala aku.”
Clara terisak keras. “Kamu baik-baik aja? Kamu makan? Kamu—”
“SSST.” Reymon memotong lembut. “Waktu kita cuma tiga menit, sayang. Dengerin aku, ya?”
Clara menggigit bibir. Air matanya tetap mengalir, namun ia berusaha hening.
“Ya… aku denger, Rey…”
“Clara… aku bangga banget sama kamu.”
Tubuh Clara bergetar hebat.
“Kamu denger aku?” Rey menegaskan. “Aku bangga. Sama perjalanan kamu. Sama kekuatan kamu. Sama tulisan kamu. Sama semua yang kamu lakukan selama aku pergi.”
Clara memejamkan mata. “Kamu baca novelnya?”
“Nggak boleh. Di sini nggak ada akses,” jawab Rey dengan sedikit tawa kecil. “Tapi aku dengar… dari orang luar. Dari keluargamu. Dari Dinda. Dari dunia.”
Clara terkejut. “Dinda…?”
“Dinda cerita kalau kamu meledak sebagai penulis. Kalau kamu menang lomba, jadi asdos, IPK naik… semuanya.”
Clara menutup wajah. “Rey… aku pengen kamu lihat sendiri semua ini…”
“Aku akan lihat.” Reymon terdengar lebih tegas. “Aku janji.”
Clara terdiam sambil terisak.
“Kamu hebat, Clara.”
Selama lima detik, mereka hanya saling dengar napas.
Napas Rey terdengar berat. Mungkin karena latihan melelahkan.
Napas Clara terdengar patah-patah karena rindu dan lega bercampur menjadi satu.
“Rey…” suara Clara bergetar, begitu kecil. “Kamu masih sayang aku?”
Reymon langsung menjawab tanpa ragu:
“Aku nggak pernah berhenti.”
Clara memejamkan mata lagi, semakin kencang.
“Terus… kamu pernah takut aku berubah?”
“Enggak,” jawab Rey pelan tapi pasti. “Karena aku lihat kamu tumbuh. Dan aku mau kamu terus tumbuh. Bukan buat aku… tapi buat kamu sendiri.”
Clara mengusap pipinya yang basah.
“Rey… aku takut kamu berubah, tau…”
Reymon tertawa kecil. “Jangan takut. Aku nggak punya waktu buat lihat perempuan lain. Bahkan buat mikirin apa pun selain bertahan hidup di sini aja susah.”
Clara terengah, setengah menangis, setengah ingin menertawakan pahitnya.
“Kamu… kamu masih suka bilang hal-hal yang bikin aku lemah gini…”
“Aku cuma jujur.”
Sebuah suara pelan terdengar di sisi Rey—semacam instruksi, tanda bahwa waktu hampir habis.
Clara langsung panik.
“Rey? Rey?! Jangan tutup dulu! Jangan tutup! Aku belum—”
“Clara, dengar aku.” Suara Rey tiba-tiba tegas, penuh tekanan waktu. “Aku mungkin nggak bisa hubungi kamu lagi sampai kelulusanku. Ini… mungkin satu-satunya panggilan.”
Clara menggigit bibir sampai nyaris berdarah. “Ya Tuhan… Rey…”
“Jadi tolong… jangan berhenti hidup cuma karena nunggu aku.”
Clara menggeleng. “Aku hidup, Rey… aku terus hidup… tapi aku hidup sambil nunggu kamu.”
Reymon tertawa kecil, lirih.
“Kamu… Clara… kamu selalu begini…”
“Tiga puluh detik,” terdengar suara dari jauh di sisi Rey.
Clara membeku. “Rey… Rey jangan—jangan tinggalin aku sekarang… please…”
“Clara.”
Suara Rey membuat Clara langsung diam.
“Aku pulang.”
Clara menjerit kecil. “Kapan?!”
“Lebih cepat dari yang kamu kira.”
“Rey—”
“Dan saat aku pulang…” suaranya merendah, lembut, namun mengandung kekuatan yang membuat seluruh tubuh Clara merinding. “…aku mau kamu ada di sana. Menyambut aku.”
Air mata Clara mengalir deras. “Aku akan ada. Aku akan tunggu. Aku janji.”
“Sepuluh detik.”
Clara mencengkeram ponsel.
“Reymon… aku cinta kamu… tolong jangan lupa itu… please jangan lupa aku…”
“Mana mungkin aku lupa seseorang yang bikin aku mau hidup lebih keras dari sebelumnya?”
Clara terisak. “Rey—”
“Clara…”
“Ya?”
“Aku pulang buat kamu.”
— KLIK.
Panggilan terputus.
Hening.
Clara masih memegang ponsel di telinga, walau sambungan sudah mati. Tangannya melemah. Tubuhnya gemetar.
Dan akhirnya—ia jatuh terduduk di lantai.
Tangisnya pecah keras. Bukan tangis sedih.
Tapi tangis campuran dari rindu, lega, bahagia, takut, bangga… semuanya.
“Rey… Rey… Rey…”
Ia memeluk dirinya sendiri, seperti memeluk sisa kehangatan Rey yang tersisa dari telepon barusan.
Itu terlalu singkat.
Terlalu menyakitkan.
Tapi juga terlalu indah.
Tiga menit… yang mengubah segala sesuatu.
Clara mengangkat wajah, matanya bengkak namun bersinar.
“Rey pulang… Rey bakal pulang…”
Ia berdiri perlahan, seolah baru menapakkan kaki pertama ke dunia baru.
“Dan aku harus siap.”
Ia menatap cermin.
Matanya merah, rambutnya berantakan, tapi ada cahaya baru.
Cahaya harapan.
Pagi itu, Clara bangun dengan mata bengkak, tapi hatinya penuh.
Namun sebelum ia sempat bangun sepenuhnya, ponselnya berbunyi.
Bukan Rey—karena Rey tidak mungkin menghubungi lagi.
Notifikasi dari penerbit.
Notifikasi dari rumah produksi.
Notifikasi dari kampus.
Dan satu notifikasi yang membuat dahi Clara berkerut.
Sebuah pesan dari nomor tak dikenal.
Tidak ada nama.
Hanya satu kalimat:
“Kamu siap untuk semua konsekuensinya, Clara?”
Clara langsung duduk tegak.
Jantungnya berdegup keras—lebih keras dari pada saat menerima telepon Reymon.
“Siapa… ini…?”
Namun pesan itu tidak menjawab.
Dan saat Clara ingin membalas, ponselnya berbunyi lagi—
Kali ini, panggilan dari seorang yang tidak terduga.
Seseorang yang tidak pernah ia kira akan muncul…
Dengan kabar yang—jika benar—bisa mengubah seluruh hidup Clara dan Reymon.
BERSAMBUNG…...