carol sebagai anak pungut yang di angkat oleh Anton memiliki perasaan yang aneh saat melihat papanya di kamar di malam hari Carol kaget dan tidak menyangka bila papanya melakukan hal itu apa yang Sheryl lakukan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ScarletWrittes, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 25
Setelah sampai di rumah, Anton hanya menghela napas panjang. Tak lama kemudian, Carol datang menghampiri papanya.
Gadis itu langsung mendekap Anton dengan erat. Anton yang melihatnya sempat kaget.
“Halo, Papa. Papa ke mana sih? Kok lama banget pulangnya? Padahal Carol udah pulang dari tadi, loh. Papa nggak jemput Carol lagi,” ucap Carol dengan nada sedikit kesal.
“Maafin Papa ya, Nak. Tadi Papa lagi ada urusan, makanya nggak sempat jemput kamu. Bukannya kamu yang bilang nggak mau dijemput karena takut dikira anak kecil?” jawab Anton sambil tersenyum kecil.
“Kok Papa gitu sih? Aku kan cuma bercanda. Kenapa Papa malah anggap itu serius banget? Padahal aku cuma bercanda, loh,” sahut Carol sambil manyun.
Anton hanya tersenyum mendengar perkataan anaknya. Dalam hati, ia merasa bahwa anak perempuan memang sulit dimengerti.
“Jadi, kamu maunya gimana? Papa jemput atau nggak?” tanya Anton.
“Aku maunya Papa jemput, tapi kalau Papa nggak mau ya nggak apa-apa. Aku bisa pulang sendiri kok,” jawab Carol dengan nada setengah ngambek.
Anton mulai memahami bahwa memiliki anak perempuan memang lebih rumit dibanding anak laki-laki. Kadang bisa marah tanpa alasan yang jelas.
“Jadi sekarang kamu maunya gimana?” tanya Anton lagi.
“Nggak tahu. Kan Papa duluan yang kayak gitu,” jawab Carol ketus.
Anton hanya bisa menghela napas. Di satu sisi ia sangat menyayangi anaknya, tapi di sisi lain ia bingung harus bersikap seperti apa.
“Ya sudah, Papa minta maaf ya. Papa janji nggak akan kayak gitu lagi,” ucap Anton lembut.
Carol tersenyum mendengar kata-kata itu. Anton kemudian mengusap kepala putrinya dengan penuh kasih.
“Papa benar-benar minta maaf, ya. Papa nggak akan melakukan hal yang bikin Carol marah lagi. Papa janji.”
“Okay, Pa. Aku juga minta maaf karena udah ngomong kasar. Mungkin aku juga salah,” ujar Carol dengan nada menyesal.
Anton tidak menyalahkan Carol. Ia tahu dirinya juga kurang peka terhadap perasaan anaknya.
Tiba-tiba, ponsel Anton berdering. Tertera nama “Mama” di layar. Anton pun menjawab.
“Halo, ada apa, Ma?” katanya sambil berjalan menjauh.
Carol yang melihat papanya pergi tanpa menjelaskan apa pun menjadi bingung. Ia pun diam-diam mengikuti dari belakang. Dalam benaknya muncul banyak tanda tanya — apakah Papa sedang menyembunyikan sesuatu?
“Gimana, Mah, rumah barunya bagus nggak?” tanya Anton di telepon.
“Baguslah, kan dari anak Mama. Masa nggak bagus rumahnya,” jawab suara di seberang.
“Aku senang kalau Mama juga senang,” sahut Anton lagi.
Carol yang mendengar percakapan itu mulai berpikir — apakah papanya punya istri lain di luar sana?
“Kapan-kapan aku main ke rumah Mama lagi, ya. Kalau Mama nggak keberatan,” lanjut Anton.
“Ya nggak lah, justru Mama senang kalau kamu datang. Jadi Mama punya teman ngobrol,” jawab suara perempuan itu.
“Kalau gitu nanti aku kabarin aja, ya, kalau mau ke sana.”
“Ah, nggak usah. Datang aja langsung, ini kan rumah kamu juga,” balas perempuan itu dengan nada manja.
Anton tertawa kecil. Carol yang melihat dari jauh tidak menyangka papanya bisa tersenyum selembut itu. Biasanya, ia hanya melihat wajah serius setiap hari.
Ia ingin menghampiri, tapi takut mengganggu, jadi hanya mengamati dari kejauhan. Setelah telepon berakhir, Carol buru-buru masuk ke kamar.
Sementara itu, Anton selesai menelepon dan pergi mandi. Usai mandi, ia baru ingat kalau tadi sedang berbicara dengan Carol.
Anton keluar kamar mandi hanya dengan handuk yang melilit pinggang. Saat itu, Carol sedang mengambil minum di dapur. Ia terkejut bukan main hingga hampir menyemburkan air minumnya.
“Papa! Kenapa nggak pakai baju sih? Papa tuh bikin mata aku lihat hal yang nggak boleh dilihat!” serunya spontan.
Anton langsung menunduk malu dan mempererat pegangan pada handuknya. Rambutnya masih setengah basah ketika ia hendak mengambil gelas di dekat Carol.
Carol spontan memejamkan mata karena gugup. Ia kira papanya sudah pergi, tapi ketika membuka mata — tanpa sengaja bibirnya menyentuh dada bidang sang ayah.
Anton terdiam sesaat. Mata mereka saling bertemu. Ia kemudian mencubit pipi Carol pelan.
“Bandel, makanya jangan berdiri di situ. Papa kan mau ambil gelas, malah kamu yang halangi,” ujarnya sambil tersenyum kikuk.
Saat Carol berbalik hendak pergi, hampir saja gelas di atas rak jatuh mengenai kepalanya. Untung Anton cepat menahan.
“Pelan-pelan, Carol. Nanti gelasnya jatuh kena kepala kamu. Bisa sakit, tahu!” ucap Anton khawatir.
Setelah memastikan semua aman, Anton menutup lemari. Carol pun cepat-cepat meninggalkan dapur dengan wajah memerah.
Anton merasa panas, begitu juga Carol. Anton bahkan mengambil es batu dari kulkas untuk menenangkan diri.
Di kamar, Carol menempelkan kedua tangannya ke pipi yang memanas. Ia bingung — kenapa jantungnya berdegup begitu kencang? Apakah ia barusan berbuat tidak sopan kepada papanya sendiri?
Ia mencoba menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri. Ia sadar, itu hanyalah kejadian spontan. Tidak ada yang salah, tapi juga tidak sepenuhnya benar.
Sementara itu, Anton di ruang kerjanya tidak bisa tidur. Ia terus memikirkan kejadian tadi. Ia takut, takut kalau sampai melakukan hal yang tidak pantas terhadap anaknya sendiri.
Anton menunduk lemas, merasa bersalah atas pikiran yang sempat melintas di benaknya. Ia tahu betul — itu anaknya sendiri, dan ia tidak boleh terpancing oleh hal-hal yang salah.
Keesokan paginya, di meja makan, suasana tampak hangat kembali. Carol tersenyum pada papanya, begitu pula Anton. Ia pikir mungkin Carol sudah melupakan kejadian kemarin.
“Pagi, Pa.”
“Pagi, Sayang.”
“Sarapan, Pa?” tanya Carol lembut.
Anton mengangguk. Namun tak lama, telepon dari klien masuk dan Anton harus mengadakan meeting dadakan di ruang kerja rumah.
Carol yang melihat itu merasa kasihan. Papanya belum sempat makan, tapi sudah sibuk lagi.
Ia pun berinisiatif membawa makanan untuk papanya. Ia tahu, Papa sering melewatkan waktu makan.
Namun, saat masuk ke ruang kerja, Carol justru terkejut. Ruangan itu ternyata tempat impiannya — rapi, nyaman, dan penuh dengan makanan ringan.
Ternyata papanya memang sudah menyiapkan semuanya di sana. Carol jadi salah paham. Mungkin bukan karena lupa makan, tapi karena memang sudah terbiasa bekerja sambil ngemil.
Anton menoleh dan tersenyum saat melihat Carol.
“Pa, ini makanannya,” kata Carol sambil meletakkan piring.
“Terima kasih, Sayang.”
“Loh, Papa udah mute suaranya?”
“Sudah dong. Masa iya Papa nggak mute, nanti malu,” jawab Anton sambil tertawa.
Carol ikut tertawa kecil. Ia tidak menyangka papanya bisa selucu itu. Setelah itu, ia pamit untuk berangkat ke sekolah.
Di depan rumah, bodyguard sudah menunggu. Wajah mereka yang seram membuat Carol agak risih.
Ia takut teman-temannya jadi enggan mendekat karena kehadiran para bodyguard itu. Tapi Carol tetap menghargai kerja keras papanya yang ingin melindunginya.
Ia tahu, Papa selalu melakukan yang terbaik untuknya. Karena itu, Carol berjanji tidak akan pernah mengecewakan papanya sedikit pun.
Selama perjalanan, Carol menata rambutnya — ia memang suka mengikat rambut dengan gaya berbeda setiap hari.
Setelah sampai di sekolah, Carol memberi kode agar bodyguard-nya menjaga jarak. Para bodyguard itu hanya mengangguk patuh, sementara Carol melangkah masuk dengan tenang, berharap hari itu berjalan lancar.