Demi kabur dari perjodohan absurd yang dipaksakan oleh ayahnya, Azelia Nayara Putri Harrison nekat meminta bantuan dari seorang pria asing yang ditemuinya secara tidak sengaja di jalan.
Namun pria itu bukanlah orang biasa—Zevian Aldric Rayford Steel, pewaris utama keluarga Steel; sosok yang dingin, ambisius, arogan, dan… anehnya, terlalu cepat jatuh hati pada wanita asing yang baru ditemuinya.
Saat Zevian menawarkan pernikahan sebagai jalan keluar dari imbalan yang dia minta, Nayara menyetujuinya, dengan satu syarat: pernikahan kontrak selama 2400 jam.
Jika dalam waktu itu Zevian gagal membuat Nayara percaya pada cinta, maka semuanya harus berakhir.
Namun bagaimana jika justru cinta perlahan menjawab di tengah permainan waktu yang mereka ciptakan sendiri? Apakah Zevian akan berhasil sebelum kontrak pernikahan ini berakhir?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BYNK, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 9: Tentang Nayara
Cahaya matahari sore menembus lapisan kaca besar yang berjajar rapi di sisi barat ruangan kantor pribadi Zevian. Sinar keemasannya membentuk siluet lembut di dinding marmer putih, menciptakan kesan hangat yang kontras dengan suasana dingin dan profesional dalam ruangan itu. Meja kerjanya penuh dengan dokumen-dokumen bertumpuk rapi, beberapa berkas terbuka di hadapannya, dan layar komputer menyala menampilkan grafik serta laporan penting.
Zevian duduk di kursi kulit hitam berdesain mewah, membungkuk sedikit, jemarinya sibuk mengetik sambil sesekali memindai angka-angka dengan tatapan tajam. Rambut hitam legamnya sedikit berantakan, memberikan kesan acuh tak acuh yang justru semakin mempertegas pesonanya. Kacamata berbingkai tipis bertengger manis di hidung mancungnya, membingkai kedua mata tajam yang tampak fokus dan penuh perhitungan.
Cahaya matahari yang menyentuh sebagian wajahnya tidak mampu mengalihkan perhatiannya dari tumpukan pekerjaan yang harus segera diselesaikan. Udara dalam ruangan itu terasa hening, hanya terdengar suara samar dari kipas pendingin udara dan detak jam dinding yang bergerak teratur.
Namun, keheningan itu terusik ketika suara ketukan pintu terdengar dari luar, disusul dengan panggilan pelan namun jelas.
Zevian menghentikan gerakan jemarinya di atas keyboard, gerakan yang selama ini begitu cekatan mendadak terhenti ketika telinganya menangkap ketukan pelan dan suara yang terdengar dari luar pintu. Ia menoleh perlahan, dengan sorot mata tajam yang menyipit sedikit, mencoba mengenali siapa pemilik suara yang baru saja menyapanya.
"Aku masuk," ujar Aditya sembari mendorong daun pintu yang kini berdecit pelan saat terbuka. Zevian hanya menggumam singkat.
"Hm," suaranya berat dan dalam, sebelum kembali memusatkan perhatian pada layar di hadapannya. Cahaya biru dari monitor memantul samar di lensa kacamatanya, memperjelas betapa dalam ia terbenam dalam pekerjaannya.
"Aku bawakan hasilnya," ucap Aditya, melangkah masuk dan langsung mendudukkan dirinya di salah satu kursi tamu berlapis kulit di hadapan meja kerja Zevian. Pandangannya tertuju pada jari-jari sahabatnya yang masih sibuk mengetik, tak sedikit pun menanggapi ucapannya.
Aditya menarik napas pelan, memilih diam, dan menunggu dengan sabar. Ia tahu benar kebiasaan Zevian—ketika sedang fokus, lebih baik tak ada satu pun yang mencoba menyela. Pandangannya menyapu ruangan yang sunyi, hanya diisi suara lembut detik jam dan dengungan AC yang stabil. Waktu berjalan pelan, seperti menyesuaikan irama napas seseorang yang sedang menahan diri.
Beberapa menit berlalu hingga akhirnya, Zevian menghentikan semua gerakannya. Ia melepas kacamatanya perlahan dan menutup layar laptopnya dengan satu gerakan ringan namun tegas. Tatapannya kini beralih pada Aditya, lebih tenang, namun tetap menyimpan kesan tajam.
"Apa?" tanyanya akhirnya, nada suaranya tak berubah, tenang namun mendominasi. Aditya tak berkata apa-apa sejenak. Ia membuka tas kerjanya, mengeluarkan sebuah map berwarna kuning, lalu menyodorkannya ke atas meja.
"Tentang My Angel," ucap Aditya sambil menatap mata Zevian dengan serius.
"Biodatanya?" tanya Zevian kembali, memperjelas sambil menyipitkan mata, nada bicaranya sedikit menurun, seolah sedang bersiap untuk sesuatu yang tak terduga.
"Segalanya, bahkan tentang hal yang mungkin akan membuatmu terkejut." jawab Aditya pelan, namun tegas.
“Maksudnya?” tanya Zevian, keningnya mengernyit dalam, ekspresi wajahnya menggambarkan ketidakpahaman yang jelas. Aditya mengangguk pelan. Tangannya membuka lembaran pertama dari map kuning itu dan menunjukkannya pada Zevian, matanya tak lepas menatap sahabatnya yang kini tampak mulai kehilangan fokus pada dunia di sekitarnya.
“Dia putri tunggal keluarga Harrison. Azelia Nayara Putri Harrison,” ucap Aditya dengan nada tenang, namun cukup jelas untuk menghantam kesadaran Zevian secara tiba-tiba.
Sekilas, waktu seolah berhenti Zevian membeku di tempatnya. Bibirnya terbuka sedikit, tetapi tak satu pun kata yang mampu meluncur keluar. Matanya menatap kosong pada berkas di atas meja, seolah tak percaya pada apa yang baru saja didengarnya.
“Dia... sungguh?” ucap Zevian akhirnya, dengan suara yang jauh lebih pelan dan nyaris terdengar seperti gumaman.
“Ya, mungkin ini kurang sopan, tapi kenapa kamu mengurung dia di rumah? Apa kamu menyukai-nya?” Tanya Aditya, matanya tajam dan penuh pertanyaan, mencoba menyelidik lebih dalam.
Zevian terdiam sejenak, matanya menyipit, sorot tajamnya tidak pernah lepas dari wajah Aditya. Perlahan, ia menurunkan tangannya yang sejak tadi terlipat di atas meja, mencoba menenangkan diri.
“Perlukah mempertanyakan hal seperti itu?” jawab Zevian, dengan nada datar yang berusaha menyembunyikan ketegangan di dalam dirinya. Aditya tidak terpengaruh dengan nada datar Zevian. Tatapannya semakin dalam, seperti mencari kebenaran di balik setiap gerak tubuh sahabatnya itu.
“Ini bukan sifatmu, Ze. Aku paham tentang dirimu lebih dari sekedar kata. Aku berteman denganmu bukan sehari dua hari, kamu tidak akan melakukan hal seperti itu jika bukan karena sesuatu,” ujar Aditya dengan nada yang lebih serius. Zevian mendengus pelan, matanya memicing, seolah mencari cara untuk menghindar dari pertanyaan itu.
“Apa maksudmu, Dit? Jangan bertele-tele. Kamu membuatku pusing. Apa kamu tahu sesuatu tentang dia yang tidak aku ketahui? Sudah seberapa lama kamu mengenalnya?” tanya Zevian dengan nada bingung, suaranya mulai terdengar sedikit terputus-putus, seakan merasa terpojok oleh pertanyaan yang begitu dalam. Aditya menatap Zevian sejenak, kemudian berbicara dengan tenang namun penuh keyakinan.
“Sejak pertama kali kamu bertemu dia, terlihat jelas bahwa matamu menggambarkan rasa cinta yang begitu besar untuknya.” Kata-kata itu seolah menampar Zevian dengan keras, membuatnya terdiam beberapa detik, seakan kata-kata itu mengguncang bagian paling dalam dari dirinya. Namun, Zevian segera membalas dengan ketegasan yang sedikit dipaksakan.
“Apa yang kamu tahu?” tanya Zevian dengan nada menuntut, tatapannya berubah tajam, menuntut penjelasan lebih lanjut.
“Tatapanmu itu, tatapanmu padanya, sama seperti tatapanmu pada Dewi dahulu. Aku sudah lama tidak pernah melihatmu menatap, dan memperlakukan wanita seperti itu. Bukankah wajar jika aku bertanya dan curiga kalau kamu mencintai-nya?” Ujar Aditya, suara lembut namun penuh makna yang mendalam.
Zevian merasakan sesuatu di dalam dirinya teraduk, sebuah perasaan yang tak bisa ia ungkapkan. Wajahnya berubah menjadi lebih tegang, dan sejenak dia terdiam, seolah tidak tahu bagaimana harus menanggapi pernyataan Aditya yang begitu langsung.
“Itu tidak mungkin,” jawabnya, suaranya sedikit lebih keras, mencoba meyakinkan dirinya sendiri. “Kamu terlalu banyak menonton film romantis... Aku hanya tertarik pada sikap jual mahalnya. Dia berbeda dari wanita lain, dan aku merasa tertantang untuk menaklukkan-nya. Bukan berarti aku menyukainya,” lanjutnya, sambil terkekeh pelan, berusaha menunjukkan bahwa kata-katanya itu tidak serius, meskipun ada sesuatu yang tak bisa ia tutupi.
Aditya memandangi Zevian dengan tatapan yang semakin tajam. Seolah ada sesuatu yang belum terungkap, sesuatu yang mengganjal di pikirannya. Dengan langkah mantap, Aditya melangkah lebih dekat, duduk di ujung meja Zevian, dan mulai melontarkan serangkaian pertanyaan yang penuh dengan penekanan.
“Kenapa kamu memberikan tumpangan pada Nayara waktu itu? Kamu yang biasanya tidak pernah mau dekat dengan wanita manapun setelah kepergian Dewi, kenapa justru dia yang kamu izinkan tinggal di rumahmu? Ada apa dengan semua ini, Zevian?” tanya Aditya, suaranya serius namun penuh rasa ingin tahu. Zevian menarik napas dalam, mencoba menenangkan detak jantungnya yang mulai berdetak lebih cepat. Ia menatap layar laptopnya, berusaha menghindari tatapan tajam Aditya yang menuntut jawaban.
“Itu... hanya kebetulan. Dia minta tolong, tidak ada yang lebih dari itu.” jawab Zevian, suaranya terdengar ragu, tak meyakinkan. Aditya menyilangkan tangan di dada, wajahnya semakin tegas.
“Kebetulan? Kau bahkan tidak pernah memberikan kesempatan pada wanita lain untuk mendekat, bahkan setelah Dewi pergi. Lalu, kenapa sekarang? Apa yang membuatmu bersikap berbeda? Apa alasanmu memberi tumpangan padanya?” ujar Aditya lagi yang membuat Zeivan menundukkan kepala, mencoba mencari kata-kata yang tepat. Namun semakin ia berusaha menjelaskan, semakin dalam perasaan bingung itu menyelimuti dirinya.
“Aku... aku tidak tahu, Dit. Semua terasa seperti... seperti dorongan tanpa alasan yang jelas. Aku hanya merasa... harus membantunya.” ujar nya namun Aditya tidak terpengaruh oleh jawaban yang kabur itu. Ia melanjutkan pertanyaannya dengan penuh ketegasan.
“Lalu kenapa kamu menguntitnya? Kenapa kamu meminta aku mencari informasi pribadi tentang dirinya? Kamu bahkan menanyakan segala hal yang berhubungan dengan hidupnya, tapi juga kehidupan pribadinya. Apa yang sebenarnya kau cari, Zevian?” tanya aditya lagi yang membuat Zeivan terdiam sejenak. Wajahnya berubah semakin keras, matanya tertutup sejenak, seperti menghindar dari kenyataan yang tengah dibicarakan.
“Aku hanya ingin tahu lebih banyak tentang dia, bukan berarti aku berniat buruk. Aku hanya... penasaran.” jawabnya terbata, tidak tahu bagaimana harus menjelaskan.
“Penasaran? Kau bahkan tidak ingin tahu apa-apa tentang wanita lain, tapi dengan Nayara, kamu begitu terobsesi. Apa sebenarnya yang ada di dalam pikiranmu, Zevian?” tanyanya, suaranya kini penuh dengan penekanan yang berat.
“Aku... aku tidak tahu. Semua ini terasa rumit. Aku hanya merasa ada sesuatu yang menarik dari dirinya. Sesuatu yang membuatku tidak bisa mengabaikannya.” Suaranya merendah, hampir tak terdengar, seakan ia juga tidak yakin dengan perasaan yang mengalir di dalam dirinya.
“Lalu, kenapa ketika kamu melihatnya bersama orang lain, kamu marah? Apa yang membuatmu begitu cemburu, Zevian?” tanya Aditya, suaranya lebih lembut namun tetap dengan rasa penasaran yang mendalam.
“Aku tidak tahu... Aku merasa marah, itu saja. Tapi itu bukan karena apa yang kamu pikirkan,” jawabnya cepat, hampir terdengar seperti pembelaan diri. Aditya mendekat, menatap Zevian dengan intensitas yang tidak bisa dipungkiri.
“Jangan berbohong pada dirimu sendiri, Zevian. Aku sudah berteman lama denganmu, aku tahu betul bagaimana perasaanmu, meskipun kau berusaha menutupinya.” ujar nya yang membuat Zevian menggigit bibirnya, tidak bisa menghindar dari kenyataan yang Aditya ungkapkan. Ia tidak bisa menampik bahwa selama ini, ada sesuatu yang berbeda dalam dirinya ketika berhadapan dengan Nayara. Sebuah perasaan yang ia sendiri tidak bisa jelaskan.
“Aku tidak berbohong,” jawabnya, meskipun hatinya masih dipenuhi kebingungannya sendiri. “Aku hanya tidak tahu bagaimana menjelaskannya. Semuanya terasa... rumit.” lanjut nya yang membuat Aditya mendesah pelan, menatap sahabatnya dengan campuran rasa khawatir dan prihatin.
“Aku tahu ini sulit bagimu, Zevian. Tapi kalau kamu terus berlarut-larut seperti ini, perasaanmu akan semakin membuatmu bingung. Kamu harus menghadapi kenyataan itu. Apakah kamu benar-benar hanya tertarik karena dia berbeda, atau ada perasaan lain yang lebih dalam darinya?” ujar Aditya yang membuat Zevian terdiam tidak bisa menjawab, karena hatinya sendiri belum mampu memberikan jawaban yang pasti. Semua perasaan itu terasa begitu membingungkan, begitu rumit, dan lebih besar dari sekadar ketertarikan sesaat.
Aditya hanya mengangkat alis, menatap Zevian dengan raut wajah yang penuh arti.
“Dan ya, siapa wanita yang akan menjadi mempelai-mu nanti?” tanya Aditya, suaranya terdengar ringan, namun sarat dengan ironi yang menohok. Ia menatap Zevian dengan alis terangkat, seolah menantang jawaban yang tak akan bisa dibantah. Zevian menyandarkan tubuhnya ke kursi, menyilangkan tangan di dada, lalu mengembuskan napas panjang. Wajahnya yang tegas tampak lebih gelap, muram, penuh dengan kebekuan.
“Aku tidak peduli dengan itu,” ujarnya datar, berusaha menyembunyikan kegelisahan yang samar di balik suaranya. Aditya terkekeh pelan. Ia bersandar ke meja, menatap Zevian dengan tatapan menelanjangi.
“Tidak peduli bukan berarti bisa menghindarinya, Ze. Berita tentang pernikahanmu yang akan dilangsungkan dua minggu lagi sudah tersebar di mana-mana. Hanya ada dua pilihan yang orang tuamu berikan, bukan? Menikah dengan pilihanmu, atau menikah dengan pilihan mereka.” ujar nya yang membuat kening Zevian berkerut. Ia menoleh perlahan, memandang sahabatnya dengan mata yang redup, namun tajam.
“Kau pernah dengar ucapan seseorang yang berkata, 'jika kita tidak menemukan jawaban dari pilihan yang orang lain berikan, maka kita buat pilihan baru,'” ujarnya pelan namun mantap. Suaranya seperti bisikan yang mencoba meyakinkan diri sendiri lebih dari siapa pun. Aditya tertawa kecil, sinis.
“Dan pilihan baru itu... melepaskan Steel corp. Oke, aku paham.” Ia menatap Zevian tajam, seolah membaca pikirannya dengan mudah. “Tapi lucu saja membayangkannya, karena aku tahu kau tidak akan mau kalau harus turun dari jabatamu sebagai CEO perusahaan ini. Kau tidak sebodoh itu untuk meninggalkan tahta demi ego, bukan?” tambah nya yang membuat Zevian membisu. Bibirnya terkatup rapat, dan bola matanya menerawang kosong. Tatapannya jatuh pada lantai marmer yang dingin, seolah sedang menelusuri jawaban yang tak kunjung ia temukan. Semua yang Aditya katakan memang benar.
Untuk pertama kalinya, Zevian tidak bisa menyangkal.
Pikirannya dipenuhi gejolak yang kacau. Ia menyandarkan kepala ke belakang, menatap langit-langit ruangan dengan napas berat yang tertahan. Tidak ada jalan lain. Tidak ada celah yang bisa ia gunakan untuk lari dari kenyataan ini.
Dan di tengah kekalutan itu, hanya satu wajah yang terlintas di benaknya.
Nayara.
Wanita yang hadir begitu tiba-tiba dalam hidupnya. Wanita yang ia tolong tanpa sengaja. Wanita yang kini perlahan mengisi ruang-ruang kosong yang telah lama ia tutup rapat.
"Ze, kamu sahabatku... apa pun yang kamu lakukan, aku pasti akan mendukungmu tanpa terkecuali," ujar Aditya pelan, suaranya penuh ketulusan. Ia menatap Zevian lekat-lekat, mencoba menyelami kebingungan yang tersembunyi di balik mata sahabatnya itu. "Jika memang kamu menyukai wanita itu, tidak apa-apa. Dia sepertinya juga wanita baik-baik. Sudah sewajarnya kamu membuka hati lagi untuk seseorang. Tidak semua wanita seperti mantanmu itu." Ujar Aditya terdengar seperti nasihat dari saudara kandung, bukan hanya seorang teman. Ia bersandar sebentar di tepi meja, lalu menghela napas panjang, seolah mencoba membuang seluruh kekhawatiran dari dada.
"Dia ada di vila orang tuanya, yang di Bogor. Temui dia baik-baik dan katakan maksudmu... Ikuti kata hatimu, Ze. Terkadang, pilihan hati lebih tepat daripada keputusan dari otak yang penuh emosi," lanjutnya, suaranya semakin lembut, namun tegas.
"Tidak semua wanita suka diperlakukan kasar dan didominasi seperti itu. Nayara... dia butuh kamu perhatikan, bukan kamu kasari. Jangan buat dia membencimu sebelum kamu benar-benar mengenalnya." Ujar Aditya yang membuat ruangan hening sejenak. Zevian masih tak bergeming di kursinya, menatap lantai dengan rahang yang mengeras. Napasnya berat. Matanya gelap, seperti menahan konflik yang mendidih dalam diam. Aditya akhirnya berdiri, merapikan jasnya, lalu berbalik sambil menepuk pelan bahu Zevian.
“Pulang lebih dulu pun tidak apa-apa. Ada aku dan Mega di sini. Lagi pula, tidak ada agenda penting lagi yang mengharuskan kehadiranmu.” ujar nya sembari menjauh, meninggalkan ruangan yang kini dipenuhi keheningan tebal. Zevian masih diam di tempatnya, seperti patung hidup yang sedang berperang dengan pikirannya sendiri.
"Huuuuuuuhhhhhh..."
Zevian menarik napas panjang, berat dan penuh beban, begitu pintu tertutup dan sosok Aditya menghilang dari pandangannya. Hening mendadak menyelimuti ruangan luas itu, hanya suara samar detak jam di dinding yang terdengar. Ia bersandar sejenak, mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangan, lalu matanya jatuh ke arah sebuah map berwarna kuning yang tergeletak di atas meja kerjanya—TENTANG MY ANGEL, tertulis dengan huruf kapital yang rapi dan mencolok di bagian depannya.
Pandangan Zevian mengeras. Ada keraguan dalam matanya, tapi juga dorongan tak kasatmata yang menyeretnya untuk tahu lebih banyak. Jemarinya akhirnya bergerak, pelan namun pasti, meraih map itu dan membukanya dengan gerakan hati-hati—seolah membuka kenangan yang seharusnya tak ia jamah.
Lembar pertama memamerkan lima buah foto. Nayara terlihat berdiri di tengah, tersenyum lembut, diapit oleh seorang pria elegan dengan jas gelap dan wanita anggun bergaun putih pastel. Meski senyuman itu tampak sederhana, bagi Zevian, ada ketulusan mendalam di sana—senyum yang tak dibuat-buat, yang mampu mengacaukan pikirannya tanpa ia sadari.
Salah satu foto memperlihatkan Nayara sedang duduk di taman, memeluk seekor anjing kecil berbulu putih. Matanya bersinar, penuh kehangatan, seperti mata seorang anak kecil yang belum pernah tahu arti dikhianati. Zevian terdiam, dadanya terasa sesak oleh sesuatu yang tak bisa ia uraikan.
Ia membalik halaman berikutnya.
Biodata lengkap Nayara tertata rapi—usia, tanggal lahir, golongan darah, hobi, hingga riwayat pendidikan dan catatan kesehatan.
“Nama lengkap... Azelia Nayara Putri Harrison.” Ia terdiam sejenak, menatap nama itu tangannya meremas sudut map sedikit.
“Tempat, tanggal lahir... Jakarta, sebelas Februari dua ribu satu. Usia... dua puluh empat tahun.” Zevian menoleh ke arah foto kecil di pojok halaman—potret formal dengan senyum tipis yang ditangkap kamera.
“Tinggi seratus enam puluh delapan... berat lima puluh satu. Golongan darah AB... Agama: kristen. Warga negara Indonesia... Status: Belum menikah." Ia membulatkan bibirnya, nyaris tersenyum sumbang.
“Tentu saja belum. Gadis seperti dia... siapa yang berani?” gumam nya pelan. Tiba di bagian orang tua, ekspresinya berubah. Matanya menyipit tajam.
“Nama Ayah: Anthony Maxwell Harrison... Diplomat dan pengusaha minyak asal Inggris?” Suara Zevian terdengar datar, namun nadanya menyiratkan tekanan.
“Berarti dia bukan cuma punya koneksi... dia punya kekuasaan di dalam dan luar negeri. Dan ibunya...” Ia membaca pelan.
“Maria Salsabilla Harrison. Psikolog anak, sekaligus aktivis sosial. Dia tumbuh di bawah dua kutub yang kontras... kekuatan dan empati.” Tangannya beralih ke baris alamat.
“Villa Harrison. Bogor, Jawa Barat.” Zevian mengangguk kecil. Peta dalam pikirannya langsung menyusun kemungkinan, jarak, rute, dan sudut pandang. Ketika tiba di bagian pendidikan, alisnya naik sedikit. Rasa penasaran mulai menjalar dari sela-sela pikirannya yang selama ini tertutup rapat.
“SD Internasional AppleTree... SMP homeschooling?” Ia menatap tulisan itu lekat-lekat.
“Dia anak tunggal yang dijaga ketat. Atau mungkin... ada hal lain yang membuatnya harus belajar sendiri. SMA International Royal Academy. Lanjut... Fakultas Kedokteran UI? Belum lulus...” Zevian memejamkan mata sepersekian detik. Napasnya mengalir panjang. Ia membalik halaman, masuk ke bagian kepribadian. Ada sesuatu yang melembut dari wajahnya.
“Hobi: Membaca buku filsafat dan sastra... menulis jurnal pribadi... Bermain piano klasik... berkebun dan berjalan pagi. Klasik. Tenang. Dalam. Sama seperti matamu waktu itu... Bagian sahabat membuatnya sempat tertawa pelan—bukan tawa bahagia, lebih seperti geli karena ada nama yang terasa asing namun dekat.
“Vina. Razka. Dan Putra." Ia mengusap pelan bagian bawah halaman, tepat di baris yang menjelaskan ciri khas Nayara. Zevian terdiam cukup lama, matanya tak beralih dari nama-nama yang tertera di atas kertas.
"Jadi benar... dia putri keluarga Harrison," gumamnya pelan, nyaris tak terdengar, seperti bicara hanya pada dirinya sendiri. Jemarinya menyentuh pelan baris nama ayah Nayara—Anthony Maxwell Harrison, lalu berhenti di bagian pekerjaannya.
“Diplomat dan pengusaha minyak... pantas saja aura dia berbeda,” lanjutnya, suara berat itu diselimuti kekaguman yang tak mampu ia sembunyikan. Ia menyandarkan punggung ke sofa, memejamkan mata sebentar. Sosok Nayara—yang selama ini hanya ia lihat sebentar, sekilas, bahkan sempat ia kasari—tiba-tiba terasa begitu jauh dari jangkauan. Bukan karena status sosial, tapi karena kedalaman dan kehangatan pribadi Nayara yang tercermin dari biodatanya. Wanita itu bukan sekadar anggun, tapi juga kompleks. Dalam. Dan tak bisa dipahami hanya dari permukaan.
Zevian menatap kembali map kuning itu, kini dengan sorot mata yang berbeda. Bukan lagi sorot pengendali yang merasa berhak atas segalanya. Tapi seorang pria yang mulai ragu... apakah ia cukup layak untuk mendekati dunia perempuan itu.
Zevian mengembuskan napas pelan sebelum kembali membuka lembar dalam map kuning itu. Jemarinya yang kokoh namun tampak sedikit gemetar menyentuh tepi halaman, seolah meraba isi yang belum ia tahu namun mulai ia rasakan beratnya. Saat kertas itu terbuka, matanya langsung tertuju pada judul kecil di bagian atas:
“Kehidupan Keluarga dan Hubungan Emosional Subjek.” Ia mengernyit. Halaman itu berisi narasi panjang tentang dinamika Nayara bersama orang tua dan lingkungannya. Kisah-kisah sederhana yang tampak seperti potongan mozaik kecil—namun membentuk gambaran utuh tentang siapa Nayara sebenarnya. Zevian tercenung. Matanya terpaku pada baris demi baris, menyerap kata-kata itu perlahan.
“Sejauh ini dia tumbuh dalam keluarga yang... terlihat harmonis. Tapi sepi,” gumamnya lirih, hampir tak terdengar. Ia kembali memandangi halaman itu dengan pandangan yang berbeda. Bukan lagi sebagai lembar data biasa, tapi seolah sedang membaca bab dari sebuah buku yang terlalu nyata untuk diabaikan.
“Aditya... Kau benar-benar menyiapkan ini dengan sangat detail.” bisiknya pelan.
Zevian menutup map tersebut dengan gerakan lembut. Ia bersandar di kursinya, menatap langit-langit ruangan yang mulai meredup oleh cahaya senja dari jendela. Hatinya tak menentu, pikirannya penuh tanda tanya. Tentang Nayara. Tentang dirinya sendiri.
Dan di antara semua itu, untuk pertama kalinya—ia benar-benar merasa ingin mengenal wanita itu… bukan sebagai subjek dalam laporan. Tapi sebagai seseorang yang nyata. Yang mulai mengetuk sisi dalam dirinya yang selama ini tertutup rapat.