Naia Seora 25 tahun, pengantin baru yang percaya pada cinta, terbangun dari mimpi buruk ke dalam kenyataan yang jauh lebih mengerikan yaitu malam pertamanya bersama suami, Aryasatya, berakhir dengan pengkhianatan.
Naia dijual kepada pria bernama Atharva Aldric Dirgantara seharga dua miliar. Terseret ke dunia baru penuh keangkuhan, ancaman, dan kekerasan psikologis, Naia harus menghadapi kenyataan bahwa kebebasan, harga diri, dan masa depannya dipertaruhkan.
Dengan hati hancur namun tekad menyala, ia bersumpah tidak akan menyerah meski hidupnya berubah menjadi neraka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fania Mikaila AzZahrah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 29
Naia menerima bunga itu dengan senyum kikuk, lalu menundukkan wajahnya sejenak.
Perutnya yang semakin besar terasa bergerak pelan, seolah ikut menegur dirinya untuk lebih berhati-hati.
“Maaf, Mas,” ucapnya lembut, suaranya sedikit bergetar. “Sebaiknya kalau mau bertamu, datanglah siang hari saja. Tidak enak sama tetangga kampung kalau ada tamu laki-laki datang malam-malam di rumah kami.”
Ia mencoba menjaga nada bicaranya tetap sopan, meski sebenarnya ada rasa sungkan yang kuat dalam hatinya.
Sejak dulu, Naia tak terbiasa berlama-lama berbincang dengan laki-laki, apalagi di rumahnya sendiri tanpa kehadiran seorang suami.
Adiwira sempat terdiam, menatap Naia yang tampak gugup namun tetap tenang. Senyum di wajahnya perlahan meredup, berganti dengan raut pengertian.
“Ah… iya, Mbak. Saya minta maaf. Tidak seharusnya saya datang di jam begini,” katanya seraya menundukkan kepala.
“Saya hanya khawatir Mbak belum makan malam, jadi saya bawakan sedikit makanan.” tukasnya Adiwira.
Naia menatap paperbag yang masih berada di tangan Leni, lalu menghela napas dengan perlahan.
“Terima kasih, Mas. Tapi lain kali, insya Allah siang hari saja, ya, dan jangan lah merepotkan diri membawa makanan segala,” jawabnya pelan, mencoba menutup percakapan dengan cara sehalus mungkin.
Dari samping, Leni hanya terdiam, matanya bergantian memandang Naia dan Adiwira.
Ia bisa membaca gelagat pria itu dengan jelas dan hatinya makin bulat untuk mengingatkan sahabatnya setelah tamu itu pulang.
“Semoga saja Naia nggak mudah tergoda dan hatinya luluh kepada Pak Adiwira, karena dia masih berstatus istrinya Tuan Muda Atharva.” batinnya Leni.
Belum sempat suasana canggung itu mereda, terdengar langkah pelan dari arah dapur.
Bu Halimah muncul membawa sebuah nampan berisi teh hangat dan beberapa kue basah yang tadi ia siapkan.
“Silakan diminum dulu, Nak. Tamu jauh jangan sampai pulang dengan tenggorokan kering,” ucap Bu Halimah ramah sambil meletakkan nampan di meja tamu.
Namun, langkahnya sempat terhenti begitu matanya menangkap wajah pria yang duduk sopan di kursi tamu itu. Alisnya terangkat, lalu senyumnya melebar penuh rasa kenal.
“Masya Allah… ini kan Adiwira Mahesa? Betul, toh?” tanyanya dengan nada takjub.
Adiwira berdiri cepat, sedikit menundukkan kepala sebagai tanda hormat. “Betul, Bu. Saya Adiwira. Tidak menyangka Ibu masih ingat dengan saya.”
“Bagaimana bisa lupa?” sahut Bu Halimah sambil terkekeh kecil.
“Saya pernah ikut pengajian di kota waktu itu. Kalau tidak salah, Mas Adiwira yang diminta memberikan sambutan sebagai polisi muda yang juga merintis usaha perkebunan. Subhanallah, sekarang bisa bertemu di rumah majikan saya secara langsung malah, ngomong-ngomong semalam saya mimpiin apa?”
Naia dan Leni saling pandang, agak terkejut dengan informasi itu. Sementara Adiwira hanya tersenyum, tampak sedikit canggung.
“Benar, Bu. Itu sudah lama sekali. Saya sekarang lebih banyak mengurus kebun, sementara tugas di kepolisian tetap jalan,” jawabnya sopan.
Bu Halimah menepuk pelan lengan Naia, seolah ingin berbagi kabar baik. “Naia, kamu beruntung sekali dapat tamu seperti ini. Beliau orang baik, banyak dikenal di kota. Jangan sungkan menerima tamu, ya.”
Naia hanya tersenyum tipis, hatinya masih diliputi rasa sungkan. Ia menundukkan wajah, mencoba mengalihkan pandangan dari sorot mata Adiwira yang penuh ketulusan.
Sementara itu, Leni yang duduk di sampingnya justru makin resah. “Nah, makin jelas sekarang. Bukan sembarang pria. Kalau sudah begini, aku harus cepat bicara sama Naia, sebelum perasaan yang tidak-tidak tumbuh makin dalam.”
Begitu Adiwira berpamitan, suasana ruang tamu kembali hening. Hanya terdengar suara jangkrik dari luar rumah dan detik jam dinding yang berputar pelan. Naia menutup pintu, lalu bersandar sebentar sambil menghela napas panjang.
Leni yang sejak tadi memperhatikan tak lagi bisa menahan diri. Ia melipat kedua tangannya di dada, menatap Naia penuh makna.
“Naia… aku tahu kamu orangnya terlalu ramah. Tapi aku juga bisa lihat jelas, pria itu jatuh hati sama kamu.” ucapnya tanpa basa basi.
Naia menoleh dengan kening berkerut, berusaha menepis rasa canggung. “Len, jangan berlebihan. Dia cuma tamu, nggak lebih kok.”
Leni menghela napas, lalu mendekat. Volume suaranya diturunkan agar lebih lembut, tapi tegas.
“Kamu lupa, Nai? Kamu masih istri sahnya Tuan Atharva. Meskipun kamu kabur, sembunyi di desa ini, status itu nggak otomatis hilang. Orang-orang di sini memang nggak tahu, tapi Allah tahu. Dan cepat atau lambat, Atharva juga bisa tahu apa telah kamu perbuat di desa sini dan bukannya itu sama saja dengan menambah masalah yang sudah-sudah.”
Tatapan Naia meredup. Tangannya refleks mengusap perutnya yang semakin membesar, seolah mencari kekuatan dari janin di dalam rahimnya.
“Aku nggak semudah itu bisa jatuh cinta kepada seseorang, Leni,” bisiknya lirih.
“Kamu tahu sendiri, aku sudah terlalu banyak terluka. Aku cuma ingin hidup tenang, jaga anakku… itu saja.” pungkas Naia.
Leni menatap sahabatnya lekat-lekat, ada iba sekaligus khawatir.
“Aku percaya sama kamu, Nai. Tapi jangan sampai kebaikanmu disalahartikan. Jangan sampai ada lagi lelaki yang masuk ke hidupmu, lalu bikin luka baru. Aku nggak mau lihat kamu hancur untuk ketiga kalinya.”
Naia terdiam. Matanya berkaca-kaca, tapi bibirnya tetap tersunggingkan senyum tipis.
“Tenang saja, Len. Aku tahu batas. Dan aku nggak akan ulangi kesalahan yang sama.” putusnya.
Berselang beberapa menit kemudian…
Naia duduk di kursi rotan dekat jendela kamarnya. Tangannya sibuk membuka lemari yang berisi perlengkapan yang sudah disiapkan, diantaranya pakaian bayi berwarna lembut, selimut mungil, botol susu, dan mainan edukasi sesuai usia calon anaknya nanti.
Satu per satu dilipatnya kembali dengan rapi, seolah sedang merapikan hatinya sendiri.
“Aku belum tahu jenis kelaminnya,” gumamnya pelan sambil tersenyum tipis.
“Katanya Leni, biar jadi kejutan saja nanti saat lahir.” cicitnya.
Ia mengusap perutnya yang kian membesar, merasakan gerakan lembut dari empat bayi kembarnya. Rasa bahagia bercampur cemas memenuhi dadanya.
Namun, kebahagiaan itu mendadak disertai rasa perih yang menyayat hati. Ingatannya melayang pada wajah seorang pria yaitu suaminya.
Bukan Aryasatya mantan suaminya atau Damar supir pribadinya bukan juga lelaki lain, melainkan Atharva Aldric Dirgantara. Pria yang pernah membelinya dari suami pertamanya, lalu mengikatnya dalam pernikahan penuh keterpaksaan.
Seharusnya ia membenci, seharusnya ia melupakan. Namun entah mengapa, justru di usia kehamilannya yang memasuki delapan bulan ini, wajah Atharva semakin sering hadir dalam mimpi-mimpinya.
Sosok CEO yang kejam, perfeksionis, dingin, tapi juga anehnya, selalu menghantui hatinya.
Naia menggenggam ujung gamisnya erat-erat, lalu menutup wajahnya dengan telapak tangan. Hatinya berdesir, perasaannya campur aduk, antara takut, benci, dan rindu yang tak ingin ia akui.
Tanpa sadar, bulir air mata jatuh membasahi pipinya.
“Ya Allah… kenapa aku masih terus mengingat dan bermimpi tentang dia?” bisiknya lirih.
Malam itu, hanya suara jangkrik yang menemani tangis Naia, sementara bayangan Atharva terus berputar di dalam benaknya.
Sedang di tempat lain yang cukup jauh, tepatnya di Singapura…
Di sebuah pusat rehabilitasi mewah yang diselimuti aroma antiseptik dan cahaya lampu putih yang tenang, Tuan Muda Atharva baru saja menyelesaikan sesi terapinya.
Keringat menetes di pelipisnya, wajahnya sedikit pucat, namun ada kilatan semangat baru yang tak pernah terlihat sebelumnya.
Lampard, bodyguard kepercayaannya, menyambutnya dengan senyum lega.
“Dio, ini kabar yang benar-benar menggembirakan. Kaki Tuan Muda Atharva sudah pulih. Beliau bisa berjalan normal lagi meskipun mata kirinya tetap buta.” ujarnya Lampard.
Dio, sang sekretaris yang setia mendampingi sejak awal, mengangguk penuh rasa syukur. Wajahnya yang biasanya datar kini tampak berseri.
“Alhamdulillah… ini kemajuan besar, Lampard. Kita semua sudah lama menunggu momen ini. Dan apa kamu nggak ingat beberapa bulan lalu tuan Muda Atharva seperti mayat hidup yang tak ingin sembuh dan selalu ingin mengakhiri hidupnya gegara menunggu kedatangan Nyonya Muda Naia Seora,” sahutnya Lampard.
Tak jauh dari mereka, Mike kepala IT Leonz Corp ikut menimpali dengan nada haru.
“Selama beberapa bulan terakhir, Tuan Muda menolak terapi. Keras kepala, tidak mau disentuh siapapun. Tapi satu bulan terakhir entah kenapa, beliau begitu antusias. Semangatnya sangatlah berbeda.” imbuhnya Mike.
Atharva yang duduk di kursi roda sementara, perlahan mengangkat wajahnya. Sorot mata kanannya yang masih hidup tampak berkaca-kaca, memantulkan cahaya lampu ruangan.
Ia menarik napas dalam, lalu berucap pelan, suaranya serak namun penuh keyakinan.
“Aku akhir-akhir ini sering bermimpi,” katanya, membuat ruangan mendadak hening.
“Aku melihat empat anak kecil salah satu dari mereka adalah perempuan, tiga laki-laki. Mereka berlari mendatangiku, tertawa, lalu memintaku untuk sembuh. Mereka ingin aku menemani mereka bermain.”
Lampard, Dio, dan Mike saling pandang, terkejut sekaligus haru mendengar pengakuan itu.
Atharva mengepalkan tangannya dengan kuat. “Mungkin mimpi itu bukan sekadar mimpi. Aku merasa mereka nyata. Dan karena merekalah aku ingin dan punya semangat niat untuk sembuh. Aku harus sembuh dan itu wajib.”
Mike tiba-tiba berceletuk sambil terkekeh kecil, mencoba mencairkan suasana yang terlalu serius.
“Jangan-jangan anak-anak dalam mimpi itu adalah anak Tuan Muda Atharva sendiri.” celetuknya Mike yang nyengit lebar setelah berbicara.
Lampard langsung melirik tajam, memberi isyarat agar Mike menahan ucapannya. Dio menghela napas, separuh kesal, separuh cemas. Namun, Atharva justru terdiam.
Sejenak, sorot mata kanannya berubah sayu. Senyum tipis muncul, tapi penuh getir.
Dia menundukkan kepala, membiarkan bayangan wajah seseorang menyusup begitu jelas ke dalam benaknya.
“Naia Seora…” bisiknya pelan, hampir tak terdengar.
Dio menegakkan tubuhnya, menatap tuannya penuh perhatian. “Tuan Muda…”
Atharva menarik napas panjang, lalu menatap ke depan dengan sorot mata yang dalam.
“Dia… istriku. Perempuan yang paling kucintai. Aku pikir dengan cara kejamku, aku bisa mengikatnya. Tapi nyatanya, dia memilih pergi dariku.” cicitnya yang menyesali kebodohannya sendiri.
Tangannya menggenggam sandaran kursi roda, kuat sekali, hingga buku-buku jarinya memutih.
“Sekarang justru setiap malam aku dihantui wajahnya. Senyum itu, tatapan itu bahkan dalam mimpiku, aku merasa Naia yang mengirimkan anak-anak itu untuk menegurku.” ngaku Atharva.
Suasana ruangan tiba-tiba hening. Lampard menunduk hormat, tak berani menyela satupun ucapan Atharva.
Sedang Dio menahan napasnya sejenak, sementara Mike yang tadinya bercanda kini menyesal sudah berucap sembarangan.
Atharva menutup matanya sebentar, lalu berbisik dengan suara serak, “Naia… di mana pun kamu berada, tunggulah aku. Aku akan mencarimu, meskipun harus kujejak seluruh dunia. Aku ingin menebus semua salahku.”