Cerita ini adalah lanjutan dari The Secret Miranda
Aku hanya perempuan yang dipenuhi oleh 1001 kekurangan. Perempuan yang diselimuti dengan banyak kegagalan.
Hidupku tidak seberuntung wanita lain,yang selalu beruntung dalam hal apapun. Betapa menyedihkannya aku, sampai aku merasa tidak ada seorang pun yang peduli apalagi menyayangi ku . Jika ada rasanya mustahil. .
Sepuluh tahun aku menjadi pasien rumah sakit jiwa, aku merasa terpuruk dan berada di titik paling bawah.
Hingga aku bertemu seseorang yang mengulurkan tangannya, mendekat. Memberiku secercah harapan jika perempuan gila seperti ku masih bisa dicintai. Masih bisa merasakan cinta .
Meski hanya rasa kasihan, aku ucapkan terimakasih karena telah mencintai ku. Miranda.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nanie Famuzi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 25
Monolog batin Miranda..
Semuanya terasa kabur.
Kadang dunia di sekitarku terasa seperti potongan film yang hilang sebagian.
Aku tidak tahu siapa keluargaku. Tidak tahu apakah aku punya saudara.
Aku tidak tahu di mana rumahku.
Aku tidak tahu… kenapa aku ada di tempat ini.
Yang aku tahu hanya satu,
Aku pernah menikah dengan laki-laki bernama Ahksa Gala Baldwin.
Laki-laki yang aku tahu aku sangat mencintainya… dan juga, dengan alasan yang sama, sangat kubenci.
Dan akhir-akhir ini… ada satu nama lagi yang terus muncul di kepalaku.
Yulia..
Aku tidak tahu siapa dia.
Tapi setiap kali nama itu melintas di pikiranku, ada rasa dingin yang menjalar di kulitku.
Aku sering bertanya-tanya, kenapa aku tidak bisa mengingat apa-apa?
Setiap kali aku membuka mata, dunia terasa baru, tapi juga asing.
Aku tidak tahu apa yang kulakukan kemarin. Aku bahkan tidak tahu… apa yang baru saja kulakukan barusan.
Kadang aku merasa baru saja berbicara dengan seseorang. Tapi siapa?
Kata-kata mereka menguap begitu saja di udara, hilang sebelum sempat kuraih.
Seperti mimpi yang lenyap saat aku terjaga.
Aku sering duduk diam, menatap dinding ini… mencoba mengingat.
Tapi semakin keras aku mencoba, semakin kabur semuanya.
Wajah-wajah muncul dan menghilang. Suara-suara datang lalu tenggelam.
Dan di tengah semuanya, hanya satu yang tetap, perasaan kosong.
Mereka bilang aku sakit. Mereka bilang aku gila.
Tapi… apa benar aku gila?
Bagaimana aku bisa tahu kalau aku memang gila, kalau aku bahkan tidak bisa mengingat siapa diriku sendiri?
Kadang aku tertawa tanpa sebab.
Kadang aku menangis tanpa tahu kenapa.
Semua terasa kabur, seperti bayangan di cermin yang berembun.
Tapi berbeda dengan laki-laki berjas putih itu, yang kini tengah duduk disamping ranjang tempat tidurku, menatap tanpa suara.
Aku tahu siapa dia.
Dia… Mas Dokter.
Dokter Jodi.
Nama itu tidak hilang.
Entah kenapa, selain nama Gala yang aku ingat, ada nama dokter Jodi juga yang selalu tersisa di kepalaku, di antara segala hal yang perlahan lenyap dari ingatan.
Namun… aku lupa kenapa dia menatapku seperti itu.
Pandangan matanya, ada sesuatu di sana, sesuatu yang hangat tapi juga menyakitkan.
Kenapa dia tidak pergi?
Kenapa dia terus berada di sini?
Apa aku sudah mengatakan sesuatu padanya?
Atau melakukan sesuatu yang tidak seharusnya?
Aku tidak tahu…
Yang aku tahu hanya satu,
setiap kali dia menatapku,
aku merasa seperti… sedang diingat.
......................
"Tidak usah, Mira. Sa–saya di sini saja.”
Suara Jodi terdengar sedikit serak. Ia bahkan sempat mengusap tengkuknya, mencoba menutupi gugup yang anehnya muncul begitu saja. “Lagipula… sebentar lagi saya harus pergi,” tambahnya cepat, seolah ingin menutup jarak yang tak terlihat.
Miranda menatapnya tanpa berkedip. Tatapan itu… tajam, tapi di baliknya seperti ada sesuatu yang tak terucap. Ia tersenyum tipis, senyum yang terlalu tenang untuk disebut ramah.
“Oh…” gumamnya pelan, tanpa ekspresi berarti, hanya seperti menimbang-nimbang sesuatu di balik mata hitamnya.
Keheningan turun di antara mereka.
Detik jam di dinding terdengar terlalu keras.
Udara di kamar itu terasa menebal, menekan dada Jodi perlahan.
Lalu, di kepalanya sendiri, suara itu datang begitu saja, keras, menampar kesadarannya.
“Ya Tuhan, Jodi! Kamu itu sedang berpikir apa?”
Sebelum Miranda kembali terlelap, Jodi perlahan berdiri. Kursi di samping ranjang itu berderit pelan, nyaris tertelan oleh suara napas halus perempuan itu.
Ia menatap wajah Miranda sekali lagi, tenang, seolah semua badai di pikirannya tidak pernah ada. Ada sesuatu di sana yang membuat langkah Jodi sempat tertahan; rasa bersalah, mungkin… atau sesuatu yang tak ingin ia akui.
Dengan helaan napas panjang, Jodi akhirnya berbalik.
Langkahnya meninggalkan kamar itu pelan, nyaris tanpa suara, seolah takut membangunkan sesuatu yang lebih dari sekadar mimpi.
Pintu menutup perlahan di belakangnya, menyisakan aroma obat dan jejak perasaan yang belum selesai.
Di ruang jaga, Jodi menemukan suster Risa yang berusaha melawan kantuk, kepalanya beberapa kali terangguk sebelum kembali terangkat dengan paksa.
Di sebelahnya, suster Sinta sudah kalah lebih dulu, tertidur dengan tangan masih menopang pipinya di atas meja, seperti seseorang yang hanya berniat memejamkan mata sejenak tapi terlelap sepenuhnya.
Perlahan, Jodi menepuk bahu suster Risa.
Suster Risa tersentak kecil, matanya langsung terbuka lebar.
Sebelum ia sempat bersuara, Jodi cepat-cepat menempelkan telunjuk di bibirnya.
“Shut…” bisiknya pelan, matanya melirik ke arah suster Sinta yang masih tertidur.
“Pastikan setiap lima belas menit sekali kamu periksa kondisi Miranda,” ucap Dokter Jodi pelan tapi tegas.
Suster Risa langsung menegakkan tubuhnya, memperhatikan nada suara Jodi yang sedikit berbeda malam itu.
Jodi menambahkan, suaranya merendah, hampir seperti bisikan,
“Dan satu lagi…jangan lupa kalau pria bernama Damar datang lagi hari ini, segera beri tahu aku. Jangan sampai ada orang lain yang tahu.”
Suster Risa mengangguk cepat. “Baik, Dok.” Suaranya nyaris berbisik.
Dokter Jodi tak menambahkan apa pun. Ia hanya menatap Risa sejenak, tatapan yang sulit dibaca, antara lelah dan cemas, sebelum berbalik dan melangkah pergi.
Langkahnya terdengar berirama di sepanjang koridor, semakin menjauh, hingga akhirnya lenyap di balik pintu ruangannya yang tertutup perlahan dengan suara klik pelan.
Sesaat, suster Risa menatap ke arah pintu itu.
“Damar…” gumamnya lirih. “Siapa sebenarnya orang itu?”
Sementara itu, begitu memasuki ruangannya, Jodi langsung menjatuhkan tubuhnya ke kursi kerja. Ia bersandar, menengadah ke langit-langit dengan napas berat yang keluar dari dada. Tangannya menutupi wajah, jemarinya menekan pelipis seolah ingin meredam segala kekacauan di kepalanya.
“Astaga, Jodi…” gumamnya parau, nyaris seperti mengumpat pada dirinya sendiri.
“Kamu tahu, Miranda tidak akan pernah mengingat apa pun yang dia katakan. Setiap hari, ingatannya terhapus… seperti papan tulis yang terus dibersihkan.”
Ia menarik napas panjang, menunduk. Suaranya semakin pelan.
“Lalu kenapa kamu.. dengan bodohnya kamu… malah memperlakukannya seperti perempuan normal? Seolah setiap katanya punya makna. Seolah hatinya benar-benar berbicara…”
Jodi terkekeh miris, menatap tangannya sendiri.
“Dia pasienmu, Jodi. Pasienmu!!.”
“Tapi bagaimana aku bisa berpura-pura lupa…” desis Jodi pelan, menatap kosong ke arah meja kerjanya. “Sementara aku memang sudah jatuh hati padanya.”
Ia mengusap wajahnya kasar, lalu tertawa lirih tanpa nada bahagia.
“Miranda…” ia menyebut nama itu perlahan, seolah takut suaranya sendiri akan mengkhianatinya. “Apa karena namamu sama? Atau karena sorot matamu itu.. tatapan yang begitu mirip dengan dia di masa lalu…”
Kepalanya menunduk, pandangannya jatuh pada jemarinya sendiri.
“Sama-sama tenang.. Sama-sama lembut, tapi penuh misteri.”
Ia menarik napas dalam-dalam.
“Mungkin aku bukan jatuh cinta pada Miranda… mungkin aku hanya jatuh ke dalam kenangan yang belum selesai.”
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
“Terkadang, orang gila tidak tahu dirinya gila. Tapi lebih menakutkan lagi, saat orang waras menolak mengakui bahwa ia sedang jatuh cinta pada kegilaan.”