Sera, harus kehilangan calon anak dan suaminya karena satu kecelakaan yang merenggut keluarganya. Niat ingin berlibur malah menjadi petaka.
Sera bersedih karena kehilangan bayinya, tapi tidak dengan suaminya. Ungkapannya itu membuat sang mertua murka--menganggap jika Sera, telah merencanakan kecelakaan itu yang membuat suaminya meninggal hingga akhirnya ia diusir oleh mertua, dan kembali ke keluarganya yang miskin.
Sera, tidak menyesal jatuh miskin, demi menyambung hidup ia rela bekerja di salah satu rumah sakit menjadi OB, selain itu Sera selalu menyumbangkan ASI nya untuk bayi-bayi di sana. Namun, tanpa ia tahu perbuatannya itu mengubah hidupnya. 
Siapakah yang telah mengubah hidupnya?
Hidup seperti apa yang Sera jalani setelahnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dini ratna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Penuh Kejutan
"Sera, ini rumah saya," ujar Maudy, setelah turun dari mobil.
Sambil menyeret sebuah koper, Sera terpaku melihat rumah yang terlalu mewah baginya. Tidak hanya penjaga gerbang, tapi rumah Maudy juga dilengkapi para ajudan, seperti orang penting. Namun, Sera tidak ingin banyak tahu tentang siapa Maudy, karena tugasnya hanyalah menjadi ibu susu bagi cucunya bukan mencari informasi tentangnya.
"Ayo, Sera," ajak Maudy ketika Sera masih saja mematung di depan mobilnya. Kedua ajudannya datang hendak membawa koper Sera, tetapi Sera malah menolak.
"Tidak perlu Pak, saya bisa bawa sendiri."
"Nggak apa-apa Sera, biar mereka yang bawa," seru Maudy, meminta Sera untuk memberikan kopernya.
"Makasih, ya Pak. Koper saya nggak berat kok, cuman baju saja isinya." Katanya sambil nyengir.
Sera, kembali berjalan mengikuti Maudy. Dia semakin dibuat kagum setelah melihat seisi di dalamnya. Maudy, memberikan Lio kepada pengasuhnya, memang sebelum ada Sera pengasuh itu sudah ada, mungkin nantinya akan membantu Sera.
"Sera, ini kamar kamu dengan Lio, karena kamu ibu susunya jadi saya pikir Lio dan kamu harus satu kamar." Ujar Maudy, sambil membuka pintu kamar pertama yang berada di lantai dua.
Sera, hanya mangut-mangut sambil memindai seisi kamar yang tampak luas, dan penuh dengan barang-barang yang tertata rapih. Lio, baru dua bulan tapi sudah dibelikan banyak mainan.
"Sera, silakan kamu beres-beres dulu, saya mau keluar dulu. Jika ada apa-apa kamu bisa panggil Nia, dia pengasuh Lio," ujar Maudy menunjuk Nia, si baby sitter yang baru saja menidurkan Lio.
Nia, hanya membungkuk sambil tersenyum. Lalu ia keluar mengikuti Maudy, selama menjadi pengasuh Lio, ia tidak pernah tidur bersama Lio apalagi di kamar yang besar itu.
"Enak banget, sih itu anak baru. Mentang-mentang menjadi ibu susu dikasih kamar mewah, kayak ibu kandungnya aja," protes Nia setelah keluar dari kamar. Matanya mendelik menyiratkan ketidaksukaan.
"Kayaknya dia cuman akal-akalan aja mau jadi ibu susu. Pasti ada udang dibalik batu," pikirnya demikian. Lalu, pergi menuju dapur.
Sementara Sera, dia menikmati suasana di rumah itu, yang tenang dan damai. Ia berjalan ke arah balkon yang dibatasi dinding kaca. Sera, membuka dinding kaca itu yang ternyata sebuah pintu untuk ke luar balkon, ia berdiri di sisi pagar besi sambil menghirup udara segar. Pemandangan yang begitu indah ditambah di bawahnya dipenuhi tanaman bunga.
"Ini rumah seperti kastil saja. Kamar ini ... besar seperti aula, lebih besar dari rumah orang tuaku," ucapnya yang kembali masuk.
"Biarkan sajalah pintu ini terbuka, biar udaranya masuk," tutur Sera, yang tidak menutup pintu kacanya.
Sera, berjalan ke arah ranjang tidur, menatap Lio yang sedang tertidur lalu mengecup keningnya. Entah, kenapa memandang Lio begitu nyaman dan membuat hatinya tenang.
Sambil menunggu Lio bangun, Sera membuka kopernya, lalu memindahkan pakaiannya ke dalam lemari.
Di sela-sela kesibukannya, seseorang dari luar datang mengetuk pintu. Sera, langsung menoleh sambil menyahut. "Siapa?" tanyanya demikian, bagaikan sang empu rumah.
Tidak berselang lama pintu terbuka, terlihat seorang wanita paruh baya dengan pakaian tradisional dari desa, membawa sebuah nampan yang disimpannya langsung di atas meja bundar.
Kamar Lio, juga dilengkapi perabotan lain seperti meja serbaguna dan sofa kecil. Maudy, sudah menyiapkannya untuk Sera, yang mungkin bisa makan dengan nyaman sambil mengasuh Lio.
"Saya, disuruh Nyonya, mengantarkan makanan ini untuk kamu. Ini ada sayur katuk, dimakan biar ASI nya lancar."
"Makasih, ya Bi."
"Eh, kok panggil Bibi, sih. Kita ini sederajat alias satu jabatan, jangan mentang-mentang jadi ibu susu terus merasa seperti Nyonya," sinisnya wanita itu berkata. "Panggil saya Mbok Inah," jelasnya.
Sera, hanya menghela nafas lalu membalas, "Iya, Mbok ... terima kasih," ucapnya dengan senyum yang lebar. Tapi setelah Inah pergi, senyumnya langsung memudar.
"Pembantu di sini gak ramah-ramah. Lebih ramah, majikannya daripada pembantunya," sindir Sera tapi tidak akan ada yang tersinggung karena Inah sudah pergi.
Sera, kembali melanjutkan beres-beresnya. Setelah itu ia menuju meja bundar tadi, Sera membuka tutup mangkuk, menu makan siangnya Kali ini sayur katuk, dan ayam goreng. Walau Sera, tidak begitu menyukai sayuran tapi demi ASI nya banyak, Sera, coba memakan sayur bening itu.
"Rasanya kok aneh, ya," gumam Sera sambil mencicipi sayur itu. Tanpa ia sadari sayur itu tidak diberikan garam sama sekali, karena yang memasak Nia. Saking tidak sukanya Nia sengaja tidak memberikan perasa dalam sayurnya.
Namun, Sera tidak begitu peduli dengan rasa, karena baginya perut kenyang adalah yang utama.
"Lio masih tidur, aku kembalikan mangkuk ini ke dapur deh." Sera, membawa mangkuk-mangkuk itu ke dapur. Ia harus menuruni tangga lebih dulu, setibanya di bawah Sera, celingukan mencari Mbok Inah, tetapi tidak menemukan.
Akhirnya Sera, berinisiatif untuk melangkah ke dapur sendiri walau tidak tahu ke mana arah jalannya. Sebab, banyak sekali gang kecil di rumah itu.
"Ini rumah, atau kontrakan sih, banyak sekali gangnya," oceh Sera. "Sebelah sini pasti," katanya yang memilih gang besar sebelah ujung.
Namun, setelah masuk matanya membola memindai setiap sudut ruangan yang dipenuhi perlengkapan gym. Sera, salah memilih jalan, ia malah masuk ke ruangan khusus gym milik Darren.
"Wah, rumah ini tidak biasa. Ada tempat gym pribadi, keren," ucapnya yang mengagumi.
Sera, kembali keluar, tapi langkahnya terhenti ketika melihat sebuah potret besar di ruangan itu.
Sera, mundur dua langkah lalu berbelok kanan. Matanya menyipit, dengan posisi kepala yang sedikit miring, langkahnya sedikit maju mendekati foto besar bagaikan poster itu, langkahnya seketika terhenti. Tubuhnya berdiri tegak, sambil menatap fokus pada poster.
"Ini yang dipajang aktor siapa, sih. Wajahnya gak asing seperti pernah bertemu," gumamnya masih terus menatap poster itu.
Sera, mencoba mengingat, matanya semakin menyipit hingga akhirnya membola. Mulutnya menganga lebar, dengan ekspresi wajah yang sangat terkejut.
"Tidak mungkin ... tidak mungkin pria itu. Nggak, aku mungkin salah lihat," ucapnya yang menggeleng. Sera, menepuk-menepuk wajahnya untuk menyadarkan jika pria dalam foto itu bukanlah Darren.
"Tidak, mungkin. Ini pasti hanya mirip, aku terlalu memikirkannya sampai-sampai terus terbayang wajahnya."
Sera, berlalu meninggalkan ruangan gym itu. Dengan tergesa-gesa ia membawa mangkuk tadi, dan di persimpangan tubuhnya bertabrakan dengan Inah. Untung saja, Sera sangat erat memegang mangkuknya hingga tidak terjatuh.
"Kamu ngapain di sini? Kok, buru-buru gitu abis ngapain ayo .... nyolong, ya?"
"Nyolong apa Mbok, nyolong mangkuk? Saya dari tadi nyari Mbok Inah, mau kembalikan mangkuk ini tapi gak ketemu."
"Alaah ... alasan. Kalau mau nganterin mangkuk, ya ke dapur bukan ke tempat gym."
"Ya, karena itu saya cari Mbok Inah karena saya tidak tahu dapurnya. Kalau tahu, saya gak akan kesasar!" Sera, dengan kesal menyerahkan mangkuk itu kepada Inah. Wanita itu terperangah.
"Ini saya, titip mangkuknya. Saya mau ke atas takut Lio bangun," kata Sera yang berlalu pergi.
"Oalah! Baru aja jadi Ibu susu udah berani perintah dia, gimana kalau jadi nyonya." Inah, menatap kepergian Sera dengan raut wajah kesalnya. Sambil menggerutu Inah pun pergi ke dapur.
Sera, membukakan pintu kamar, terlihat Nia, sedang menggendong Lio yang tengah menangis. Sera, segera mendekat dan meraih Lio ke dalam pelukannya.
"Lio, kamu bangun, ya sayang ... maaf, ya tadi Ibu ke bawah dulu."
"Hih!" Bibir Nia tersungging tipis. "So' so-an dipanggil ibu kayak ibu kandungnya saja," gumam Nia, tidak suka.
"Kamu kemana aja sih? Jangan keluyuran mulu jagain Lio."
"Bukannya ada kamu, ya. Tugas kita, kan sama mengurus baby Lio." Skakmat Sera, Nia langsung terdiam. "Asal kamu tahu saya ke bawah menyimpan mangkuk bekas makan tadi, dan tadi Lionya masih tidur," tambah Sera, dengan emosi.
Sera, langsung menenangkan Lio, dengan cara menyusuinya. Baby Lio pun tenang, setelah diberi susu. Mata Nia menyipit ia memandang rendah Sera, yang berpikir hal tidak baik.
Wanita ini bisa menyusui Lio, berarti dia baru melahirkan. Terus, di mana bayinya, kalau dia tinggal di sini bayinya pasti ikut. Jangan-jangan dia bukan wanita baik-baik, dia hamil di luar nikah terus anaknya di buang.
"Heh, ngapain? Matanya kok teleng gitu?" tanya Sera, menyadari tatapan Nia.
Nia, terciduk, yang menjadi salah tingkah karena ketahuan.
"Siapa yang teleng."
"Kalau nggak teleng, berarti kamu dari tadi merhatiin aku, ya? Kenapa? Nggak suka aku ada di sini?"
Nia, mencebik ia menghentakkan kaki karena kesal, lalu pergi meninggalkan kamar.
"Awas, saja jika ada Tuan Darren, aku pastikan kamu tidak akan merasa seperti Nyonya," umpatnya yang melangkah pergi.
Sera, menidurkan Lio, tetapi bayi itu masih menangis. Seharusnya Lio sudah anteng karena sudah diberi susu. "Lio, kok masih nangis, apa kamu pipis, ya? Popoknya udah penuh mau diganti, ya? Iya ...," katanya kepada Lio. Lio, hanya menyahut dengan suara kecilnya.
"Mm ... ternyata kamu p*f. Ibu ganti, ya." Refleks, saja Sera menyebutnya ibu, padahal dia bukan ibu kandung Lio. Tapi, menurutnya tidak ada salahnya jika ia menyebut panggilannya sendiri sebagai ibu.
"Lio, lebih suka panggil Tante atau ibu? Ibu Lio, nggak akan marah, kan ... apalagi sampai gentayangan. Ya, sudah panggil Bibi Sera saja, ya."
"Hao ...." Lio menyahut lagi dengan suara kecilnya. Sera, tersenyum seakan sahutan itu jawaban dari Lio.
"Ternyata Lio, suka," ucapnya demikian. "Bi Sera sudah selesai ganti popoknya, Lio udah tenang juga. Nyaman, ya sayang ...." Sera, terus mengajak Lio bicara, sementara Lio, bayi itu tertawa dengan suara khasnya.
Sera, membiarkan Lio bermain sendiri. Ia membuang bekas popok itu ke dalam tempat sampah.
"Lio, tunggu bentar, ya. Bibi mau buang ini dulu," katanya yang menjunjung tinggi kantong kresek hitam yang berisi popok kotor.
Sera, melangkah keluar ia celingukan mencari tempat sampah yang ternyata ada di ujung sudut. Sera, harus melewati satu kamar untuk menuju tempat sampah. Setelah membuangnya Sera, kembali ke kamar Lio, tapi rasa penasaran menghantuinya ketika melihat pintu kamar yang ia lewati terbuka.
Sera, melirik ia penasaran kamar siapakah itu?
"Kamarnya nggak dikunci, apa ini kamar Nyonya, ya?" pikirnya.
Sera, mendekat yang bermaksud menutup pintu itu, tetapi ia hentikan ketika sebuah foto wedding terlihat sekilas. Rasa penasaran pun menghantui, hingga akhirnya tangan Sera mendorong pintu itu agar terbuka lebar.
Netranya masih tertuju kepada foto seorang wanita yang berbalut gaun putih, dengan hiasan sederhana di atas kepalanya. Bibirnya tersenyum dengan setangkai bunga yang digenggam.
"Cantik, pasti ini ibunya Lio. Aku jadi teringat ... ah, sial! Aku tidak boleh mengingat suamiku itu, dia sudah selingkuh untuk apa aku ingat," umpatnya.
Lalu, Sera kembali menatap foto itu yang dibilang tenang, damai, teduh, mungkin karena ibu Lio sangat cantik. Akan, tetapi ekspresinya berubah, matanya semakin melebar setelah menatap foto laki-laki di sampingnya.
"Dia! Akh ... tidak, tidak. Kenapa yang aku lihat selalu saja lelaki itu." Sera mengucek-ngucek matanya. "Aku sudah gila, kenapa setiap foto pria selalu mirip dengannya. Sepertinya ini karena aku belum membayar ganti ruginya."
Sera, berjalan keluar meninggalkan kamar. Namun, saat hendak menutup pintu ekspresinya berubah. Sera, melihat Darren lebih nyata, tepatnya ada di depannya saat ini. Ia terpaku sesaat pria itu, keluar dari kamar Lio. Darren, tersenyum sambil mengecup lembut wajah anaknya.
"Lio, sayang ... Papa ke kamar dulu, ya. Nanti Papa gendong lagi. Kamu sama Sus, Nia dulu," katanya yang mencubit gemas pipi Lio. Lio, digendong Nia, sedangkan Nia mencari-cari sosok ibu susunya.
Sera, segera berbalik. Mulutnya membisu, dengan hati yang gelisah. Sera, tidak mungkin salah lihat, kali ini pria dihadapannya benar-benar Darren, si pria yang bertemu dengannya beberapa hari lalu.
Sera, tidak ingin ketahuan yang refleks memasuki kamar Darren. Ia tidak tahu jika Darren akan masuk ke kamar, itu dan Sera, dia masih bersembunyi dibalik pintu.
"Tenang Sera, tenang ... kenapa dia ada di sini, ya? Apa itu benar dia?" pikirnya lagi. Tiba-tiba Sera mendengar obrolan dari luar.
"Alex, apa wanita itu sudah menghubungimu?"
"Belum Tuan."
"Aku gak mau tahu, wanita itu harus bayar ganti ruginya segera. Karena dia sudah mengotori mobilku."
Sontak mata Sera membola, bersamaan dengan mulut yang menganga lebar. Sera, langsung menahan handle pintu ketika Darren hendak membukanya. Sementara Darren terlihat kesal karena handle pintunya tiba-tiba macet, yang tidak bisa ditarik.
"Apa, ini ... kenapa pintunya tiba-tiba macet?"
Darren terus mencoba, sedangkan Sera, terus menahan gagang pintu itu supaya Darren tidak bisa membukanya. Mereka pun saling menahan pintu dari luar dan dari dalam.
...----------------...
Baru chapter 5 nih, kok masih sepi aja. Yuk, dukungannya like, vote, rating, dan hadiah sebanyak-banyaknya biar novel ini masuk ranking. Aku akan double up jika banyak yang tinggalkan jejak dari kalian.
Jangan lupa komentarnya setelah membaca