Mimpi bukan selesai saat sudah meraihnya, tapi saat maut telah menjemput. Aku tidak meninggalkan teman ataupun orang yang ku sayang begitu saja, melainkan mencetak sebuah kenangan terlebih dahulu. Walaupun akan meninggalkan bekas di situ.
Maaf jika aku pergi, tapi terimakasih atas semua kenangan yang kita cetak bersama. Suara tawamu akan selalu bergema, dan senyumanmu akan selalu menjadi canduku. Rela itu tidak semudah sebuah kata saja. Tapi hati yang benar-benar tulus untuk melepaskannya.
Mengikhlaskan? Harus benar-benar melepaskannya dengan merelakannya setulus mungkin.
Seperti biji-biji dandelion yang berhamburan tertiup angin, setelah usai di suatu tempat. Mereka akan kembali tumbuh di berbagai tempat. Entah kita akan dipertemukan kembali atau tidak, setidaknya aku pernah berbahagia karena dirimu.
Ada sebuah kata-kata yang bertuliskan "Di setiap pertemuan pasti ada perpisahan," tapi dengan perpisahan bukan berarti aku dapat melupakan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Elok Dwi Anjani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kesepian tersisihkan
..."Aku membutuhkan kejujuranmu, bukan sikapmu yang selalu melindungiku tapi dengan menyembunyikan lukamu. Bukankah aku tampak tidak berguna jika seperti itu?"...
...•...
...•...
Adara menatap pantulan dirinya di cermin dengan tersenyum puas. Ia meraih tas selempangnya dan turun ke bawah menemui Faiz.
"Papa!" Adara mengalungkan tangannya di leher Faiz.
Pria itu sedang menonton TV dengan memakan cemilan dan minuman teh hangat di meja. Saat Adara turun, Faiz tampak serius menatap layar televisi yang sedang menayangkan berita.
"Eh! Putri papa mau kemana? Kok cantik banget?"
Adara tersenyum menatap Faiz dari samping dan berpindah ke samping pria itu dengan mengalungkan tangannya di lengan Papanya. "Aku mau keluar nonton sama Ara, ada Kezia juga."
"Bertiga aja?"
Adara menggeleng. "Enggak, ada Darren."
"Darren aja?"
Gadis itu mengangguk sebagai jawaban. "Iya, bolehkan?"
Faiz mengetuk dagunya seolah-olah sedang berpikir. Ia melirik putrinya dan tersenyum tipis. "Boleh, tapi jangan malam-malam pulangnya."
Adara kembali mengangguk dengan cepat dan menyalami tangan Faiz. "Aku keluar ya, Pa?"
"Iya, hati-hati."
Di sisi lain, Kezia justru sudah siap sejak tadi sore. Tapi sedang menghabiskan waktunya menatap langit yang cerah di gazebo rumah. Malam dengan teman sepi. Bintang gemerlapan menghias langit, dan rasa rindu yang menguap-uap dihatinya.
Ingin sekali Kezia memeluk tubuh orang-orang yang ia sayangi, tapi itu mustahil. Orang-orang itu sudah sangat jauh untuk ia gapai. Bahkan sulit menemuinya jika takdir tidak berkata.
Tersenyum miris melihat kondisinya yang selalu kesepian. Walaupun ada Abang dan kakak-kakaknya yang selalu ada jika Kezia membutuhkan sesuatu, tapi keluarga yang seutuhnya itulah yang Kezia inginkan.
Adara mengendap-endap dengan tersenyum usil ke arah Kezia yang sedang termenung di gazebo. Sementara Ara sedang menatap kelakuannya yang ingin mengejutkan Kezia.
"DORR!!!"
Kali ini, Kezia tidak terkejut. Ia sudah terlanjur tenggelam dalam lamunannya, dan saat Adara muncul dari samping gazebo. Kezia menatap gadis itu dengan tatapan yang sulit diartikan.
"Kenapa?" Tanya Adara yang akan duduk di samping Kezia.
Ara keluar menghampiri kedua gadis itu dengan tersenyum ke arah Kezia dan duduk di sebelahnya pula. "Galau, ya? Mikirin apa?"
"Nggak mikirin apa-apa, cuman kesepian aja," jawab Kezia.
"Kalau sekarang?" Balas Adara.
Kezia tersenyum. "Enggak, karena ada kalian."
"Ayo!"
Kezia dan Adara menatap Ara bingung. "Ayo, kemana?" tanya Adara.
"Ada suara mobil di depan." Ara langsung turun dari gazebo dan berjalan ke gerbang depan rumah.
Kezia dan Adara pun ikut turun. Mereka berdua menghampiri Ara yang sedang berjalan ke arah gerbang depan rumah dengan langkah kaki terburu-buru. Dan benar, ternyata Darren sudah sampai dengan seorang sopir yang tersenyum ramah ke arahnya.
"Ayo! Keburu rame nanti," pinta Darren.
"Sejak kapan mall sepi? Perasaan rame terus, deh," imbuh Ara.
Kezia dan Adara menghampiri Darren. "Ya, udah. Ayo!" Kata Kezia.
Para ketiga gadis tersebut duduk di bangku tengah mobil, sementara Darren duduk di kursi samping pengendara. Tidak ada yang memulai pembicaraan, dan hanya ada suara musik saja yang memenuhi mobil karena Darren yang menyetelnya.
"Kaku amat," kata Ara, yang ingin memecahkan suasana kaku yang tercipta karena tidak adanya topik pembicaraan.
"Lagi menikmati perjalanan," balas Adara.
"Mampir ke Timezone, yuk?" Ajak Ara.
"Lebih baik jangan, deh. Nanti pulang larut kalau ke sana."
Ada benarnya juga ucapan Darren. Sementara Adara mengingat-ingat kejadian memalukan saat ia bersama Leon kemarin.
"Ngapain lo senyam-senyum?" Tanya Kezia.
"Ha? Enggak kok. Cuman seneng aja cuacanya cerah," jawab Adara.
Darren melirik ponselnya yang menyala karena ada pesan yang masuk. Ia tersenyum melihat pesan temannya yang sangat perhatian dengan gadis yang dia sukai walaupun tidak bisa ada secara langsung. Siapa lagi kalau bukan Leon yang mengkhawatirkan Adara karena keluar dengan Darren serta teman-teman gadis itu?
"Perhatian amat lo," lirih Darren, padahal bisa didengar oleh Kezia yang tempat duduknya tepat di belakangnya. Tapi gadis itu hanya diam saja.
...••••...
Arlan duduk di taman rumah Zevan dengan termenung, sementara Variel bingung harus melakukan apa.
Tadi pagi, ia membuat surat izin palsu dan menitipkan surat tersebut ke Zevan walaupun sedikit memaksa laki-laki itu.
"Lo mau nggak masuk sampai kapan?" Tanya Zevan yang sedang berjalan ke arah Arlan.
"Nggak tau."
"Eh! Variel, kamu dicariin kak Retha di dalam," kata Zevan. Bocah itu langsung loncat dari duduknya dan berlarian ke dalam.
Dengan Variel yang telah pergi. Zevan duduk di tempat Variel tadi dan lebih leluasa ingin berbicara dengan Arlan yang sedang bimbang.
"Bokap lo nggak nyariin?"
Arlan tersenyum tipis mendengarnya. "Mustahil juga dia cariin gua. Lagian kita berdua cuman alat, bukan sebagai manusia ataupun anaknya di mata orang itu."
"Lo nggak kepengen ketemu sama bokap lo?"
"Enggak, walaupun dia masih orang tua gua juga."
"Tapi..."
Tiba-tiba Variel kembali keluar dan menghampiri abangnya dengan langkah kaki terbirit-birit. Arlan pun bingung dengan sikap adiknya yang aneh. Ia menoleh kebelakang, dan membulatkan matanya kepada Retha yang di sampingnya ada seorang pria.
Pria yang membuat Arlan muak untuk kembali pulang. Pria itu berjalan pelan ke arahnya dengan tatapan sayu yang tidak biasanya pria itu seperti ini. Sontak Arlan berdiri dan menarik lengan tangan Variel untuk menjauh.
"Arlan!" Panggil Gio.
"Apa? Ingin menjadikan saya alat kembali?"
"Pulang, ya?"
"Saya tidak menginginkan hal itu. Saya hanya ingin tenang tanpa penekanan."
"Papa janji bakal berubah," kata Gio.
"Anda pikir saya akan percaya begitu saja?"
"Harus gimana biar kamu percaya?"
"Jangan bekerja selama seminggu, bisa?"
Gio diam, dan Arlan sudah menduganya.
"Tidak bisa? Saya sudah mend-"
"Bisa, tapi kalian harus pulang. Papa janji bakal berubah, karena kalian satu-satunya harapan papa."
"Harapan kok diperlakukan kayak alat," lirih Arlan.
Zevan dapat mendengarnya, tapi laki-laki itu hanya tersenyum tipis dengan melirik Variel yang menggenggam tangan Arlan. Terlihat jelas jika bocah itu merindukan pria di depannya, tapi perilaku pria itu sangat buruk untuknya.
"Pulang, ya?"
"Hm.."
Arlan berjalan terlebih dahulu dengan melewati Gio dengan menggandeng tangan Variel. Sementara Gio tersenyum tipis ke arah Zevan yang tersenyum juga ke arahnya.
"Terima kasih," kata Gio.
"Tapi Om udah janji kalau nggak memperlakukan Arlan dan Variel seperti dulu," balas Zevan.
"Iya, Om janji kok. Terima kasih, sudah membantu saya mencari kedua putra saya."
Zevan menundukkan kepalanya sebagai jawaban sebelum Gio berbalik menghampiri Arlan dan Variel yang menuju mobilnya di teras. Pria itu juga tersenyum ke arah Retha yang tadi memberikan jalan menuju kedua putranya ke taman.
"Janji ya, Om?"
Gio mengangguk. "Iya."
Suara klakson dan deru mesin kendaraan yang berlalu-lalang memenuhi pendengaran Arlan, Variel, serta Gio yang sedang menyetir. Tidak ada pembicaraan. Tapi rasa lega dan senang karena kedua putranya akhirnya mau kembali walaupun terdapat syarat dari putra sulungnya.
Gio pun mengambil ponselnya saat lampu merah, dan menelepon seseorang.
"Seminggu ini saya tidak bisa masuk. Tolong kamu urus pekerjaan saja di kantor."
"Baik, pak."
Sangat singkat panggilannya, tapi membuat Arlan tersenyum saat mendengarnya. Ternyata Gio benar-benar mengikuti apa yang ia inginkan. Walaupun hanya seminggu, setidaknya setelah itu pria di depannya tidak mengkhianatinya.
Saat sampai, Variel terlebih dahulu keluar dan memasuki rumah tanpa menunggu abangnya serta Gio yang akan memasukkan mobilnya ke garasi.
Aroma masakan yang menggiurkan menuntun langkah Variel untuk ke dapur. Bocah itu langsung mengembangkan senyumannya saat melihat berbagai macam lauk di meja makan. Bahkan meja makan itu penuh dengan jenis lauk-pauk yang di sajikan.
Saat memasuki rumah, Arlan pun sama. Laki-laki itu menuju dapur dan melihat Variel yang ingin menaikkan kursi.
Ini bukan aroma masakan yang menggiurkan saja. Tapi aroma kenangan yang kembali tercipta.
Gio sudah lama tidak pernah memasakan makanan untuk anak-anak. Kini, pria itu benar-benar memasak berbagai macam masakan di atas meja makan. Bahkan dengan desserts juga.
"Gimana?" Tiba-tiba Gio datang dengan senyuman yang sudah lama tidak pria itu tampilkan. Senyuman sederhana yang menghangatkan dengan tatapan mata sendu, bukan tatapan garang.
"Papa beneran buat ini semua?" Tanya Variel.
"Iya, dong. Suka nggak? Kalau suka habisin, ya?"
Variel mengangguk dengan semangat. Gio pun senang dengan jawaban putra bungsunya. Ia mengambil piring dan mengambilkan nasi hangat untuk Variel. Pria itu melirik putra sulungnya yang sedang menatap gerak-geriknya.
"Kamu mau? Sini kalau mau," ajak Gio.
Jujur saja, Arlan diam bukan karena bingung ataupun heran dengan perilaku Gio. Tapi terharu, karena hatinya tiba-tiba menghangat melihat perlakuan Gio yang kembali seperti dulu.
Arlan menarik kursi dan mendudukinya. Ia menatap berbagai jenis lauk-pauk yang disajikan dengan indahnya. Tidak tertinggal, suhu dingin yang biasanya menyelimuti rumah ini tiba-tiba tersisihkan oleh hangatnya perilaku Gio yang telah berubah.
"Mau kari ayam? Kamu kan suka kari ayam." Gio mengambilkan sepotong kari ayam untuk Arlan di piring putranya.
Di sisi lain, Variel sudah melahap makanannya dengan tersenyum sumringah dan bibir yang comot ke arah Gio. Dengan perlahan, Gio mengelap bibir Variel yang berantakan. Arlan hanya menatap makanannya dengan menahan sesuatu dalam dirinya.
"Kenapa? Nggak suka?" Tanya Gio.
Arlan menggeleng. "Enggak, aku suka."
Gio tersenyum, benar-benar tersenyum senang. Putra sulungnya tidak lagi menggunakan bahasa formal itu.
"Makan, dong. Jangan dianggurin aja. Nanti kalau dingin nggak enak."
Arlan mengangguk. "Makasih, Pa."
"Buat?"
"Berubah lagi."
"Papa juga minta maaf. Karena sikap papa yang buruk, bahkan tidak pantas disebut orang tua."
"Papa jangan ngomong gitu," pinta Variel. "Sebenarnya bang Arlan itu sayang banget sama papa, tapi Abang aja yang suka gengsi."
Arlan terkekeh mendengarnya. "Masa? Kamu tahu dari mana?"
"Yang biasanya Abang lakuin buat senengin hati papa tiap malam belajar itu."
"Kamu boleh melakukan apa yang kamu suka, jika itu masih hal baik, dan tidak merugikan kamu juga," kata Gio. "Papa dukung apa yang kamu mau," lanjutnya.
Seolah-olah berat di pikirannya telah usai, Arlan menghela nafas dengan lega. Semua hal yang tidak ia sukai telah pergi dan kehangatan itu kembali lagi.
...••••...
...TBC....