NovelToon NovelToon
JATUH KEPELUKAN SANG PANGERAN

JATUH KEPELUKAN SANG PANGERAN

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Berbaikan / Dijodohkan Orang Tua
Popularitas:597
Nilai: 5
Nama Author: Sarah Siti

JATUH KEPELUKAN SANG PANGERAN

Zhao, putri bangsawan yang terkenal cantik dan keras kepala, kembali membuat kehebohan di kediaman keluarganya. Kali ini, bukan karena pesta atau keributan istana… tapi karena satu hal yang paling ia hindari seumur hidup: perjodohan!

Dirinya dijodohkan dengan Pangeran Wang pangeran kerajaan yang dikenal dingin, tegas, dan katanya... kejam?! Zhao langsung mencari cara kabur, apalagi hatinya telah tertambat pada sosok pria misterius (pangeran yu) yang ia temui di pasar. Tapi semua rencana kacau saat ia malah jatuh secara harfia ke pelukan sang pangeran yang tak pernah ia pilih.

Ketegangan, kekonyolan, dan adu mulut menjadi awal dari kisah mereka. Tapi akankah hubungan cinta-benci ini berubah jadi sesuatu yang lebih hangat dari sekadar perjodohan paksa?

Kisah cinta kerajaan dibalut drama komedi yang manis, dramatis lucu, tegang dan bikin gemas!

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sarah Siti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAYANGAN DI BALIK KEDAMAIAN

Sinar matahari pagi menelusup masuk lewat celah-celah tirai sutra yang bergoyang pelan tertiup angin. Aroma embun masih melekat di udara, membawa kesejukan yang lembut. Di dalam ruangan, keheningan menyelimuti, hanya terdengar suara napas yang tenang dan teratur.

Zhao perlahan membuka matanya. Langit-langit kamar yang ia kenal tampak berbeda pagi ini bukan karena bentuknya berubah, tapi karena hatinya yang kini terasa jauh lebih ringan... dan hangat.

"Dia kuat sekali, membuat badanku terasa sakit..." batinnya sambil mengerjapkan mata pelan, menahan gerakan agar tidak membangunkan sosok di sampingnya.

Ia menoleh pelan. Di sampingnya, Pangeran Wang masih terlelap. Wajahnya tampak jauh lebih damai dibanding biasanya. Tanpa mahkota, tanpa lapisan sikap dingin yang biasa ia kenakan di hadapan orang lain. Hanya seorang pria... yang kini telah menjadi suaminya sepenuhnya.

Zhao menahan napas saat menyadari tangan Pangeran Wang masih menggenggam erat jemarinya.

"Aku benar-benar tidak bermimpi semalam," bisiknya pelan.

Pipi Zhao memanas. Ia segera memalingkan wajah, mencoba duduk perlahan tanpa membangunkannya. Tapi baru saja ia bergerak, suara berat yang baru saja bangun terdengar pelan di belakangnya.

“Kau mau lari ke mana?” suara Pangeran Wang terdengar serak tapi lembut.

Zhao membeku. Perlahan menoleh, ia mendapati Pangeran Wang menatapnya dengan mata setengah terbuka, senyum tipis menghiasi wajahnya.

"A-aku hanya ingin… mencuci muka," jawab Zhao gugup, buru-buru menunduk.

Pangeran Wang mengangkat tubuhnya sedikit, bersandar pada sikunya. Tatapannya lembut, suaranya tenang.

"Kau baik-baik saja?" tanyanya penuh perhatian.

Zhao bangun setengah duduk, satu tangannya memegangi pinggang.

"Hanya... pinggangku yang sedikit sakit," ucapnya malu-malu, tanpa berani menatap langsung.

Pangeran Wang menahan senyum, lalu mendekatkan wajahnya.

"Itu salahmu sendiri karena terus menerus bilang 'aku tak takut' semalam," bisiknya menggoda.

Zhao memukul pelan lengannya, wajahnya merah padam.

“Berhenti menggodaku...”

Pangeran Wang terkekeh, lalu mengusap lembut punggungnya.

"Baiklah... lain kali aku akan lebih lembut," ucapnya sambil menatap mata Zhao dengan serius, seolah menjanjikan sesuatu yang lebih dari sekadar kata-kata.

Zhao terdiam. Wajahnya panas, tapi hatinya berdebar lembut. Entah sejak kapan pria yang dulu begitu jauh dan dingin kini terasa begitu hangat dan dekat.

Pangeran Wang mengulurkan tangan, menarik Zhao perlahan hingga kembali bersandar di sisinya.

“Kita belum perlu terburu-buru kembali pada dunia luar, bukan?” bisiknya.

Zhao menatapnya dalam diam, lalu mengangguk perlahan.

“Tidak,” jawabnya lirih. “Kalau bisa... aku ingin pagi ini berlangsung lebih lama.”

Beberapa saat kemudian

Setelah membersihkan diri, Zhao duduk di depan cermin sambil mengeringkan rambutnya. Rambut panjangnya masih sedikit lembap saat Pangeran Wang berjalan mendekat, membawa sisir kayu ukiran halus.

“Biar aku yang menyisirnya,” ucapnya pelan.

Zhao menoleh sedikit terkejut namun tak menolak. Ia mengangguk pelan dan membiarkan pria itu duduk di belakangnya. Gerakan tangan Pangeran Wang saat menyisir terasa lembut dan hati-hati, seolah ia takut menyakitinya.

“Kau cantik,” ucapnya tiba-tiba.

Zhao membelalakkan mata, lalu menatapnya dari pantulan cermin. “Tumben sekali kau memujiku. Biasanya datar-datar saja tanpa memuji.”

Pangeran Wang berhenti sebentar, lalu menunduk sedikit dan menjawab,

“Aku hanya tidak tahu cara mengucapkannya… karena aku belum terbiasa. Tapi aku akan mencoba membiasakannya.”

Zhao tersenyum, matanya hangat saat menatap wajah pria itu lewat pantulan cermin. Pangeran Wang pun ikut tersenyum, meski tampak malu-malu.

“Apa rencanamu hari ini?” tanyanya sambil melanjutkan menyisir rambut Zhao dengan perlahan.

Zhao menarik napas ringan. “Sebenarnya aku ada janji dengan Xiao untuk bertemu Pangeran Jaemin… tapi kupikir lebih baik mereka bertemu di kediaman Ayahku saja. Sekalian aku ingin mengunjunginya. Sudah lama sejak kita menikah, aku belum menemuinya lagi.”

“Kau akan pulang dulu?” tanya Pangeran Wang.

Zhao mengangguk. “Aku akan suruh Meilan mengundang Xiao ke sana. Sekalian… aku ingin membicarakan rencana Kaisar tentangmu, Aku ingin Ayah membantu kita. Dia pasti bisa. Rekannya juga sangat banyak.”

Ia menoleh sedikit dan menambahkan, “Dan aku juga akan mengajak Pangeran Jaemin.”

Pangeran Wang menatapnya penuh perhatian. “Baiklah. Aku juga akan mengantarmu.”

Zhao menatapnya heran. “Kau tidak sibuk?”

“Tidak. Lagi pula aku juga belum bertemu ayahmu lagi. Nanti kita ke sana bersama,” ucap Pangeran Wang tenang.

Zhao mengangguk dan tersenyum. “Baiklah.”

Namun saat suasana terasa begitu damai, pengawal pribadi Pangeran Wang masuk dengan tergesa.

“Pangeran, ada masalah. Mari ikut saya,” ucapnya singkat dan tegas.

Pangeran Wang berdiri, lalu menoleh pada Zhao seolah merasa bersalah. Tapi sebelum ia sempat bicara, Zhao lebih dulu berkata, “Tidak apa-apa. Kau pergi saja… itu kan tugasmu.”

Pangeran Wang menatapnya sejenak, lalu mengangguk.

“Aku akan menemuimu setelah semuanya selesai.”

“Hati-hati,” ucap Zhao pelan.

Pangeran Wang berjalan pergi bersama pengawalnya, namun sebelum keluar ruangan ia sempat menoleh kembali. “Kau juga… salam pada Ayahmu.”

Zhao mengangguk dan menatap kepergian pria itu dengan perasaan hangat namun juga sedikit khawatir.

Setelah itu, ia memanggil Meilan.

“Meilan, tolong temui Xiao dan undang dia ke kediaman Ayahku.”

“Nona akan pulang?” tanya Meilan sambil membenahi pakaian Zhao.

“Iya. Ada yang harus kubicarakan padanya. Aku juga akan mengajak Pangeran Jaemin dan bertemu Xiao di sana. Di sini terlalu banyak mata-mata… dan mungkin akan mempersulit usahaku membuka jalan untuk mereka berdua.”

Meilan mengangguk perlahan. “Lalu… apa Pangeran Jaemin bersedia, Nona?”

Zhao tersenyum kecil. “Harusnya sih mau. Aku akan mencobanya.”

“Baik, Nona,” ucap Meilan singkat.

“Kita ketemu di sana, ya.”

Meilan mengangguk dan segera pergi meninggalkan kamar dengan tugas yang jelas.

Zhao berjalan pelan melewati lorong samping istana, menuju paviliun di taman belakang. Di bawah naungan pohon prem yang sedang berbunga, duduk seorang pria muda dengan buku di tangannya Pangeran Jaemin.

"Pangeran Jaemin," sapa Zhao lembut.

Pangeran Jaemin menoleh dan tersenyum.

"Kak Zhao? Matahari belum terlalu tinggi, tapi kau sudah menemuiku."

"Ya, karena aku ingin mengajakmu keluar istana."

"Tumben sekali. Apa Kakak Wang mengizinkanmu?"

"Aku sudah meminta izin padanya. Nanti juga dia menyusul setelah pekerjaannya selesai."

"Mmm… baiklah. Memangnya kita mau ke mana?"

"Ke rumah Ayahku. Aku juga mengundang Xiao ke sana," ucap Zhao bersemangat.

"Kau mengajaknya juga?"

Zhao mengangguk.

"Aku kan sudah janji padanya. Lagi pula, dia begitu semangat untuk menemuimu lagi. Aku tidak tega menghancurkan semangatnya."

Pangeran Jaemin mendesah dan menepuk dahinya pelan.

"Astaga…"

Meski tampak berat, ia tak menolak. Mereka pun berangkat bersama menggunakan kereta kuda menuju kediaman keluarga Zhao.

---

Begitu kereta Zhao memasuki halaman rumah besar itu, para pelayan segera berdiri berjajar. Beberapa buru-buru masuk ke dalam untuk memberi tahu tuan rumah. Tak lama, Tuan Zhao, ayah Zhao, keluar dari ruangan dalam mengenakan jubah panjang warna abu lembut.

Ia berhenti sejenak di anak tangga teras ketika melihat putrinya turun dari kereta. Matanya langsung melembut.

"Zhao'er?" panggilnya, terdengar hangat sekaligus tak percaya.

Zhao tersenyum dan segera menghampirinya.

"Ayah…"

Tuan Zhao menatap putrinya dengan ekspresi penuh rindu. Ia mengangkat tangan, seolah ingin membelai kepala Zhao tapi menahan diri karena mereka tidak sedang sendiri.

Pangeran Jaemin menyusul turun dari kereta, memberi salam sopan.

"Salam hormat, Tuan Zhao. Terima kasih telah menerima kami."

Tuan Zhao segera membungkukkan badan sedikit.

"Yang Mulia, kedatangan Anda adalah kehormatan bagi keluarga kecil kami."

"Terima kasih sudah menyambut kami. Kami ingin mengobrol dengan tenang hari ini," ucap Zhao.

"Tentu, tentu… mari masuk. Taman belakang sudah kusiapkan jika kalian ingin udara segar," ucap Tuan Zhao ramah.

Baru saja mereka masuk ke aula utama, suara roda kereta lain terdengar di halaman. Tak lama kemudian, Xiao dan Meilan masuk dengan penuh semangat.

"Kakak Zhao!" panggil Xiao ceria saat masuk. Namun pandangannya langsung tertuju pada Pangeran Jaemin.

"Pangeran Jaemin!" serunya, nyaris melompat.

Pangeran Jaemin menoleh cepat.

"Xiao… kau datang juga rupanya."

"Tentu saja! Aku tidak akan melewatkan kesempatan ini!" Xiao dengan semangat menghampiri dan duduk di sampingnya tanpa canggung.

Zhao menahan tawa melihat ekspresi sedikit panik dari Pangeran Jaemin yang buru-buru merapikan duduknya. Xiao duduk terlalu dekat, dan Jaemin sedikit bergeser… tapi tak bisa menolak.

"Aku sudah lama ingin ngobrol denganmu. Ada banyak hal yang ingin kutanyakan!" ujar Xiao, matanya berbinar.

Melihat itu, Zhao bangkit perlahan dan menoleh ke Ayahnya.

"Ayah, boleh aku berbicara sebentar secara pribadi?"

Tuan Zhao mengangguk.

"Tentu. Mari ke ruang belakang."

Sementara itu, Xiao mulai menceritakan entah apa pada Pangeran Jaemin yang kini hanya bisa mengangguk dan tersenyum canggung. Meilan berdiri di dekat mereka dengan ekspresi setengah iba, setengah menahan tawa.

Zhao melangkah ke arah beranda bersama Ayahnya, siap membuka pembicaraan serius bukan hanya tentang Xiao dan Jaemin, tapi juga rencana besar yang mulai terungkap pelan-pelan.

“Nak, kenapa kau membawa Pangeran Jaemin dan gadis itu ke rumah?” tanya ayahnya memulai pembicaraan sambil menuang teh.

“Ah, dia Xiao, putri ketua faksi selatan. Ayah, aku berharap Xiao dan Pangeran Jaemin bisa menjalin hubungan… entah sebagai teman dekat atau bahkan lebih. Jika berhasil, keluarga Xiao akan mendukung Jaemin dan secara tidak langsung berpihak pada Pangeran Wang.”

Ayah Zhao terbahak pelan. “Hahaha, aku tidak menyangka kau akan membicarakan hal sejauh ini. Bukankah dulu kau tidak peduli dengan politik?”

“Ayah… sekarang aku sudah menjadi istri pangeran. Aku harus ikut memikirkan masalahnya. Dan… aku ingin melindungi pangeran Wang,” ucap Zhao, matanya sungguh-sungguh.

Ayah Zhao mengangguk, lalu bertanya, “Tapi di mana suamimu? Apa dia terlalu sibuk?”

Zhao tersenyum tipis. “Dia akan menyusul nanti setelah urusan istana selesai.”

Ayahnya lalu menatapnya dalam. “Kau menyebut soal politik… memangnya ada masalah, Nak?”

Zhao menarik napas dalam. “Kaisar telah mengumumkan Pangeran Wang sebagai kandidat Putra Mahkota. Tapi tak semua pihak setuju. Faksi Pangeran Chun dan mertuanya, Menteri Perang, mulai bergerak.”

“Menteri Perang?” Ayah Zhao langsung terlihat tegang. “Itu orang berbahaya, jangan terlibat terlalu jauh.”

“Ayah tak perlu khawatir. Aku punya pangeran Wang di sisiku. Dia akan selalu melindungiku.”

“Ayah tahu itu. Tapi jika Pangeran Chun dan Menteri Perang bersatu, segalanya bisa berubah sangat cepat. Kau harus hati-hati. Lalu, apa yang bisa ayah bantu?”

Zhao menggenggam tangan ayahnya. “Dukungan, Ayah. Walau ayah tak lagi aktif di istana, rekan ayah masih banyak. Dengan tambahan dukungan dari faksi selatan lewat Xiao, dan dari keluarga Pangeran Yu, pangeran Wang akan makin kuat. Aku butuh kekuatan dari orang-orang yang percaya padanya.”

Ayah Zhao menepuk bahunya. “Ayah akan membantumu, Nak. Tapi tetaplah hati-hati. Ayah berteman lama dengan Menteri Perang, dan dia bukan orang yang bisa dibiarkan tersinggung.”

Zhao menunduk sedikit. “Aku tahu, Ayah.”

Ayahnya menatap penuh haru. “Tapi aku percaya pada suamimu. Dan juga padamu.”

Sementara itu di halaman belakang, Xiao dan Pangeran Jaemin sedang duduk di bawah pohon plum. Xiao duduk sangat dekat, membuat Jaemin gelisah.

“Kenapa kau begitu tertarik padaku?” tanya Pangeran Jaemin, berusaha terdengar santai. “Aku ini… hanya tampan saja. Tidak seperti kakak kakakku.”

Xiao menoleh padanya dan tersenyum manis. “Karena kau lucu. Dan kau tahu? Jantungku yang sempat berhenti ini mulai berdetak kencang saat melihatmu. Tuk… tuk… tuk… begitu bunyinya. Aku rasa itu pertanda hidup.”

Jaemin melirik bingung. “Jantungmu? Maksudmu apa?”

Namun sebelum Xiao sempat menjawab, Meilan yang berdiri tak jauh tiba-tiba melempar sebuah pisau kecil ke arah tembok. Terdengar jeritan pelan dari balik tembok yang langsung memicu keributan.

Zhao berlari keluar dari ruangannya. “Ada apa!?”

Pangeran Jaemin segera berdiri. “Sepertinya Meilan melihat seseorang yang mencurigakan.”

Zhao berlari keluar rumah menyusul Meilan, diikuti oleh Jaemin. Xiao ditenangkan oleh dayangnya, meski ia masih tampak ingin tahu apa yang terjadi.

Meilan berdiri waspada di depan tembok gerbang, tangannya masih terulur ke arah tempat pisau menancap.

“Meilan, apa yang terjadi?” tanya Zhao tergesa.

“Ada mata-mata. Dia mengintai dari luar tembok. Pisauku mengenai tangannya, tapi dia tetap berlari dengan sangat cepat seolah tak merasakan sakit.”

“Mata-mata lagi?” Zhao memegangi dahinya. “Astaga…”

Pangeran Jaemin menatap Zhao khawatir. “Aku rasa mereka mengawasi mu kak”

“Sepertinya begitu,” gumam Zhao.

Ayah Zhao muncul dari dalam rumah dengan wajah panik. “Nak, kau tidak apa-apa? Meilan?”

“Aku baik-baik saja, Tuan,” ucap Meilan cepat.

Zhao menatap sekeliling dengan waspada, lalu berbisik pelan, “Kenapa mereka terus mengawasi? Apa yang mereka cari?”

Tak ada yang menjawab. Tapi satu hal jelas bagi semua yang ada di sana pertarungan kekuasaan belum benar-benar dimulai, dan Zhao berada tepat di pusat pusaran itu.

Zhao merasa situasi sudah mulai tidak tenang. Suasana di rumah ayahnya terlalu sunyi, dan firasatnya mengatakan bahwa mereka sedang diawasi. Ia juga mencemaskan Xiao yang sedari tadi hanya diam, tampak terkejut dengan semua percakapan dan atmosfer yang berubah tegang.

“pangeran Jaemin…” ucap Zhao pelan, mendekat pada sang pangeran. “Antarkan nona Xiao pulang. Aku khawatir dia tidak terbiasa dengan situasi seperti ini.”

Pangeran Jaemin menatapnya heran sejenak, lalu mengangguk.

“Lalu kau bagaimana?” tanyanya hati-hati.

“Aku akan menunggu kakakmu,” ujar Zhao mantap. “Lagi pula, di sini ada ayah dan Meilan. Aku aman. Kau antar saja nona Xiao, lalu kau bisa kembali ke istana duluan.”

Jaemin masih tampak ragu, namun melihat wajah Zhao yang tetap tenang, akhirnya ia mengangguk.

“Heiii ayo pulan” ucapnya.

Xiao langsung berdiri dengan semangat, meski raut wajahnya masih bingung. “A-Aku ikut Pangeran Jaemin? Sekarang?”

“Ya,” jawab Zhao sambil menepuk tangan Xiao pelan.

Xiao mengangguk cepat. Dalam hati ia sebenarnya senang bisa pergi bersama Jaemin, tapi juga waswas meninggalkan Zhao dalam suasana seperti ini. Ia sempat menoleh beberapa kali ke arah Zhao saat berjalan keluar bersama pangeran.

Setelah keduanya pergi, Zhao segera berpaling pada Meilan. “Cari tahu apakah ada orang asing yang muncul di sekitar rumah ini dalam dua hari terakhir. Perhatikan juga pergerakan para pelayan.”

Meilan langsung mengangguk dan pergi tanpa suara, wajahnya serius dan tatapannya tajam.

Di dalam kereta kuda.

Pangeran Jaemin duduk dengan tenang, menatap jendela kereta. Xiao duduk di depannya, memandangi wajah sang pangeran tanpa ragu-ragu.

"Aku jadi penasaran..." gumam Xiao sambil memiringkan kepala.

"Penasaran apa?" tanya Pangeran Jaemin tanpa menoleh.

"Kenapa matamu bisa terlihat sangat... membosankan?" ucap Xiao polos.

Pangeran Jaemin spontan menoleh cepat, kaget sekaligus bingung.

"Eh?!"

Xiao tertawa keras. "Hahaha! Tenang saja, maksudku, kamu itu bukan pria pendiam bukan. Sama sepertiku ceria, ekspresif, penuh warna. Kita cocok, kamu tahu?"

Jaemin menghela napas, berusaha tidak tersenyum.

"Aku rasa itu bukan alasan yang cukup untuk"

"menikah? Siapa bilang aku ingin menikah denganmu sekarang?!" sela Xiao dramatis sambil menatap ke luar jendela. "Aku belum siap kehilangan kebebasan... tapi kalau kau memaksa, aku pikir bisa dipertimbangkan."

Jaemin melirik heran. "Kau ini benar-benar aneh."

Xiao berpura-pura sedih. "Kau menyebutku aneh... padahal aku hanya mencoba membuat suasana hati pangeran kecil ini jadi lebih cerah."

"Aku tidak kecil," jawab Jaemin kaku.

"Oh? Kau hanya masih muda kan, bukan begitu...?"

Pangeran Jaemin akhirnya tak bisa menahan senyum geli. "Kau benar-benar cerewet."

Xiao tersenyum menang. "Akhirnya kau tersenyum juga. Satu poin untukku."

Tiba-tiba, kereta sedikit oleng karena jalanan yang tidak rata. Xiao refleks terguling ke arah Pangeran Jaemin dan menubruknya.

"Aduh!" pekik Xiao. "Astaga! Maaf! Tapi... wow, bahumu keras juga ya. Kau pakai bantalan atau ini asli?"

Pangeran Jaemin panik dan langsung menarik diri sedikit. "Jaga sikapmu! Aku seorang pangeran!"

Xiao tersenyum usil. "Dan aku calon istri pangeran. Setidaknya di pikiranku. Jadi anggap saja ini pelukan tes."

Pangeran Jaemin menatapnya lemas. Tapi matanya tak bisa menyembunyikan bahwa ia mulai... terhibur.

Langit mulai meredup ketika Zhao duduk diam di ruang tamu rumah masa kecilnya. Suasana terasa hening, tapi pikirannya terus berputar. Ia menatap ke arah pintu, menanti seseorang dan akhirnya suara langkah kaki yang dikenalnya terdengar.

Pangeran Wang datang, wajahnya tampak lega begitu melihat Zhao baik-baik saja. Zhao langsung berdiri dan menyambutnya dengan senyum tulus.

“Terima kasih telah menjaga putriku,” ucap ayah Zhao dengan hormat pada Pangeran Wang.

Pangeran Wang membalasnya dengan anggukan sopan. “Sebaliknya, aku yang berterima kasih karena telah menjaga Zhao saat aku tidak di sini.”

Zhao tersenyum lembut melihat interaksi mereka. Tapi senyuman itu tidak sepenuhnya bisa menyembunyikan kegelisahan yang membayang di matanya. Pangeran Wang menangkap tatapan itu.

Ayah Zhao menarik napas panjang lalu menceritakan apa yang terjadi siang tadi tentang keberadaan mata-mata yang terlihat di sekitar rumah mereka. Mendengar itu, raut wajah Pangeran Wang langsung berubah serius.

“Kau tidak apa-apa?” tanyanya cepat.

Zhao menggeleng pelan. “Ada Meilan yang selalu sigap,” jawabnya menenangkan.

“Lalu, Pangeran Jaemin kemana?” tanya Pangeran Wang lagi.

“Aku menyuruhnya kembali ke istana. Tapi sebelum itu, aku memintanya mengantarkan Xiao pulang,” ujar Zhao sambil duduk di sampingnya.

Pangeran Wang menarik napas, menatap Zhao dengan penuh rasa bersalah. “Maafkan aku datang terlambat.”

Zhao mengangkat alis dan tersenyum kecil. “Tidak apa-apa. Yang penting aku baik-baik saja, kan?”

Pangeran Wang ikut tersenyum, namun sorot matanya menyimpan banyak beban. “Aku sudah menyelesaikan urusanku. Tapi... aku merasa Ayah terlalu terburu-buru mengumumkan masalah tentang putra mahkota. Aku khawatir ini bukan cuma ancaman untukku, tapi juga untukmu.”

Zhao menatapnya lembut. “Aku akan kuat, dan akan berusaha agar tidak mengganggu usaha dan perjuanganmu.”

Pangeran Wang menggeleng pelan. “Bukan itu maksudku… Tapi aku merasa… untuk apa tahta itu, jika harus mengorbankanmu?”

Zhao tersentak pelan, tapi ia cepat tersenyum dan menggenggam tangan Pangeran Wang. “Kenapa kau bicara begitu? Kau kan tahu aku kuat. Selama kau ada di sampingku, aku merasa aman.”

Pangeran Wang menatap Zhao lama, lalu menghela napas berat. “Aku lebih ingin tinggal di tempat seperti ini bersamamu… dan anak-anak kita nanti… tanpa harus dikelilingi oleh masalah politik dan istana.”

Zhao menggeleng pelan, namun tatapannya hangat. “Tapi kau seorang pangeran, kau adalah penerus pemimpin negeri ini. Dan aku akan selalu mendukungmu… apa pun keputusanmu, selama itu bersamamu.”

Pangeran Wang akhirnya tersenyum, senyum tulus yang hanya ditunjukkannya pada Zhao. Ia berdiri, lalu menarik tangan Zhao perlahan.

“Kalau begitu, ayo. Sekarang kita habiskan liburanmu di sini… di kediaman masa kecilmu,” ucapnya sambil menggandeng Zhao masuk ke dalam.

Zhao tersenyum malu dan geli saat ditarik, hatinya terasa hangat meski ada kekhawatiran menggantung.

Namun di saat yang bersamaan, jauh dari tempat itu…

Meilan mengikuti jejak mencurigakan yang berhasil ia temukan. Langkahnya ringan, senyap, dan matanya tajam mengamati gerak-gerik seorang pria misterius yang berkali-kali terlihat mengintai kediaman Zhao.

Ia mengikutinya hingga ke sebuah bangunan tua yang tersembunyi di antara pepohonan. Dari celah dinding kayu yang hampir lapuk, Meilan mendengar suara-suara...

“jadi langkahnya sudah sampai ke situ, wanita yang pintar” ucap seorang wanita yang terlihat dari punggunya saja

“Apa kita harus melakukan sesuatu padanya?.” ucap pria yang didepannya

Meilan terdiam walau terlihat samar dari belakang tapi ia mengenali wanita itu dari postur tubuhnya. Matanya membesar. Napasnya tercekat.

(Bersambung...)

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!