NovelToon NovelToon
Naugthy My Prince

Naugthy My Prince

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Cintamanis / Bad Boy / Bullying dan Balas Dendam
Popularitas:3.9k
Nilai: 5
Nama Author: Penulismalam4

Prince play boy tingkat dewa yang sudah terkenal dengan ketampan nya, cukup dengan lirikan nya mampu membuat para kaum hawa menjerit histeris meminta Prince untuk menikahi mereka.

Suatu hari Prince mendapatkan tantangan untuk memacari siswi terjelek disekolah nya selama seminggu, namun jika ia menolak hukuman yang harus ia terima yaitu memutuskan semua pacar nya yang sudah tidak terhitung jumlah nya.
Prince mau tak mau menerima tantangan teman nya yaitu memacari adik kelas nya yang di cap siswi terjelek disekolah.

Berniat untuk mempermainkan adik kelas nya, Prince justru terjebak oleh permainan nya sendiri.

bagaimana kelanjutan nya, langsung cek sendiri.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Penulismalam4, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Hilang dalam Bayangan

Angin pagi menyelinap melalui celah jendela kecil yang terbuka sedikit. Margaret duduk di ranjang, matanya sembab, tubuhnya masih lemas… tapi tekadnya mulai membara.

Ia sudah mengamati pola selama dua hari terakhir. Arkan akan datang pagi, meletakkan makanan, lalu mengunci kembali pintu dari luar. Tapi tadi malam… ia lupa membawa kunci. Margaret melihatnya, menyembunyikannya saat Arkan sibuk mengecek infus.

Dan sekarang…

Margaret menggenggam kunci kecil itu erat di tangannya. Tangannya bergetar, tapi matanya penuh tekad.

“Aku harus keluar. Aku harus kembali ke mereka…”

Dengan perlahan, ia berdiri dari tempat tidur. Tubuhnya masih goyah, tapi ia memaksa langkahnya mantap. Ia berjalan ke pintu, memasukkan kunci ke lubang, dan memutarnya perlahan.

Klik.

Pintu terbuka.

Koridor luar itu sunyi. Dinding kayu, lampu temaram, dan aroma dingin hutan menyelimuti tempat itu. Margaret melangkah pelan, menyusuri lorong demi lorong. Tak ada CCTV di sini. Tak ada suster. Hanya rumah kayu besar di tengah entah mana.

Margaret melihat pintu depan—dan berlari meski tubuhnya nyaris roboh.

Tapi begitu tangannya menyentuh gagang pintu depan—

suara langkah terdengar dari belakang.

“Margaret…”

Suara itu lembut. Namun menggema menyeramkan di lorong sunyi itu.

Margaret membeku.

Ia menoleh—Arkan berdiri di ujung koridor.

Tak marah. Tak panik. Hanya menatap… datar. Tenang.

“Lo nggak boleh keluar sekarang,” ucapnya pelan.

Margaret menggeleng keras. “Gue nggak mau di sini! Gue bukan benda buat lo simpen, Arkan! Lo sakit!”

Arkan melangkah mendekat. Perlahan. Sangat perlahan. Sementara Margaret mundur, berusaha membuka pintu. Tapi kuncinya tak cocok. Terkunci dari luar.

“Kalau Lo keluar sekarang... Lo bisa mati di jalan,” kata Arkan, masih dengan nada netral. “Tubuh Lo belum siap. Sumsum tulang belum disiapkan. Obatnya belum masuk. Kalau Lo paksa keluar, semua jadi sia-sia.”

“SIAPA LO NGATUR HIDUP GUE?!”

Margaret memukul pintu. Menangis. “Lo pikir lo Tuhan? Hah?! Mau nyelametin gue pakai cara lo? Ini bukan penyelamatan—INI PENYEKAPAN!”

Arkan berhenti. Beberapa langkah lagi dari Margaret.

Ia menghela napas. “Gue cuma... nggak sanggup liat lo mati.”

Margaret terdiam. Tapi air matanya tak berhenti.

“Kalau Lo bener mau nolongin gue…” ucapnya parau, “Lo gak akan nyembunyiin semua ini. Lo gak akan ngambil gue dari mereka semua. Lo gak akan bikin gue merasa… sendirian.”

Arkan menunduk. Untuk pertama kalinya, ekspresi tenangnya runtuh.

“Gue gak ngambil Lo dari mereka Mar, dari awal lo emang punya Gue,tapi......”

"Lo gak ingat semua nya..."

Margaret memejamkan mata. Napasnya berat. Tangisnya pecah pelan.

Ia terlalu lemah untuk berlari.

Tapi hatinya terlalu kuat untuk menyerah begitu saja.

**

Beberapa menit kemudian…

**

Margaret dibopong kembali ke kamar oleh Arkan. Ia tak melawan. Tubuhnya sudah tak sanggup.

Tapi matanya tetap tajam.

Dan Arkan tahu, sejak hari ini… Margaret tak akan lagi percaya padanya.

_______________________

“Gak ada jejak. Gak ada CCTV. Gak ada saksi. Bahkan… gak ada satu pun rekaman Margaret keluar dari rumah sakit.”

Karin menatap layar laptopnya, keringat dingin mengalir di pelipisnya. Tangan gemetaran. Hasil pencarian selama tiga hari nonstop—nol.

Prince berdiri di sampingnya, napasnya kasar.

“Dia gak kabur. Dia gak bisa kabur dalam kondisi kayak gitu…” desisnya.

Karin mengangguk. “Margaret udah terlalu lemah waktu itu. Kalau dia keluar sendiri… pasti kelihatan. Tapi semua kamera mati pas hari itu.”

“Dan gak ada laporan dari rumah sakit.”

“Semua data aman. Tapi... justru itu masalahnya.”

Prince mengernyit. “Maksud lo?”

Karin menoleh pelan. “Semua terlalu bersih. Terlalu rapi. Kayak… seseorang dengan akses, ngerancang ini dari dalam.”

Keduanya saling pandang. Hening. Yang tersisa hanya satu kesimpulan—Margaret tidak pergi sendiri. Tapi entah siapa yang membawanya… dan kenapa.

Sementara itu…

Di sebuah ruangan terpencil, dalam fasilitas tersembunyi yang tak terdaftar di mana pun, Arkan duduk di samping ranjang Margaret yang masih terbaring lemah.

Ia mengganti selang infus Margaret, lalu duduk tenang dengan secangkir teh di tangannya.

Tak ada rasa bersalah.

Tak ada rasa panik.

Karena semua sudah direncanakan jauh hari.

“kalau Lo masih merasa ini penculikan, ya memang benar Mar,” bisiknya pelan.

“Tapi nanti… Lo akan sadar, ini satu-satunya jalan agar Lo tetap hidup.”

Ia menoleh ke layar monitor di sampingnya—menampilkan grafik hasil lab Margaret.

Senyum tenang mengembang di wajahnya.

Tidak ada yang tahu Margaret bersamanya.

Tidak ada yang tahu Arkan pernah eksis.

Dan tidak akan ada yang bisa menemukannya.

**

Dan di luar sana…

Prince berdiri di bawah hujan, menatap gedung rumah sakit yang dulu jadi tempat terakhir Margaret terlihat.

Tangannya mengepal.

“Gue gak tahu siapa lo, atau dari mana lo datang…” gumamnya pelan, nyaris menggigil.

“Tapi gue janji, gue bakal nemuin dia. Entah berapa lama pun itu.”

Hari itu sekolah seperti biasanya—bising, ramai, dan penuh suara khas remaja. Tapi tidak untuk Prince.

Ia melangkah pelan ke kantin sekolah dengan ekspresi kosong. Rambutnya yang biasanya rapi kini sedikit acak. Tatapannya menyapu sekeliling seperti mencari sesuatu... atau seseorang. Tapi tentu saja—tidak ada Margaret di sana.

Sudah dua minggu sejak Margaret “menghilang.”

Dan satu-satunya hal yang membuat Prince masih berdiri... adalah janji dalam diam: dia akan menemukannya.

"Akhirnya lo nongol juga, bro!" seru Gio begitu melihat Prince memasuki kantin.

Prince mengangguk singkat. Ia menghampiri meja tempat mereka biasa duduk. Di sana sudah ada Gio, Bian, Andrew... dan Arkan.

"Lo gak ngilang juga kek Margaret?" canda Andrew ringan.

Langsung disambut lemparan kentang goreng oleh Bian. "Mulut lo kagak ada saringan ya?"

Prince hanya mengulas senyum tipis, duduk di kursinya seperti biasa.

Arkan, duduk di ujung meja, menatap Prince dengan senyum kecil yang nyaris tak terlihat. Ia terlihat tenang—bahkan terlalu tenang.

"Gimana lo, Prince? Udah mendingan?" tanya Gio pelan, berhati-hati.

"Belum," jawab Prince singkat.

"Polisi juga belum nemuin apa-apa ya?" tanya Andrew hati-hati.

Prince menggeleng pelan. "Gak ada petunjuk. Gak ada saksi. Bahkan kamera rumah sakit mati pas dia ngilang. Kayak... ada yang ngilangin jejak Margaret dengan sengaja."

Bian menghela napas. “Lo yakin dia gak kabur?”

Prince menoleh tajam. “Margaret gak akan ninggalin gue. Dia gak kayak gitu.”

Semua terdiam.

Arkan menyisipkan minumannya, tatapannya tak lepas dari ekspresi Prince yang mulai tergores emosi.

"Ada yang lo curigai?" tanya Arkan akhirnya, nadanya netral.

Prince menatapnya.

Lalu menggeleng pelan. "Gue gak tahu siapa."

Arkan tersenyum, tipis, sangat tipis—hampir tak terlihat. Ia menunduk, mengunyah rotinya perlahan.

Langit di luar mulai gerimis. Prince menatap ke arah jendela, hujan mengingatkannya pada terakhir kali ia bicara dengan Margaret. Tawa kecilnya. Mata sendunya.

Bian menyikut lengan Prince. “Lo gak mau makan?”

Prince menggeleng. “Gak lapar.”

“Bilang aja masih bucin sama Margaret,” celetuk Gio mencoba mencairkan suasana.

Tawa kecil terdengar. Hanya Arkan yang tak ikut tertawa—tapi tidak ada yang sadar. Ia hanya mengunyah rotinya pelan, pandangannya jatuh ke sisa kopi di gelas plastiknya.

**

Dan saat bel istirahat berbunyi, mereka semua berdiri bersama-sama. Kembali ke kelas. Seperti hari-hari biasanya.

Tapi satu hal tidak biasa.

Margaret tak ada.

Dan satu-satunya orang yang tahu persis di mana Margaret berada,

…adalah seseorang yang barusan tertawa tipis bersama mereka.

1
Faulinsa
apakah Arkan malaikat pencabut nyawa? duh..
penulismalam4: Duh,bahaya ni
total 1 replies
Faulinsa
Arkan tu kayak cenayang gitu kah Thor? kok tahu masa depan??
Shintaa Purnomo
lumayan bagus, tetap semangat karna menulis dan merangkai sebuah cerita itu sulit
penulismalam4: iya, makasih ya
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!