NovelToon NovelToon
Perempuan Yang Tak Boleh Dipanggil Ibu

Perempuan Yang Tak Boleh Dipanggil Ibu

Status: sedang berlangsung
Genre:Poligami / Selingkuh / Ibu Mertua Kejam / Era Kolonial
Popularitas:9k
Nilai: 5
Nama Author: Hayisa Aaroon

1927. Ini kisah tentang seorang garwo ampil (istri selir) yang melahirkan anak yang tak boleh memanggilnya ibu.

Ini kisah tentang lebarnya jurang bangsawan dan rakyat kecil,
tapi bukan semata-mata tentang ningrat yang angkuh atau selir yang hina.

Ini kisah tentang perempuan yang kehilangan haknya di era kolonial, terbentur oleh adat dan terkungkung kuasa lelaki.

Ini kisah tentang bagaimana perempuan belajar bertahan dalam diam, karena di masa itu, menangis pun tak akan menggetarkan hati siapapun yang haus akan derajat.

Dilarang plagiat, mengambil sebagian scene atau mendaur ulangnya menjadi bentuk apapun. Apabila melihat novel serupa, tolong lapor ke IG/FB: @hayisaaaroon.

Novel ini bukan untuk menghakimi, melainkan untuk menyuarakan mereka yang dibungkam sejarah; perempuan-perempuan yang terkubur dalam catatan kaki, yang hidupnya ditentukan oleh kehendak patriarki yang mengatasnamakan adat, agama, dan negara.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hayisa Aaroon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

16. Wajah Pramudya

Semakin dekat, suara itu semakin jelas. Suara kecil yang lucu, belum bisa bicara tapi sudah mulai mengeluarkan bunyi-bunyi.

Pariyem berdiri di bawah jendela. Jarak hanya beberapa langkah. Jendela itu cukup rendah, khas bangunan Jawa, sekitar setinggi kepala orang dewasa.

Dia berdiri berjinjit sedikit, mengintip melalui celah bingkai jendela yang sedikit meregang di bagian engsel.

Kamar itu diterangi lampu minyak yang digantung di dinding. Tidak terlalu terang, tapi cukup untuk melihat dengan jelas.

Di tengah kamar, sebuah box bayi dari kayu jati berukir mewah. Dindingnya dilapisi kain sutera putih lembut dengan renda di tepinya. Di sekelilingnya, kelambu tipis berwarna putih tergantung, tapi sebagian dibuka.

Dan di dalam box itu, Pariyem menahan napas.

Seorang bayi. Gemuk. Sehat. Kulitnya kuning langsat, cerah seperti kulit Pariyem, bukan kecokelatan seperti kulit Soedarsono yang lebih gelap.

Rambutnya hitam lebat, sedikit ikal di ujung-ujungnya. Matanya, mata yang besar dan bulat, sedang terbuka lebar, memandang ke atas dengan tatapan polos.

Pramudya. Putranya.

Bayi itu mengenakan baju bayi dari kain putih halus dengan sulaman benang emas di bagian dada. Tidak ada yang murahan. Semuanya mewah.

Di samping box, seorang perempuan duduk di kursi—ibu susu, mungkin. Perempuan muda sekitar dua puluhan dengan kebaya biru muda dan kain batik halus.

Rambutnya disanggul rapi. Wajahnya manis, jelas keturunan bangsawan meski rendah. Dia sedang merapikan kotak berisi perlengkapan bayi, sesekali menoleh ke box sambil tersenyum.

Pramudya menggerakkan tangan kecilnya, menggenggam udara. Kakinya menendang-nendang kain yang membungkusnya. Mulutnya terbuka, mengeluarkan suara mengoceh yang lucu.

Air mata mengalir deras di pipi Pariyem. Tangannya naik, ingin meraih, ingin menyentuh, tapi tidak bisa. Hanya bisa bisa memandang dari jauh.

Bayinya. Putranya. Sudah sebesar ini.

Wajahnya perpaduan sempurna antara Soedarsono dan dirinya. Hidung mancung seperti ayahnya.

Dagu tegas seperti ayahnya. Tapi bibir tipis seperti bibirnya. Kulit cerah seperti kulitnya. Mata besar yang bulat, warisan dari keluarga ibu Soedarsono.

Dia tampan. Sangat tampan untuk bayi berusia hampir dua bulan. Pipinya tembam, tangannya berisi, kakinya montok, tanda dia disusui dengan baik, dirawat dengan sempurna.

Pariyem tersenyum di balik tangis haru. Putranya sehat. Itu yang terpenting. Meski hatinya hancur berkeping-keping, melihat Pram sehat dan gemuk memberikan sedikit ketenangan.

Tiba-tiba ibu susu itu bangkit. Dia berjalan mendekat ke box bayi, membungkuk dengan senyum lembut.

"Ndoro Mas, kenapa belum tidur? Sudah malam. Apa Ndoro Mas ingin melihat pesta?" Suaranya terdengar samar melalui jendela, tapi cukup jelas. “Atau Ndoro menunggu Gusti Ayu?”

Dia mengangkat bayi itu dari box, menggendongnya dengan lembut. Pramudya merengek pelan, tapi tidak menangis. Hanya rewel ringan.

Perempuan itu menimang-nimang dengan gerakan berirama. Dia membawa bayi mendekat ke jendela. Jantung Pariyem berhenti berdetak.

Perempuan itu berdiri tepat di depan jendela, hanya berjarak beberapa langkah dari Pariyem. Pramudya ada dalam gendongannya, wajah bayi itu menghadap ke arah jendela.

Mereka sangat dekat dan semakin dekat.

Pariyem bisa melihat setiap detail wajah putranya dengan sempurna. Bulu mata panjangnya.

Alis tebalnya yang seperti ayahanya. Pipi tembamnya yang menggemaskan. Bibir mungil yang terbuka sedikit.

Mata Pramudya bergerak, seolah menatap ke arah jendela. Ke arah Pariyem.

Untuk sesaat, hanya sesaat yang sangat singkat, tatapan mereka bertemu. Mata ibu dan anak.

Meski bayi belum bisa fokus sempurna, tapi Pariyem merasakan koneksi itu. Sesuatu yang dalam. Sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.

Air mata mengalir semakin deras. Bibir Pariyem bergerak tanpa suara, berbisik, "Pram ...."

Dia melemparkan satu tatapan terakhir pada putranya. Memotret wajah itu dalam ingatan; setiap detail, setiap garis, setiap lekuk. Kenangan yang akan dibawa pulang.

Lalu dengan langkah gontai, dia berbalik, berjalan menjauhi paviliun.

Air mata terus mengalir tanpa henti. Tapi di tengah kesedihan yang menghancurkan itu, ada sedikit kebahagiaan.

Dia sudah melihat Pram. Dia sudah melihat putranya. Dan putranya sehat, tampan, sempurna.

Itu sudah cukup, untuk saat ini setidaknya.

Pariyem berjalan dengan langkah tergesa namun mencoba tetap tenang. Setiap bunyi membuat jantungnya melompat. Setiap bayang-bayang membuat tubuhnya menegang.

Tapi dia terus berjalan, mengikuti jalur yang sama seperti tadi; melewati kolam ikan, taman bunga mawar, belok kiri, melewati air mancur naga.

Kakinya terasa berat. Matanya masih berkaca-kaca, penglihatan kabur karena air mata yang tidak berhenti mengalir. Wajah Pramudya terus terbayang di benaknya.

Akhirnya area parkir terlihat. Kereta hitam Marius masih terparkir di ujung, di balik pohon asam besar.

Suroso berdiri di sampingnya dengan wajah tegang, matanya mengawasi sekeliling dengan tajam.

Begitu melihat Pariyem muncul dari balik semak-semak, wajahnya langsung lega. Dia cepat-cepat membukakan pintu kereta.

"Cepat masuk, Nyai," bisiknya mendesak.

Pariyem naik dengan tergesa, tubuhnya lemas. Begitu duduk di kursi beludru yang empuk, dia langsung terisak, isak tangis yang ditahan sejak tadi akhirnya meledak. Tangannya menutup mulut, mencoba meredam suara, tapi bahu bergetar hebat.

Suroso menutup pintu pelan. Dia tidak berkomentar tentang tangisan Pariyem. Pria tua ini sudah cukup lama bekerja untuk pejabat Belanda, dia tahu kapan harus diam.

Dari balik tirai, Pariyem melihat Suroso mengeluarkan jam saku sederhana dari kantong beskapnya.

Jam tua dengan tutup yang sudah pudar lapisan kuningannya, mungkin warisan dari majikan sebelumnya. Dia membuka tutupnya, memeriksa waktu dengan teliti.

"Nyai," panggilnya pelan tanpa menoleh. "Tuan akan pulang lebih awal malam ini. Alasan bayinya yang masih kecil. Jadi kita harus siap menjemput sebentar lagi."

Pariyem mengangguk meski Pak Suroso tidak melihat. Dia mengusap air mata dengan punggung tangan, mencoba mengendalikan napas yang masih terengah.

"Nyai bersembunyilah lagi. Seperti tadi, di bawah kursi belakang. Sebentar saja sampai kita keluar dari gerbang kadipaten."

Dengan tubuh yang masih gemetar, Pariyem merangkak ke bawah kursi, menarik selimut wol cokelat menutupi tubuhnya.

Posisi yang sama; sempit, sesak, panas. Tapi kali ini dia tidak peduli. Pikirannya masih dipenuhi wajah Pramudya.

Sementara Suroso berjalan menuju area tunggu kusir. Suara obrolannya dengan kusir-kusir lain terdengar samar, basa-basi untuk pamit.

Kereta mulai bergerak. Perlahan keluar dari area parkir, mengikuti jalan setapak yang berkelok menuju gerbang utama.

Suara gamelan masih terdengar nyaring, pesta masih berlangsung meriah. Suara tawa, obrolan, nyanyian sinden bercampur menjadi satu.

Pariyem mendengar kereta berhenti sesaat. Suara pintu dibuka kereta bergoyang sedikit saat Marius naik. Pintu ditutup dengan lembut.

Aroma cologne mewah menyebar di dalam kereta, aroma cendana dan kayu manis yang khas, bercampur dengan bau khas cerutu impor.

"Tetap di sana sampai kita jauh dari gerbang." Suara Marius berkata pelan.

1
Hanz
awas diracun
Hanz
perempuan cerdas. realistis.
EL M, rizky
alhamdulillah yem masih paham agama..🤭
✿⃟‌⃟ᶜᶠᶻSENJA
yok semangat yem! perempuan tua tukang atur itu harus dilawan!
✿⃟‌⃟ᶜᶠᶻSENJA
itu dipikir nanti aja yem.... sekarang yang penting aman dulu dari sundel 😑
✿⃟‌⃟ᶜᶠᶻSENJA
diracun aja kanjeng ayu gimana? ayo yem diracun aja nduk.. biar kamu bisa sama pram terus 🤗😑
Binbin
tuker aja teh nya yem
Ricis
tetaplah waspada Yem, jangan ceroboh & mudah percaya dgn orang
Lannifa Dariyah
pariyem k t4 sumi, apa akan menggoda Martin juga?
oca
aku juga mules yem,takut kamu di apaapain😬
oca
jangan2 suruhan kanjeng ibu
oca
pinteeer kamu yem
✿⃟‌⃟ᶜᶠᶻSENJA
naaah gitu le jangan cuma nunduk2 aja,,, protes! tanya! 😙
oca
neeeh kumat merasa berjasa🤣
oca
🤭🤭🤭🤭
🌺 Tati 🐙
pokonya hati2 dan waspada Yem,mau dia baik tetep kita harus hati2
✿⃟‌⃟ᶜᶠᶻSENJA
buset pemikirannya gini amat yak 😂 astaga miris ya
✿⃟‌⃟ᶜᶠᶻSENJA
ddihhh jahat banget yah 🥺😑
✿⃟‌⃟ᶜᶠᶻSENJA
hmmn tugasmu yem buat ngorek2 tapi harus hati2 yem 😂
✿⃟‌⃟ᶜᶠᶻSENJA
kamu kan laki2 kamu imam lho! masa cemen gini yak ternyata 😪😂
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!