Follow IG othor @ersa_eysresa
Anasera Naraya dan Enzie Radeva, adalah sepasang kekasih yang saling mencintai. Hingga akhirnya mereka memutuskan untuk menikah. Namun tepat di hari pernikahan, sebuah tragedi terjadi. Pesta pernikahan yang meriah berubah menjadi acara pemakaman. Tapi meskipun begitu, pernikahan antara Ana dan Enzie tetap di laksanakan.
Namun, kebahagiaan pernikahan yang diimpikan oleh Ana tidak pernah terjadi. Karena bukan kebahagiaan yang dia dapatkan, tapi neraka rumah tangga yang ia terima. Cinta Enzie kepada Ana berubah menjadi benci di waktu sama.
Sebenarnya apa yang terjadi di hari pernikahan mereka?
Apakah Ana akan tetap bertahan dengan pernikahannya atau menyerah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eys Resa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30 Mengusir Amel
Enzi kembali ke rumah mewahnya, tetapi kemewahan itu terasa hampa, dingin, dan asing. Setiap sudut rumah, setiap benda, kini menjadi saksi bisu kebahagiaan yang ia hancurkan dan penderitaan yang ia sebabkan pada Ana. Ia berjalan melewati ruang tamu yang megah, menaiki tangga marmer, seolah menyeret rantai beban yang tak terlihat.
Di dalam kamar Ana, ia mengurung diri. Tirai tebal tertutup, menciptakan kegelapan yang sesuai dengan suasana hatinya. Ia tidak menangis lagi, air mata telah digantikan oleh rasa perih yang luar biasa. Enzi duduk di tepi ranjang itu dia membayangkan Ana yang tidur seorang diri. memperhatikan setiap sudut ruangan yang menjadi saksi bisu kesendirian Ana.
Ia meraih bantal Ana, menghirup aroma samar lavender yang masih tersisa, dan mencengkeramnya erat-erat ke dada. Wajah Ana yang polos, rapuh, dan penuh cinta terbayang jelas. Ana yang selalu patuh, selalu menunggu, dan selalu mencintai pria yang memperlakukannya seperti sampah.
"Kenapa kamu pergi, An? kenapa Kau meninggalkanku," bisiknya pada bantal itu, suaranya parau dan penuh penyesalan. "Kau seharusnya tetap di sini dan membalasku seperti apa yang aku lakukan padamu. Keacuhanmu dan ketidakpedulianmu, aku merindukan semua itu darimu, Ana. Kenapa kau yang pergi?"
Rasa bersalah Enzi semakin besar, bercampur dengan kemarahan pada dirinya sendiri. Ia tahu, kematian Ana adalah konsekuensi langsung dari tindakannya. Jika ia tidak menyakiti, menghina, jika ia tidak selingkuh, jika ia tidak mengabaikan, Ana pasti tidak akan lari.
Sementara Enzi tenggelam dalam neraka pribadinya, bel pintu rumahnya berbunyi. Amel masuk dengan senyum lebar dan tas tangan dari desainer terkenal di lengannya. Ia baru saja menyelesaikan syuting iklan dan berniat menghabiskan malam dengan Enzi, seperti yang biasa ia lakukan akhir-akhir ini.
Namun, suasana di rumah itu terasa berbeda. Para pelayan berjalan dengan kepala tertunduk, wajah mereka muram. Keheningan yang tidak biasa menggantung di udara. Amel merasa ada sesuatu yang tidak beres, tetapi ia terlalu egois untuk menanyakannya. Baginya, rumah ini hanyalah panggung tempat ia memainkan peran 'wanita simpanan yang disayangi', dan ia tidak tertarik pada drama di belakang panggung.
"Bi Darmi," sapa Amel dengan suara ceria yang terdengar sumbang di tengah kesedihan itu. "Enzi ada di mana?"
Bi Darmi, hanya menatapnya dengan tatapan datar yang sulit diartikan, campuran duka dan mungkin sedikit penghakiman kepada Amel.
"Mas Enzi ada di kamar," Bi Darmi memberitahu dengan suara datar dan langsung meninggalkannya Amel sendirian.
Amel mengabaikan suasana aneh itu, dan langsung menuju lantai atas. Ia yakin Enzi sedang menunggunya, mungkin sedikit kesal karena ia datang terlambat. Amel mengetuk pintu, dan tanpa menunggu jawaban, ia langsung masuk.
Kosong. Kamar utama itu kosong bahkan Amel sudah mencari di kamar mandi, tapi Enzi tidak ada disana. Dia lalu keluar dan menatap kamar sebelah, dengan kesal Amel segera pergi ke kamar Ana untuk melihat apakah Enzi ada di sana.
"Sayang, aku datang! Maaf, aku terlambat syutingnya sedikit..."
Kata-katanya terhenti di tenggorokan. Kamar itu gelap, hanya diterangi sedikit cahaya yang menyusup dari celah tirai. Enzi duduk di tepi ranjang, terlihat mengerikan. Rambutnya acak-acakan, matanya merah dan cekung, dan di tangannya, ia memegang erat bantal. Ekspresi di wajahnya bukan lagi kelelahan atau kemarahan, melainkan sudah di penuhi kebencian.
"Enzi? Ada apa?" tanya Amel, maju selangkah dengan waspada.
Enzi menatap Amel dengan penuh amarah. Dia langsung menerjang, Amel bahkan tidak sempat mengelak. Dalam sedetik, tangan kuat Enzi sudah mencengkeram lehernya.
"Kau! Kau wanita sialan!" desis Enzi, suaranya rendah dan penuh amarah. Kekuatan cengkeramannya didorong oleh penyesalan yang membara.
Amel terkejut, panik. Ia mencakar tangan Enzi, berusaha melepaskan diri. Pasokan oksigen mulai menipis.
"E... En... Enzi! Le... lepaskan!" Amel tercekik, wajahnya memerah dan matanya melotot.
"Dia pergi karena kita! Dia lari karena aku mendengarkanmu! Kau yang meracuni pikiranku! Kau bilang doa akan patuh dan tetap berada di samping ku!" teriak Enzi. Setiap kata adalah tuduhan, setiap desisan adalah luapan rasa sakitnya. "Kau yang membunuhnya, Amel! Kau!"
Enzi mencekik Amel lebih kuat, membayangkan bahwa dengan menghukum Amel, ia bisa mengurangi sedikit beban di hatinya. Amel mulai kehilangan kesadaran, kakinya menendang udara.
Tepat saat Amel akan pingsan, suara di dalam kepala Enzi berteriak ngeri. Aku sudah membunuh satu orang. Aku tidak boleh menjadi monster lagi.
Dengan tarikan napas kasar, Enzi melepaskan cengkeramannya. Ia mendorong Amel dengan jijik ke lantai. Amel terbatuk-batuk keras, menghirup udara dengan rakus, lehernya memerah dan sakit.
Enzi berdiri di atasnya, tubuhnya gemetar, matanya penuh jijik. "Pergi! Pergi dari sini! Aku tidak mau melihatmu lagi! Menyingkir dari hadapan ku. "
Amel, meskipun tercekik dan ketakutan, tersentak mendengar nama Ana. Ia akhirnya menyadari Apa yang terjadi.
"Enzi... Ana kenapa?" tanya Amel dengan suara serak, masih terbaring di lantai.
"Dia pergi! Dia mati karena aku dan karena wanita jalang sepertimu!" raung Enzi. "Sekarang pergi! Sebelum aku melakukan sesuatu yang lebih buruk!"
Amel, dengan sisa-sisa harga dirinya yang hancur, bangkit dan lari keluar kamar tanpa berani menoleh lagi. Ia tidak peduli dengan Enzi atau ambisi untuk menjadi nyonya Radeva. Amel hanya ingin jauh dari pria yang baru saja mencoba membunuhnya itu.
Enzi masih duduk di kamarnya yang gelap, sendirian. Ia telah mengusir satu-satunya orang yang 'tersisa' di sisinya. Tidak ada Ana, tidak ada Amel, hanya dia dan bantal Ana. Penyesalan itu kini menjadi kekasihnya, memeluknya dalam kesunyian yang menghancurkannya.
Di sebuah landasan pacu pribadi sebuah bandara internasional, Fabian berjalan dengan langkah mantap. Ia mengenakan mantel panjang yang elegan dan membawa tas tangan yang ramping. Di sampingnya, berjalan seorang wanita cantik dengan kacamata yang hampir menutup seluruh wajahnya.
Mereka menaiki tangga jet pribadi itu dengan mantap.
"Apa kamu sudah siap? "
Wanita itu menatap Fabian dan mengangguk dengan mangap.
Wanita itu menatap sejenak ke luar jendela, ke arah kota yang perlahan menjauh. Ia berpamitan pada masa lalunya, yang membawa luka dan pada dendam yang kini ia bekukan untuk dibawa kembali di masa depan. Pesawat itu bergemuruh, membawa mereka menjauh, menuju kehidupan baru yang dirancang untuk melupakan masa lalu dan rasa sakit,
"Nanti apa yang akan kamu lakukan di tempat mu yang baru Ana? " tanya Fabian sambil bersantai menikmati perjalanan.
"Aku ingin bekerja, aku ingin mendesain. Aku ingin mewujudkan cita-cita ku untuk menjadi desainer terkenal. Dan tidak ada lagi yang menghalangiku. "
"Aku akan selalu mendukungmu, Ana. "
Biar Enzi hidup dalam penyesalan nya.
😁🤣
dobel up thor sekali" tak tiap hari jg🤭🥰🥰 thank you thor 🙏🥰