Alaska Arnolda, CEO terkenal Arnolda, terpaksa menanggalkan jas mewahnya. Misinya kini: menyamar diam-diam sebagai guru di sebuah SMA demi mencari informasi tentang pesaing yang mengancam keluarganya. Niat hati fokus pada misi, ia malah bertemu Sekar Arum Lestari. Gadis cantik, jahil, dan nakal itu sukses memenuhi hari-hari seriusnya. Alaska selalu mengatainya 'bocah nakal'. Namun, karena suatu peristiwa tak terduga, sang CEO dingin itu harus terus terikat pada gadis yang selalu ia anggap pengganggu. Mampukah Alaska menjaga rahasia penyamarannya, sementara hatinya mulai ditarik oleh 'bocah nakal' yang seharusnya ia hindari?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BabyCaca, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 7 - Kena Batu nya
Kembali beberapa saat sebelumnya…
Koridor sekolah sore itu tampak lengang, hanya suara langkah beberapa murid yang masih berkeliaran dan suara kipas angin tua di ujung lorong yang berputar pelan. Alaska baru saja keluar dari ruangannya, berniat turun ke bawah untuk mengambil sesuatu yang tertinggal di dalam mobilnya. Udara di lantai dua itu cukup pengap, membuat kemeja putihnya menempel sedikit di kulit. Ia mengembuskan napas kecil, ingin segera turun.
Namun baru beberapa langkah ia berjalan, laki-laki itu tiba-tiba terhenti. Tatapan matanya mengarah pada jemari kosongnya dan saat itu juga ia sadar kalau kunci mobilnya tertinggal di ruangan. Dengan sedikit helaan napas berat karena merasa jengkel pada dirinya sendiri, Alaska memutar tubuhnya untuk kembali.
Tetapi sebelum sempat ia melangkah lebih jauh, sudut matanya menangkap sesuatu yang tidak biasa. Pintu ruangannya terbuka sedikit. Dan seseorang… seorang gadis… terlihat mengendap-endap masuk ke dalam ruangannya.
Alaska langsung mengenali rambut dan tubuh mungil itu. Siapa lagi kalau bukan Arum.
“Apa yang bocah itu lakukan? Sepertinya semua guru di sini sudah lepas tangan karena kelakuan nya,” gumam Alaska kepada dirinya sendiri, suaranya sangat pelan namun jelas mengandung nada kesal bercampur geli.
Alih-alih langsung menegur, Alaska memutuskan berdiri menempel ke dinding tak jauh dari pintu, tubuhnya menyamping sehingga tidak terlihat dari dalam. Gerakannya benar-benar senyap, seperti seorang petugas keamanan yang sedang mengintai maling amatir. Ia mengintip dari celah pintu yang terbuka sedikit.
Di balik pintu itu, ia melihat Arum berjongkok di depan kursinya. Gadis itu mengeluarkan sesuatu dari kantung kecilnya, entah apa. Alaska memiringkan bibir, sebuah senyum datar khas dirinya muncul spontan.
Ia menghela napas.
Dia mau ngapain lagi? Mengerjai aku? Menaruh sesuatu? Mengacaukan ruangan? Bocah ini memang tidak ada kapoknya…
Dengan langkah sangat pelan, Alaska menjauh sejenak lalu berpura-pura berjalan kembali menuju ruangannya sambil menggumam seperti orang yang tidak curiga apa-apa.
‘Tikus kecil aku tau kau ketakutan di bawah sana,’ batin Alaska sambil melirik ke bawah meja ketika ia sudah berada di dalam ruangan lagi. Dari sudut pandang itu, ia bisa melihat jelas sepatu Arum persembunyian yang benar-benar buruk.
Alaska memungut kunci mobilnya di meja. Setelah itu ia berjalan menuju pintu dan menutup pintu dari dalam dengan sengaja, tapi pelan.
Arum yang bersembunyi tentu salah paham. Ia mengira pintu ditutup dari luar. Ia yakin Alaska sudah pergi.
Kesempatan emas bagi Alaska untuk mempermainkan balik gadis itu.
Dengan pelan, pria itu melangkah tanpa suara dan berdiri di sisi meja, tepat di belakang arah Arum akan keluar. Saat gadis itu keluar dari bawah meja.
“Kejutan,” senyum Alaska kepada Arum.
“Pa pa pak Aska,” kaget gadis itu sampai langsung terduduk di lantai, matanya membesar seperti melihat hantu.
“Apa yang kau lakukan di ruangan guru mu Arum?” tanya pria itu dengan datarnya. Suaranya begitu tenang, tapi justru semakin membuat gadis itu ketakutan.
“Sa sa saya, anu pak, eum itu loh, oiya pak saya di suruh buk tita manggil bapak tapi bapak nya tidak ada,” karang gadis itu cepat-cepat. Ia berdiri dengan canggung, kedua tangannya gelisah.
“Benarkah? Lalu kenapa kau bersembunyi di bawah meja?” tanya pria itu lagi, nadanya masih sama tenang, datar, tapi menusuk.
“Ada kecoa pak, mau saya tangkep tapi reflek sembunyi aja gitu reflek manusia. Yaudah pak saya keluar dulu ya pak,” ucap Arum dengan wajah paniknya, berusaha kabur dari interogasi dadakan itu.
Gadis itu mencoba mengalihkan perhatian Alaska sejadi-jadinya, sementara Alaska hanya diam memandangi setiap reaksinya. Arum melewati pria itu atau setidaknya mencoba sampai Alaska menahan lengan kecil Arum dengan satu tangan.
Arum tersentak. Tubuhnya menegang.
Ruangan itu terasa tiba-tiba panas di kulitnya sendiri. Tatapan Alaska tenang namun tajam membuat Arum menelan saliva dengan keras.
“Pak saya mau keluar loh, sepertinya buk tita manggil saya,” ucap gadis itu dengan takut.
“Benarkah?” tanya Alaska, tangannya masih menahan lengan Arum, tidak memberi celah untuk kabur.
Alaska melangkah maju, mendekat perlahan. Arum seketika kaget dan memejamkan mata, ketakutan seolah pria itu akan melakukan sesuatu. Tapi yang terjadi bukan itu.
Alaska hanya mendorongnya sedikit hingga Arum terdorong ke arah meja kerjanya. Laki-laki itu kemudian membuka jendela lebar-lebar. Cahaya siang menerobos masuk, menyilaukan ruangan.
“Duduk,” ucap Alaska datar.
“Untuk apa pak? Tidak sopan duduk di kursi bapak sendiri,” ucap Arum canggung, bibirnya gemetar.
“Saya bilang duduk, atau mau saya paksa kamu duduk di sana,” jelas Alaska dengan datar.
“Jangan pak,” geleng Arum cepat, ketakutan.
“Atau kau melakukan sesuatu di ruangan ini sehingga membuat mu takut?” tanya Alaska, alisnya terangkat sedikit.
“Ga kok pak, sa sa saya duduk,” ucap gadis itu akhirnya menyerah.
Alaska hanya menatapnya datar. Lalu sebelum Arum benar-benar duduk, Alaska menarik tangannya sedikit, membuat gadis itu terlonjak.
Senyuman Alaska muncul, miring dan datar. Ia jelas menikmati wajah kacau Arum.
Setelah itu barulah ia melepaskan tangan gadis itu.
1.
2.
3.
Dan akhirnya Arum duduk di kursi itu. Ia merasa ada sesuatu yang aneh lengket, panas, dan membuat bagian belakang roknya terasa tidak nyaman. Tapi ia memaksa tersenyum.
“Tidak ada apa apa seperti nya ya, aku saja yang terlalu negatif thinking, ya sudah Arum. Ayo keluar, saya mau menemui buk tita dan mengambil barang di luar,” ucap pria itu santai.
“Sudah saya bilang kan yakali saya boongin bapak,” senyum Arum dengan manis, padahal dalamnya kacau.
“Hmm,” jawab Alaska datar.
“Bapak duluan saja saya akan membersihkan ini, ada kecoa saya harus menemukan nya pak,” angguk Arum, entah alasan apa lagi yang ia buat.
“Ya jangan nakal atau kau akan di skors. Saya keluar dulu, jika ada barang saya yang hilang berarti kau maling nya.”
“Baiklah pak,” ucap Arum datar.
Alaska keluar sambil tersenyum tipis senyum yang tidak sempat terlihat oleh Arum. Begitu langkah Alaska benar-benar menjauh…
Arum langsung berdiri dan
Roknya robek.
“Arghhh!!” jerit kecilnya. Pinggulnya terasa panas dan perih seperti tersayat ringan. “Sial ini semua gara-gara pak Alaska!”
Ia melihat rok bagian belakangnya yang robek, lalu memeriksa kulitnya yang memerah.
“Arghhh sialan malah kena batu nya aku?! Lagian kenapa tu pak guru balik sih, aduh kaki mulus ku merah sialan, malu banget ini keluar gini anjir lah,” teriaknya pelan namun penuh emosi.
“Gimana ini nutupin nyaa, huaaa!”
Ia melihat jas hitam di sofa. Tanpa pikir panjang Arum mengambilnya cepat dan menutup pinggulnya. Ia juga sempat membersihkan kursi agar tidak ketahuan.
“Kayak nya kalau ini doang ga bakal ketauan deh, ini juga jatuh dekat sofa jas nya besok gua balikin lagi!” gumamnya panik.
Setelah memastikan tidak ada yang melihat, Arum berlari ke kelas untuk mengambil celana olahraga.
“Guru sialan, awas aja lu ya. Lihat aja nanti lu ga bakal betah ngajar di sini,” umpat Arum.
Sementara itu, Alaska yang sedang berjalan ke mobilnya hanya terkekeh kecil.
“Bocah nakal, teruslah lancarkan aksi mu itu. Kau akan tau akibat nya sendiri,” gumamnya sambil membuka pintu mobil.
...----------------...
Reader tersayang, dukungan kalian dengan vote atau komentar benar-benar membuat novel ini tumbuh. Bantu ya!