Akibat kesalahan satu malam, ia terjerat dalam sebuah pernikahan dengan seorang pria beristri.
Kebencian istri pertama membuatnya diabaikan, tak dianggap, bahkan dirampas haknya sebagai istri dan ibu.
Mampukah Lula bertahan dengan status sebagai istri yang disembunyikan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kolom langit, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mama???
Mobil melaju membelah keramaian jalan di sore hari itu. Dirga melajukan mobil dengan kecepatan sedang. Sesekali melirik Lula yang duduk di sisinya, dengan memainkan ponsel milik Dirga yang dipinjamnya.
“Kamu mau hape seperti itu?” tanya Dirga membuka suara. Sejak meninggalkan rumah, belum ada pembicaraan apapun di antara mereka.
“Tidak usah, Mas.” Lula menatap suaminya sambil tersenyum. “Aku masih punya hape yang dulu dan masih bagus.”
“Masa sih? Mana hapenya?” Dirga menatapnya ragu, kemudian kembali terfokus pada jalan di depannya.
Lula pun merogoh isi tas dan mengeluarkan ponsel miliknya. Memperlihatkan kepada sang suami. “Ini ... masih bagus, kan?”
“Coba sini aku lihat.” Dirga meraih ponsel milik Lula dan menelitinya, membolak-balikkan di tangannya dengan kerutan tipis di dahi. Benda pipih itu sudah cukup tua, terdapat juga retak di sudutnya. Ia menghela napas, lalu mengembalikan ponsel itu ke tangan Lula. Sebelah tangannya mengulur mengusap rambut istrinya. “Nanti kita beli yang baru saja. Pantas kamu susah dihubungi, ponselnya jelek sih.”
“Itu kan karena aku jarang pegang, bukan karena hapenya jelek,” balas Lula dengan bibir mengerucut lucu.
“Jangan begitu bibirnya,” sambar Dirga seraya terkekeh. Ekspresi wajah Lula terkadang sangat menggemaskan baginya.
“Kenapa?”
“Lucu soalnya.” Dirga menatap bibir mungil istrinya yang lumayan menggoda. Apa lagi jika Lula spontan menggigiti bibir bawahnya yang membuat Dirga merasa tak tahan.
Berselang lima belas menit, mobil memasuki area parkir sebuah pusat perbelanjaan. Dirga membantu Lula melepas sabuk pengaman hingga membuat keduanya berada dalam jarak yang sangat dekat. Bahkan posisi kepala Dirga berada tepat di depan dada Lula.
Membuat Lula membuang pandangan keluar jendela. Aroma tubuh Dirga yang baginya sangat wangi, serta wajah tampannya semakin terlihat jelas dari jarak yang sangat dekat. Lula bahkan harus menahan napas karena malu.
“Kamu kenapa?” tanya Dirga membuat Lula reflek menoleh.
Deg!
Bola mata Lula melebar saat tatapan mereka bertemu dalam jarak kurang dari lima sentimeter. Bulu matanya yang lentik tampak menari-nari seiring dengan kelopak mata yang mengerjap. Tangan Dirga terangkat, membelai pipi. Ibu jarinya bergerak dengan lembut menyapu bibir lembut istrinya. Dirga menatapnya lekat, memajukan wajahnya hingga membuat Lula memejamkan mata.
Tring!
Dirga mendengus sebal ketika ponsel tiba-tiba berdering tanda panggilan masuk. Ingin rasanya ia memaki siapapun yang telah menggagalkan kesempatan emas itu untuk mencium Lula.
Kemudian dengan ribuan umpatan di kepalanya, ia meraih ponsel. namun tiba-tiba terlihat kerutan di kening ketika membaca nama yang tertera di sana. Dirga menghela napas panjang.
“Itu dari macan tutul lagi, Mas? Dari tadi menghubungi Mas tapi tidak dijawab. Memangnya macan tutul itu siapa?” tanya Lula penasaran. Terlebih setelah melihat ekspresi wajah suaminya yang langsung salah tingkah.
“Itu ... Alika.”
Sepasang mata indah Lula kembali melotot. Bagaimana mungkin seorang suami memberi julukan istrinya seperti itu.
“Kalau Bu Alika dikasih nama macan tutul, lalu aku dikasih nama siapa, Mas?”
“Kamu serius tanya?” Bukannya menjawab, Dirga malah balik bertanya, yang membuat kerutan di kening Lula semakin dalam. "Kamu lihat saja sendiri aku kasih nama siapa."
Lula menatap kembali layar ponsel membuka daftar kontak dan mencari nomornya. Hingga menemukan sebuah nama manis yang disematkan Dirga di sana. 'Istriku' yang menciptakan semburat merah di pipi Lula.
Apakah ini artinya Mas Dirga sudah mengakui aku sebagai istri?
Ponsel pun kembali berdering. Tetapi Dirga bahkan tampak enggan menjawabnya.
“Kenapa tidak dijawab, Mas?”
“Tidak usah, nanti saja. Aku sedang menghindari Alika.” Ia menatap Lula yang terlihat bingung. “Nanti aku jelaskan, Sayang. Ayo turun dulu.”
*
*
*
Tak pernah dibayangkan oleh Dirga sebelumnya bahwa untuk berbahagia ternyata sangatlah mudah. Dengan saling bergandengan tangan, ia membawa Lula memasuki sebuah toko perlengkapan bayi. Seorang wanita tampak menemani mereka berbelanja.
Sebelumnya, Dirga juga sempat mampir ke sebuah toko ponsel dan membeli ponsel keluaran terbaru untuk sang istri. Kini, Dirga tengah mendorong sebuah troli yang penuh dengan barang belanjaan. Melewati beberapa toko sambil melihat-lihat dari luar.
"Kamu masih ada sesuatu yang mau dibeli, tidak?" tanya Dirga.
"Tidak ada lagi, Mas. Ini kan belanjaannya sudah banyak."
"Ya sudah, kita istirahat sebentar di kafe itu, ya?" Dirga menunjuk sebuah kafe tak jauh dari mereka berjalan. “Kamu tunggu di sini sebentar. Aku mau ke toilet dulu.”
“Iya, Mas.”
Sambil menunggu suaminya ke toilet, Lula duduk di sebuah kursi panjang sambil memainkan ponsel barunya. Senyum pun tak pernah lekang dari bibirnya. Ya, sekarang Dirga berubah seratus delapan puluh derajat hingga membuat Lula merasa disayangi dan terlindungi.
Tetapi mendadak senyuman itu memudar, mengingat beberapa bulan lalu ketika Dirga mengucapkan sebuah janji kepada Alika.
Apakah Mas Dirga melakukan semua ini karena tidak lama lagi dia akan meninggalkanku sesuai janjinya kepada Bu Alika? Terlebih lagi dia akan menuntut hak asuh anakku. Apa mungkin sikap baiknya selama beberapa hari ini ada tujuan tertentu?
Tak terasa buliran air mata membasahi pipinya. Lula pun tak mengerti apa yang terjadi kepada hatinya. Padahal ia telah membangun benteng kokoh agar tak mudah luluh oleh Dirga, tetapi anehnya, semakin ia mencoba menghindar, semakin ia merasa terikat oleh laki-laki itu. Bahkan kini mulai merasa membutuhkannya.
“Kamu kenapa, Nak? Kenapa menangis?” Suara lembut itu membuyarkan lamunan Lula. Ia menatap seorang wanita yang kini duduk di sisinya.
Tersadar, Lula mengusap air mata yang mengalir di pipi, kemudian menggeleng pelan sambil tersenyum. “Saya tidak apa-apa, Bu.”
“Wanita hamil itu memang emosinya gampang berubah. Kadang senang kadang juga sedih. Oh ya, sudah berapa bulan hamilnya?” tanyanya ramah sambil menatap perut Lula.
“Sembilan bulan, Bu.”
“Wah, sebentar lagi lahiran ya.” Ia tampak antusias. “Kamu ke mari sendirian, Nak?”
“Tidak, Bu. Sama suami saya.”
Pandangan wanita paruh baya yang terlihat sangat modis itu pun berkeliling. “Loh, suaminya kemana?”
“Sedang ke toilet.”
“Oh ... Boleh ibu pegang perutnya? Siapa tahu ibu ketularan dapat cucu.”
Lula terkekeh. “Boleh, Bu.”
Wanita itu pun mengelus perut Lula dengan lembut. “Anak kamu laki atau perempuan?”
“Laki-laki, Bu.”
“Anak pertama?”
Lula menjawab dengan anggukan kepala. Yang membuat mata wanita itu berbinar.
“Senang sekali ya. Suami kamu pasti jadi sangat posesif. Ibu juga dulu begitu waktu hamil.”
"Iya, Bu."
Di sisi lain, Dirga baru saja keluar dari toilet. Dari kejauhan, ia melihat Lula sedang duduk dengan seorang wanita. Alis Dirga pun saling bertautan, meskipun wanita yang tengah mengobrol dengan istrinya itu duduk dengan posisi membelakang, namun Dirga seolah dapat mengenali.
Ia mencoba menajamkan penglihatannya dan menatap wanita itu dari ujung kaki ke ujung kepala.
“Itu ... Seperti mama.” Dirga melangkah semakin mendekat, hingga sepasang matanya membulat saat berhasil meyakinkan tebakannya melalui gelang yang digunakan wanita itu.
“Ah, beneran mama! Bagiamana ini?” gumam Dirga yang langsung menyembunyikan tubuhnya dari balik sebuah pilar. Sesekali mengintip ke arah sana.
"Gawat!"
****
kapan ada karya baru lagi Thor
hahahaha