Gavin Alvareza, pria berdarah dingin dari keluarga mafia paling disegani, akhirnya melunak demi satu hal: cinta. Namun, di hari pernikahannya, Vanesa wanita yang ia cintai dan percaya—menghilang tanpa jejak. Gaun putih yang seharusnya menyatukan dua hati berubah menjadi lambang pengkhianatan. Di balik pelaminan yang kosong, tersimpan rahasia kelam tentang cinta terlarang, dendam keluarga, dan pernikahan gelap orang tua mereka.
Vanesa tidak pernah berniat lari. Tapi ketika kenyataan bahwa ibunya menikahi ayah Gavin terkuak, dunianya runtuh. Di sisi lain, Gavin kehilangan lebih dari cinta—ibunya bunuh diri karena pengkhianatan yang sama. Amarah pun menyala. Hati yang dulu ingin melindungi kini bersumpah membalas.
Dulu Gavin mencintai Vanesa sebagai calon istri. Kini ia mengincarnya sebagai musuh.
Apakah cinta mereka cukup kuat untuk melawan darah, dendam, dan luka?
Atau justru akan berakhir menjadi bara yang membakar semuanya habis?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sonata 85, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Luka yang Tak Terlihat
Gavin hanya ingin menaklukkan hati Vanesa. Ia percaya, dengan kekuasaan yang dimiliki, cinta bisa dibeli.
Vanesa lagi-lagi tak berdaya. Dengan berat hati, ia menuruti keinginan Gavin. Gavin menuangkan wine kembali ke gelas Vanesa.
“Kalau begitu, kamu boleh mencoba seragammu.”
“Baiklah... mari kita lakukan,” gumamnya datar.
Ia melangkah masuk ke rumah, langkah kakinya berat namun pasti. Tanpa menoleh, Vanesa menuju kamar, menutup pintu, lalu masuk ke kamar mandi. Tak lama, ia keluar mengenakan bathrobe putih, wajahnya tanpa ekspresi.
Gavin menyusul membawa sebotol anggur. Ia menyodorkannya tanpa kata. Vanesa menerimanya tanpa tanya, tanpa protes. Ia diam, seakan tubuhnya bukan lagi miliknya.
“Mari kita lakukan sekarang,” ucap Vanesa, pelan namun tegas, sembari melepaskan tali pengikat di pinggang.
“Jangan buru-buru, Danita... kita nikmati saja malam ini dengan santai,” Gavin menyeringai. “Apa kamu ingat hari-hari saat pacaran dulu? Kamu dulu selalu menolak jika aku mengajakmu tidur. Kenapa? Oh, aku ingin bertanya. Apa kamu belum pernah melakukannya dengan suamimu. Maksudku … aku pikir aku orang yang pertama membuka segelnya bukan?”
Vanesa tak menjawab. Ia hanya menatap kosong, penuh luka. Ia tahu—kalau ia melawan, Gavin bisa menghancurkan semua yang ada di kamar. Dia terlalu lelah untuk berdebat. Untuk malam ini... ia akan menurut. Walau hatinya memberontak, mulutnya tetap bungkam.
‘Sabar, Vanesa... sabar. Akan ada waktunya kau mengepakkan sayap dan terbang tinggi. Tapi belum sekarang…’batinnya berbisik, mencoba menguatkan diri. Karakter tangguh yang ia bangun selama ini belum bisa dihancurkan, bahkan oleh Gavin.
Namun saat Gavin tengah menyentuh Vanesa, ponselnya berdering. Nama Karin, istrinya, muncul di layar.
“Sayang, kamu di mana?” suara Karin lembut namun penuh tanya. Ia sudah menunggu Gavin pulang. Wanita itu mengenakan gaun tidur merah darah, ranjangnya dihiasi kelopak mawar, dan sebotol wine siap disajikan.
“Karin, aku tidak bisa pulang malam ini. Ada urusan penting di kantor. Kamu tidur dulu saja,” jawab Gavin datar, sementara tangannya melepas bathrobe Vanesa.
“Kenapa tidak bilang sebelumnya?” Karin terdengar kecewa.
“Tadi terlalu sibuk dengan satu urusan... repot sekali, aku lupa mengabari,” ucap Gavin sambil memainkan bagian tubuh Vanesa dengan tangan kirinya, sementara tangan kanan memegang ponsel. Vanesa duduk diam, seperti boneka tak bernyawa. Matanya hanya menatap kosong saat Gavin menyentuhnya.
“Pulanglah malam ini, aku punya kejutan spesial,” bujuk Karin lembut.
“Spesial seperti apa?” tanya Gavin dengan suara menggoda, sambil menatap mata Vanesa.
“Aku menunggumu di kamar... pakai lingerie merah yang aku beli di Paris ,” suara Karin semakin menggoda.
Gavin menyeringai kecil. “Pasti kamu seksi sekali malam ini ya?”
Vanesa hanya melamun. Ingatannya melayang pada masa awal pernikahannya dengan Damian.
"Vanesa , aku beli lingerie merah untuk kamu, nanti pakai ya, kalau kamu sudah siap, melakukan tugasmu,” ucap Damian membujuk.
Vanesa hanya mengangguk dingin menatap kain yang dibeli Damian.
‘Andai aku dulu melakukan tugasku sebagai istri pada Damian, mungkin dia tidak mencampakkanku’batin Vanesa pahit.
Gavin menyadari Vanesa sedang melamun. Tatapan matanya tajam menusuk, mencurigai isi pikiran Vanesa. Ia mencoba membangunkan Vanesa dari lamunanya dengan cara menyenggol tubuhnya, tapi yang terjadi …
“Ah… Damian!” pekiknya tanpa sadar.
Seketika wajah Gavin gelap dan tatapan matanya tajam penuh amarah.
‘Bahkan saat aku menyentuh tubuhmyu, pikiranmu ternyata padanya’
“Aku nggak bisa, Karin. Besok malam saja ya. Tidurlah dulu,” katanya cepat sebelum menutup telepon.
Lalu tiba-tiba—BRUK!
Gavin membanting tubuh Vanesa ke ranjang.
“Aakk!” teriak Vanesa. Matanya melotot kaget saat Gavin menatapnya penuh amarah. Ia menggenggam lengan Vanesa begitu kuat, lalu menarik tubuh wanita itu ke arah lemari.
Tanpa aba-aba, Gavin menekan tubuh Vanesa ke tembok dari belakang. Kasar. Brutal.
Vanesa tak melawan. Ia hanya diam. Tubuhnya seperti mati rasa.
Semakin ia diam, semakin Gavin marah. Ia menarik tangan Vanesa dan mendorong tubuhnya hingga membentur sisi ranjang.
“Tidur denganmu seperti meniduri batang pisang! Mana Vanesa yang aku kenal dulu? Ceria dan penuh semangat!”
Vanesa mengusap lengannya yang memerah. Pundaknya terasa perih.
“Karena semuanya memang tak bisa seperti dulu lagi, Gavin,” jawabnya datar.
“Karena Damian?! Karena dia yang mengisi ruang hatimu?! Dia pria brengsek, Vanesa! SADARLAH!”
“Dia masih suamiku, Gavin.”
“Kalian cocok! Sama-sama sampah! Pergi dari sini! Kamu menjijikkan!”
Gavin masuk ke kamar mandi. Suara tinjunya menghantam dinding berkali-kali.
Vanesa tak buang waktu. Dengan tubuh gemetar, ia mengenakan pakaiannya, lalu keluar dari rumah itu. Di pinggang masih membekas luka lama. Kini pundaknya juga cedera. Gavin menyakitinya secara fisik saat laki-laki itu cemburu.
Ia pergi ke tokonya, membuka pintu dengan kunci cadangan yang selalu ia bawa. Di kamar mandi ruko, ia membuka keran, menyamarkan isaknya.
“Gavin… kau iblis, kamu menyakitiku,” bisiknya parau. “Luka di pinggang belum sembuh… kini pundakku…”
Ia membalut pundaknya dengan kain. Rasa sakitnya tajam, menusuk.
“Suatu saat... aku akan membalas semua ini. Dengan tanganku sendiri.”
Keringat dingin mengucur deras. Ia menahan sakit sampai akhirnya tertidur di toko.
*
Beberapa Hari Kemudian
Rasa sakit di pundaknya semakin parah. Serli, asisten pribadi Vanesa yang tinggal di ruko, sudah mencoba membantunya, tapi tak banyak membantu.
Malam itu, Vanesa keluar dari ruko, ingin mencari udara segar.
Kebetulan sekali—mobil Damian lewat di depan ruko.
“Vanesa?” Damian turun tergesa. “Kenapa kamu di sini?”
Vanesa kaget. Campuran rasa senang dan benci menyelimuti wajahnya.
“Damian...? Kamu ngapain di sini?”
“Aku yang harus tanya. Kamu kenapa malam-malam ada di sini?”
“Ada urusan kerja… bisa tolong antar aku ke rumah sakit?”
Damian melihat Vanesa menahan sakit, lalu menyentuh pundaknya.
“Aaakh!” Vanesa meringis.
Damian panik. “Kamu terluka! Kita harus ke rumah sakit!”
“Tidak. Antar aku ke rumah lama Papi saja,” ucap Vanesa tegas.
Sepanjang perjalanan, Vanesa hanya meringis menahan sakit.
“Kamu nggak mau cerita, Sayang?” tanya Damian lembut.
“Tidak perlu.”
“Aku masih suamimu, Vanesa…”
Tatapan Vanesa berubah dingin. Ia menoleh menatap Damian tajam.
“Kalau bukan karena ulahmu, aku tidak akan melalui semua penderitaan ini! Aku tidak akan dipermalukan seperti ini, DAMIAN!”
Damian terdiam. Suara Vanesa meninggi, penuh kemarahan.
“Aku minta maaf, aku ingin memperbaiki semuanya...”
“Terlambat!” suara Vanesa pecah. “Aku sudah menjual tubuhku! Demi membayar hutang, demi pengobatan Papi! Kamu puas sekarang?!”
Bersambung...
ini cerita bener2 sedih dari awal sampe bab ini