"HABIS MANIS SEPAH DI BUANG" itu lah kata yang cocok untuk Rama yang kini menjadi menantu di pandang sebelah mata.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zhar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17 Mantu Rahasia
Rama menatap Heri yang pingsan di lantai. Tatapannya tajam banget, seolah-olah dia pengen langsung ngabisin orang itu di tempat.
Tapi Rama nahan diri. Walaupun sekarang dia punya kekuatan yang luar biasa, semua ajaran dan prinsip yang dia pegang dari dulu bikin dia gak bisa semudah itu ngebunuh orang.
Toh, kematian bukan satu-satunya cara buat bikin orang nyesel seumur hidup.
Kadang, bikin seseorang pengen mati tapi gak bisa, itu jauh lebih parah.
Setelah mikir sebentar, Rama pakai teknik rahasia dari warisan Pengobatan terkuat. Hasilnya? Heri gak bakal bisa punya anak lagi... dan satu kakinya jadi lumpuh.
Setelah itu, Rama balik badan dan keluar dari KTV tanpa banyak bicara.
Begitu sampai di pintu, Ayu udah nunggu sambil manggil taksi. Begitu liat Rama keluar dalam kondisi berdarah-darah, dia langsung nyamperin buat bantuin.
Sopir taksinya kelihatan agak takut liat darah di badan Rama, tapi untungnya gak kabur. Rama curiga Ayu pasti udah bayar mahal supaya si sopir gak banyak tanya.
Sepanjang jalan pulang ke vila Keluarga Ningrum, suasananya sunyi. Tapi begitu mereka sampai, suasana langsung heboh.
Begitu liat Rama yang berlumuran darah, semua orang langsung berdiri.
"Apa yang terjadi ini?!"
Pak Sidik nanya dengan wajah serius.
Ayu langsung jawab, "Ayah, pacarnya Yuni, si Heri itu, nyulik aku buat balas dendam ke Rama. Bahkan dia sempat mau... nyakitin aku. Untungnya Rama datang tepat waktu dan nyelametin aku. Makanya dia sampai luka-luka begini."
Yuni langsung nyamber, "Gak mungkin! Kak, kamu jangan asal tuduh. Heri gak mungkin kayak gitu!"
"Iya, benar!" Bu Heni ikut menimpali dengan sinis. "Nak Heri itu bukan orang seperti itu. Rama pasti yang bikin onar di luar terus luka sendiri. Kamu gak usah bela-bela dia. Cepat bawa dia keluar! Jangan bawa sial ke rumah ini. Darahnya itu bikin suasana gak enak!"
Ayu gak tinggal diam. "Bu, aku gak bohong. Yang aku bilang itu kenyataan. Rama benar-benar..."
"Udah! Jangan banyak alasan. Cepat bawa dia ke rumah sakit. Jangan biarkan dia tinggal di sini. Bikin Bala aja!"
Bu Heni ngotot.
Tapi Ayu membalas dengan tegas, "Kalau Ibu gak percaya, gak usah ikut campur. Mulai sekarang, Rama adalah suami sahku."
Setelah bilang begitu, Ayu bantuin Rama naik ke lantai atas.
Rama ngerasa hangat banget di hati. Meski badannya sakit semua, ucapan Ayu barusan bikin semuanya terasa layak.
Pak Sidik dan yang lainnya sampai melongo.
Mereka bener-bener gak nyangka Ayu seberani itu membela Rama.
Melihat Ayu dan Rama yang sudah naik ke lantai dua, Bu Heni panik. "Sekarang gimana, dong?"
Pak Sidik mengernyit dalam. "Mana aku tahu?"
“Pak, aku gak peduli gimana caranya, yang jelas kamu harus cari cara buat misahin mereka. Ayu gak boleh terus buang waktu sama Rama. Kalau sampai mereka punya anak atau semacamnya, itu bakal ribet banget nanti,” kata Bu Heni dengan nada serius dan galak.
Pak Sidik menarik napas panjang. “Mungkin ada caranya, tapi aku masih ragu.”
“Ragu soal apa? Jelasin yang jelas,” Bu Heni menatap tajam suaminya.
“Aku khawatir kalau Ayah ku tiba-tiba sadar. Dia yang ngedorong pernikahan ini dari awal. Kalau aku paksa mereka cerai, terus Ayah tiba-tiba bangun, bisa-bisa kepalaku yang dipenggal,” jawab Pak Sidik dengan wajah serius.
“Ah, udahlah! Ayah itu udah koma hampir setahun, usianya juga udah tua. Kemungkinan buat bangun lagi kecil banget. Dan kalaupun bangun, apa yang bisa dia lakuin? Dasar pengecut! Udah cepet pikirin cara, jangan banyak alasan!”
Bu Heni mendesak tanpa ampun.
Di tengah ketegangan itu, Yuni ikut angkat suara, “Bu, kalian lanjut aja ngobrol. Aku mau cari Heri, HP-nya dari tadi gak bisa dihubungi.”
“Hati-hati di jalan ya, kalau ada apa-apa langsung telepon,” jawab Bu Heni agak lebih lembut.
“Hmm.” Yuni langsung keluar rumah dengan langkah cepat.
Sementara itu, di lantai atas, Rama duduk di tepi ranjang, dibantu Ayu yang pelan-pelan ngelepasin baju berdarahnya.
Luka-luka di tubuh Rama bikin merinding penuh memar, goresan, dan darah kering. Ayu sampai gak bisa nahan air matanya.
Semua luka itu… demi dirinya.
“A-aku cari dokter dulu ya, tunggu bentar. Bertahanlah,” ucap Ayu dengan suara bergetar.
“Gak usah,” kata Rama sambil mencoba tersenyum. “Cuma luka luar kok. Tubuhku udah terbiasa… aku bisa sembuh cepat, percaya deh.”
“Tapi kali ini kamu harus nurut!” sahut Ayu tegas, matanya masih berkaca-kaca.
Rama akhirnya angkat tangan. “Oke deh, terserah kamu.”
“Bagus. Tunggu aku di sini ya,” kata Ayu sambil buru-buru keluar kamar.
Begitu Ayu pergi, Rama langsung duduk bersila, menenangkan napasnya. Dia mulai merasakan energi misterius dalam tubuhnya mengalir deras.
Dan benar saja… luka-lukanya mulai menutup, mengering, bahkan ada yang mulai mengelupas sendiri. Kecepatan penyembuhannya bikin Rama senyum tipis ini luar biasa.
Tak lama kemudian, Ayu datang bareng seorang Dokter Tua.
“Dok, tolong segera obati dia ya,” desak Ayu cemas.
“Iya, iya, Nona, jangan khawatir. Tapi lebih baik Anda tunggu di luar dulu. Saya takut kepanikan Anda mengganggu saya bekerja,” kata sang Dokter dengan sopan tapi tegas.
“Kalau butuh apa-apa langsung panggil saya, ya. Saya tunggu di luar,” jawab Ayu cepat lalu keluar ruangan.
Dokter itu menutup pintu perlahan. Tapi begitu dia mulai memeriksa luka-luka di tubuh Rama, ekspresinya langsung berubah jadi campuran bingung dan kesal.
Dia menggelengkan kepala, lalu berseru setengah marah, “Eh, kalian ini lagi ngerjain saya, ya? Lukanya udah kering semua, bahkan sebagian udah mulai ngelupas. Gak ada yang parah. Untuk apa manggil saya ke sini? Anak kecil juga tahu ini bukan luka baru.”
Rama tersenyum tipis. “Maaf, Dok. Tolong bantu kasih perban aja yang simpel, gak usah terlalu ribet. Dan pas keluar nanti, jangan banyak ngomong ya. Berapa pun biaya konsultasinya, tinggal bilang aja, saya bayar.”
Si dokter langsung berubah nada. “Oh… ya sudah, kalau begitu.”
Urusan duit? Gak ada yang menolak, apalagi dokter panggilan malam-malam gini.
Beberapa menit kemudian, dokter itu keluar dari kamar dan menemui Ayu.
“Semuanya sudah saya tangani. Lukanya gak berat, gak ada yang perlu dikhawatirkan,” katanya santai.
Ayu langsung lega. “Terima kasih, Dok. Terima kasih banyak…” ucapnya berkali-kali, penuh syukur.
Setelah si dokter pamit dan pergi, Ayu masuk lagi ke kamar Rama, lalu menutup pintunya pelan.
Melihat Rama masih duduk bersila di ranjang, Ayu langsung nyuruh, “Kamu harus berbaring, istirahat sebentar. Jangan maksa.”
“Aku gak ngantuk,” jawab Rama pelan.
“Udah nurut aja, baring sebentar, oke?”
Rama akhirnya angkat tangan pasrah. “Oke deh, oke.”
Dia berdiri, lalu berjalan pelan… ke arah Karpet di lantai.
Ayu terdiam sejenak, baru sadar. Dadanya tiba-tiba sesak, dan jantungnya berdebar nggak karuan.
Sudah lebih dari setahun mereka menikah, dan Rama selalu tidur di Karpet. Bahkan dalam kondisi kayak sekarang pun, Karpet itu tetap jadi pilihan refleksnya. Sudah jadi kebiasaan… dan pengorbanan yang diam-diam.
Dia ingat lagi bagaimana Rama hari ini mempertaruhkan nyawanya untuk menyelamatkan dia. Dan bagaimana selama ini dia bersikap dingin, bahkan kejam, pada Rama. Perasaan bersalah tiba-tiba menyerbu.
“Kamu... nggak usah tidur di Karpet lagi. Tidur aja di kasur, lebih enak,” ucap Ayu pelan tapi mantap.
Rama menghentikan langkah, lalu menoleh dengan mata yang agak berbinar. “Beneran, sayang?”
Ayu pura-pura cemberut, tapi suaranya lembut, “Dasar bodoh. Tentu aja bener. Kamu udah cukup menderita selama ini. Aku bakal nebus semuanya pelan-pelan... asalkan kamu masih mau jadi suamiku, Rama.”
Rama menatapnya, lalu tersenyum. “Kalau begitu… gimana kalau selain tidur, kita juga… ya, ngelakuin hal lain?”
Wajah Ayu langsung merah padam. “Kamu ini ya! Udah luka-luka gitu masih aja mikir ke situ! Mau saya lempar sandal?!”