Mereka mengatakan dia terlahir sial, meski kaya. Dia secara tidak langsung menyebabkan kematian kakak perempuannya dan tunangannya. Oleh karena itu, tidak ada seorang pun yang berani menikahinya. Mempersiapkan kematiannya yang semakin dekat, ia menjadi istrinya untuk biaya pengobatan salah satu anggota keluarga. Mula-mula dia pikir dia harus mengurusnya setelah menikah. Namun tanpa diduga, dia membanjirinya dengan cinta dan pemujaan yang luar biasa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BRAXX, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17
John dengan sigap keluar dari mobil, mengambil kursi roda, lalu membantu Luca duduk di atasnya.
"Ayo."
Duduk di kursi roda, Luca menoleh sedikit dan tersenyum padanya. "Kamu jalan duluan."
Dengan perasaan yang sulit dijelaskan, Freya mendorong Luca menuju rumah sakit.
Mereka masuk tanpa banyak bicara dan melewati lobi.
Begitu berada di dalam lift, Freya tidak bisa menahan diri lagi. Ia menoleh dan menatapnya. "Patriark Moretti bilang kamu tidak suka tempat ramai dan juga enggan bicara dengan orang asing. Jadi, kenapa kamu bersikeras ingin bertemu nenekku?"
Saat ia belum begitu mengenalnya, ia pikir Luca adalah orang yang dingin. Setelah mengenalnya lebih jauh, ia merasa bahwa Luca tidak hanya dingin, tapi juga sombong dan cuek.
Jelas bukan tipe pria yang suka ngobrol soal hal-hal sepele dengan kerabat.
"Aku penasaran."
"Penasaran dengan apa?"
Luca menoleh dan menatap tubuh mungil Freya yang terbungkus kain sutra hitam. "Keluarga seperti apa yang bisa membesarkan orang bodoh sepertimu?"
Freya terdiam.
"Cuma... keluarga biasa." Ia mengerucutkan bibirnya. "Tunggu, bukan itu poinnya. Aku mau tegaskan bahwa aku bukan orang bodoh!"
Bersandar di kursi roda, Luca tertawa kecil dengan nada menggoda. "Kamu terlalu baper."
Freya sedang tidak ingin berdebat. Ia hanya menatap angka-angka di panel lift yang terus berubah, dengan perasaan campur aduk.
Di satu sisi, ia sangat khawatir dengan kondisi neneknya. Di sisi lain, ia juga khawatir dengan keberadaan kedua tantenya.
Lift berbunyi dan akhirnya mereka tiba di lantai lima belas.
"Rumah sakit ini mewah juga, ya! Sehari di sini pasti mahal. Leo, dari mana kamu dapat uang sebanyak itu?"
Begitu pintu lift terbuka, terdengar suara wanita bernada tinggi.
"Kak, bukan waktunya ngomongin itu. Mereka sedang berusaha menyelamatkan ibu di dalam sana."
"Nanti saja kita bahas soal ibu. Aku cuma ingin tahu dari mana kamu dapat uang segitu! Biaya rumah sakit kali ini pasti mahal juga, kan? Bisa habis ribuan dolar. Uang segitu di kampung bisa beli tanah hampir seribu meter persegi..."
"Iya bener! Kita ini miskin! Dari mana kamu dapat uang segitu? Sudah lah, penyakit si tua itu biarin saja. Dia sudah tua, percuma diobatin. Lebih baik uangnya kita simpan dan bagi rata..."
Freya baru saja melangkah keluar dari lift ketika mendengar percakapan kedua tantenya soal uang dengan pamannya. Urat di keningnya langsung menegang.
"Kakak-kakak, aku benar-benar nggak punya uang sekarang. Tapi kalau pun punya, pasti akan aku gunakan buat obatin Ibu!"
Terjepit di antara kedua kakaknya, Leo Mauren tampak sangat kesal. "Mereka sedang berusaha menyelamatkan ibu, dan kondisinya belum jelas. Tapi kalian malah bicara seperti ini!"
"Bagaimanapun juga, dia sudah tua. Cepat atau lambat pasti meninggal. Kita yang masih hidup ini juga harus mikirin masa depan."
"Benar. Aku yakin Ibu juga nggak mau lihat kita hidup susah di kampung setelah dia meninggal. Jangan buang-buang uang buat dia..."
Nina dan Priscilla terus bicara tanpa henti, bahkan hampir menggeledah Leo untuk melihat berapa uang yang dia miliki.
Freya mengepalkan tangannya kuat-kuat. Ia melangkah cepat ke arah mereka dan berdiri di depan Leo. "Tante Nina, Tante Priscilla, nenek masih sedang ditangani! Gimana bisa kalian ngomong kayak gitu di depan pintu ruang perawatan?!"
Nina menatap Freya dan menyeringai sinis. "Ini urusan keluarga Mauren. Siapa kamu berani menyela, orang asing?"
"Betul. Keluarga Mauren sudah cukup baik membesarkan kamu sampai umur dua puluh tahun. Jadi, jangan ikut campur urusan kami!"
Freya menggertakkan giginya dan menatap kedua wanita paruh baya itu dengan kesal. Mereka bersikap kejam dan sama sekali tidak berperasaan.
"Meski aku bukan keluarga Mauren, aku masih tahu mana yang penting. Kalau masih ada harapan, nenek harus diselamatkan! Kalian berdua malah lebih buruk dari orang asing!"
Priscilla tertawa. "Ucapanmu sangat menyakitkan. Ini pembicaraan khusus keluarga Mauren, kamu nggak punya hak bicara. Kamu pikir kamu siapa? Emangnya kamu sudah keluarin uang sepeser pun buat si tua itu? Bukannya semua uang ini dari keluarga Mauren?"
"Ngomong memang gampang. Leo, kamu tadi bilang kamu nggak bayar biaya rumah sakit. Jadi siapa yang bayar?"
"Aku."
Saat Nina dan Priscilla masih berdebat dengan Freya dan Leo dengan nada mengancam, terdengar suara pria yang dingin dan berat menyela.
Semua orang langsung terdiam.
Mereka serempak menoleh ke arah suara itu.
Tampak seorang pria paruh baya bertubuh kekar, mendorong seorang pria muda di kursi roda. Pria itu mengenakan setelan jas rapi dan matanya ditutup sehelai kain sutra hitam.
Wajahnya berstruktur tegas dan berisi. Meski matanya tertutup, auranya tetap terlihat angkuh, acuh, dan berwibawa.
Duduk di kursi roda, ia tampak seperti sedang duduk di atas takhta. Seluruh tubuhnya memancarkan aura yang menekan. Tak ada yang berani menatap langsung karena rasa takut dan terkejut.
Saat suasana makin menegang, John sudah mendorong Luca mendekat.
Luca menoleh pada Freya, yang wajahnya merah padam karena marah. Ia mengulurkan tisu basah padanya. "Lap wajahmu."
"Terima kasih." Freya menerimanya dengan canggung dan menyeka wajahnya perlahan.
Sensasi dingin dari tisu basah itu membuat emosinya sedikit mereda.
"Kamu siapa sih sebenarnya?!" Setelah lama diam, Priscilla akhirnya menatap Luca dengan alis terangkat karena marah. "Ini urusan keluarga Mauren. Ngapain kamu ikut campur?"
"Sebagai menantu keluarga Mauren, tentu aku punya hak ikut bicara." Ia tersenyum tipis dengan nada angkuh. "Freya, kenapa kamu tidak mengenalkan aku?"
Akhirnya Freya berbicara dengan suara lebih keras untuk memperkenalkannya. "Tante Nina, tante Priscilla, ini Luca Moretti, suamiku."
Setelah berkata begitu, ia menoleh ke arah Leo, agak canggung. "Paman, kalian sudah saling kenal."
Leo mengangguk. "Ya. Tuan Moretti, senang bertemu lagi."
Nada bicara Leo terdengar sopan, tapi saat ia menoleh, ia memandang Freya dengan marah dan berbisik, "Kamu nggak lihat situasi sudah kacau? Kenapa kamu bawa dia ke sini?"
Freya mengerucutkan bibir dan tidak menjawab.
Tak seorang pun, kecuali Luca, yang menyadari bahwa Leo dan Freya berkomunikasi dengan isyarat.
Luca tersenyum sangat tipis, nyaris tak terlihat.
"Maksudmu suami Freya?" Priscilla menyilangkan tangan dan menatap tajam pria di kursi roda itu. "Sejak kapan Freya menikah? Dan menikahnya malah dengan orang cacat? Kenapa dia menutup matanya? Jangan-jangan dia buta?"
Saat berbicara, ia mulai mendekati Luca. Tangannya terulur, hendak membuka penutup mata Luca.
Namun sebelum tangannya sampai, John menendangnya dengan keras.
Sebelum sempat berteriak kesakitan, ia sudah dilumpuhkan oleh John.
"Tuan, bagaimana saya harus menangani orang ini?"
John tidak lagi tampak seperti sopir paruh baya yang ramah seperti biasanya. Saat itu, ia tampak seperti prajurit pasukan khusus yang terlatih tinggi.
"Lepaskan." Luca tersenyum tipis, suaranya tetap dingin dan acuh. "Kuharap kedua tante ini mendengarkan baik-baik. Aku yang membayar biaya rumah sakit nenek. keluarga Mauren tidak punya hak membuat keputusan apa pun. Uang itu kuberikan agar Freya bisa menunjukkan baktinya pada sang nenek. Meskipun aku orang cacat, kalian tidak dalam posisi untuk meremehkanku."