NovelToon NovelToon
ASMARALARAS

ASMARALARAS

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta Terlarang
Popularitas:815
Nilai: 5
Nama Author: Kidung Darma

Novel roman. Bara cinta terlarang gadis pesindhen.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kidung Darma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bab 13

Hari masih pagi. Kabut tipis belum sepenuhnya terangkat dari permukaan sawah, dan embun masih menempel di pucuk-pucuk daun pisang. Di antara sejuknya udara desa, Wiji sudah bersiap-siap menuju kandang ayam milik bapaknya. Entah angin apa yang merasuki dirinya. Sejak mengenal Asmarawati, sikap dan kebiasaannya perlahan berubah.

Ia kini nyaris tak pernah keluyuran malam seperti dulu—kecuali jika Asmarawati sedang pentas, barulah ia datang diam-diam, menyelinap di kerumunan, menikmati suara lembut sindennya dari kejauhan. Di luar itu, waktunya banyak ia habiskan untuk membantu bapaknya di kandang atau di sawah. Ia juga tak lagi suka bikin onar atau ribut tak jelas seperti biasanya. Dalam benaknya, hanya satu nama yang terus mengisi ruang hatinya: Asmarawati.

Wiji tahu betul, perempuan seperti Asmarawati takkan pernah sudi melirik lelaki urakan yang hidupnya berantakan. Maka dari itu, pelan-pelan ia mencoba memperbaiki diri. Bukan hanya demi cinta, tapi juga demi harga dirinya sendiri.

Ruqayah, ibunya, merasa lega. Ada senyum yang jarang muncul kini sering menghiasi wajahnya setiap melihat perubahan anak lelakinya itu. Begitu pun Mispan, meski sikapnya masih cenderung keras dan arogan, setidaknya kini ia tak pernah lagi terlibat cekcok dengan Wiji seperti dulu.

Setiap pagi, seperti biasa, Wiji bersama mbakyunya mengantarkan telur-telur ayam ke berbagai tempat. Mulai dari warung kecil di kampung sebelah, sampai ke toko kelontongnya Kaji Umar yang selalu menyambut mereka dengan tawa lebar. Kadang Wiji ikut membantu para kuli membersihkan kandang, memberi makan ayam, menyortir telur, hingga mengangkut karung-karung pakan. Tubuhnya kini lebih terbiasa pada keringat dan bau kandang ketimbang aroma rokok minuman beralkohol dan asap knalpot motor yang kebut-kebutan.

Kesibukan itu mungkin terlihat sederhana, tapi bagi Wiji, semuanya adalah bagian dari langkah baru menuju kehidupan yang lebih berarti. Dan di setiap bulir keringatnya, terselip harapan: semoga Asmarawati melihat usahanya, dan kelak bersedia membalas cintanya—walau sedikit saja.

Pagi itu matahari baru naik seujung tombak. Embun masih tersisa di ujung-ujung ilalang, sementara bau tanah basah dan daun pisang yang mengering berpadu dalam aroma khas kampung. Di depan rumah Bu Hajah Ruqayah, tampak gerobak sayur Pak Jumadi berhenti mangkal. Bel panggilannya yang berbunyi ting-ting-ting menarik perhatian para ibu. Tak lama kemudian, datanglah Bu Hartini dengan daster bermotif bunga besar dan rambut digelung seadanya, menghampiri gerobak sambil membawa keranjang belanja. Di sisi lain, Yu Kastun juga ikut nimbrung, seperti biasa, dengan tangan sibuk memilah kacang panjang dan daun singkong.

“Sekarang Wiji kelihatannya mulai rajin ya, Bu Hajah,” celetuk Bu Hartini, memecah keheningan sambil melirik ke arah Ruqayah yang tengah menawar tomat segar.

Ruqayah tersenyum kecil, senyuman yang menyiratkan rasa syukur dan haru. “Iya, Bu... Alhamdulillah. Anak saya itu sekarang sudah mulai bisa diajak bicara. Sudah jarang keluyuran malam-malam, ndak seperti dulu yang pulang suka-suka, kadang pagi, kadang malah ndak pulang.”

“Eeeee, ya syukurlah Bu Hajah,” sambung Yu Kastun dengan mata berbinar. “Anak saya si Untung juga alhamdulillah sekarang jarang dolan malam-malam ndak jelas. Mungkin pengaruh Wiji juga ya... Sekarang paling malam-malam nongkrongnya ya di warung saya bareng Tejo. Kadang ya si Wiji juga ikut. Temani saya jaga warung sampai tutup. Kadang sampai jam sepuluh, kalau lagi ndak hujan bisa molor sampai jam sebelas.”

Ruqayah mengangguk sambil menata hasil belanjaan ke dalam tas kresek. “Hmm, iya syukurlah kalau begitu, Yu. Asal mereka bertiga ndak bikin ulah saja. Namanya anak muda, kadang saya masih was-was juga.”

“Oh ndak, Bu Hajah, ndak pernah!” Yu Kastun menjawab cepat, seolah ingin meyakinkan. “Saya ini tiap malam lihat sendiri. Mereka cuma ngobrol sambil ngopi, kadang main kartu remi tapi ndak pakai taruhan. Ngomongin motor, kadang dengerin musik. Tapi ndak pernah ribut. Ndak pernah saya lihat mereka mabuk atau ngomong kasar. Pokoknya kalau ada mereka, saya merasa warung jadi rame tapi tetap adem.”

Pak Jumadi yang sejak tadi sibuk menimbang tomat dan mengikat kangkung, ikut menimpali, “Anak-anak itu ya, kelihatan sekarang sudah mulai punya arah. Apalagi si Wiji. Dulu saya lihat arek'e keras, ndak bisa diatur. Tapi sekarang? Ndak nyangka, malah rajin bantuin bapaknya.”

Ruqayah tersenyum, kali ini lebih lebar. Ada rasa bangga yang tak bisa ia sembunyikan. “Iya, Pak. Sekarang tiap pagi Wiji sudah biasa ke kandang bantuin bapaknya. Ngambil telur, nyortir, kadang bantu kuli bersihin kandang. Terus habis itu kadang nganter telur ke toko-toko. Dulu kalau nggak disuruh dulu, mana mau dia begitu... Sekarang malah sering pamit kerja duluan.” Ruqayah tersipu. “Ya semoga saja perubahan ini awet, ya Yu. Semoga mereka sadar pentingnya punya tujuan hidup.”

“Iya, Bu Hajah. Kalau anak-anak kita udah mulai ngerti arah hidupnya, kita sebagai orang tua rasanya plong ya,” kata Yu Kastun.

“Oh iya sudah, saya senang sekali dengar kabar-kabar baik begini,” ujar Ruqayah sambil bersiap-siap pamit. “Tapi saya harus masuk dulu, ini masakan di dapur belum sempat saya tengok. Takut gosong!”

“Iya monggo, Bu Hajah. Hati-hati ya,” jawab Bu Hartini ramah.

“Nggih monggo, Bu. Nanti sore mampir ngopi ke warung, saya goreng pisang biar tambah rame,” tambah Yu Kastun sambil tertawa.

Ruqayah hanya tertawa kecil sambil melangkah masuk ke rumah, meninggalkan obrolan ringan yang menghangatkan suasana pagi. Di luar, gerobak sayur masih berdenting pelan, ibu-ibu masih berkumpul, dan di balik semuanya itu, kehidupan desa terus berjalan dalam irama sederhana yang menenangkan.

Sementara itu, di kandang ayam tengah kebun jeruk, suasana pagi mulai sibuk. Wiji, di bawah pengawasan langsung dari bapaknya, Mispan, tengah bekerja bersama enam orang kuli menyortir telur-telur ayam yang baru saja dipanen dari rak-rak petelur. Keringat mulai membasahi pelipis meski matahari belum terlalu tinggi. Bau khas kandang—perpaduan antara jerami, kotoran ayam, dan debu pakan—tercium menyengat, namun tak ada yang mengeluh. Mereka semua sibuk dengan tugas masing-masing.

Di atas meja kayu panjang, nampak bertumpuk-tumpuk telur. Telur-telur itu dipilah dengan teliti, berdasarkan ukuran—kecil, sedang, dan jumbo—juga warna cangkangnya, dan kondisi permukaannya. Telur retak, cacat, atau terlalu kotor langsung dipisahkan agar tak tercampur dengan yang layak jual. Semua dilakukan dengan penuh ketelitian, karena permintaan pasar semakin selektif.

"Yang ada telek-nya dilap yang bersih, Ji!" seru Mispan, mengawasi anaknya yang sedang sibuk mengelap cangkang telur dengan kain basah.

"Iya, Pak!" sahut Wiji cepat. Ia menurut saja, tanpa membantah atau bersungut-sungut seperti dulu. Tangannya cekatan memutar telur, menyeka kotoran, lalu memindahkannya ke rak yang berbeda. Sejak mengenal Asmarawati, rasanya dunia menjadi lebih teratur, dan ia pun mulai belajar untuk lebih patuh—terutama kepada bapaknya.

Melihat Wiji cukup sigap, Mispan mengangguk tipis. Ia lalu menepuk tangan, menarik perhatian semua orang.

"Iya sudah, Bapak tinggal dulu ke sawah. Mau lihat pekerjaan yang di sana. Kamu disini saja, Ji, bantu Pak Ngateno sama anak-anak lainnya!" ucap Mispan sambil menggantungkan topi koboi ke punggung.

"Iya, Pak..." jawab Wiji, lalu dengan nada agak menggoda menambahkan, "Tapi minta duitnya dulu, buat beli rokok!"

Mispan menghentikan langkahnya. Menoleh setengah jengkel. “Hah, kamu ini... rokok terus.”

Namun, tanpa banyak debat, ia merogoh saku celananya dan mengeluarkan selembar uang lusuh.

"Nih, buat beli rokok. Sama nanti belikan anak-anak esteh atau apa gitu, sekalian di warungnya Yu Kastun sana. Biar seger, kerja jangan cuma makan debu pakan."

"Siap, Pak!" sahut Wiji sambil menerima uang itu dengan senyum lebar. Uang langsung ia lipat dan masukkan ke kantong celana. Mispan pun melangkah pergi menuju sawah, meninggalkan Wiji yang kini tampak lebih akrab dan menyatu dengan kesibukan kandang.

Di balik kesibukan itu, ada perubahan yang pelan-pelan tumbuh dalam dirinya—perubahan yang tak selalu disadari orang, tapi jelas terasa oleh mereka yang setiap hari melihatnya. Wiji yang dulu keras kepala dan urakan, kini mulai menemukan tempatnya dalam dunia yang sederhana, namun nyata: dunia kerja, tanggung jawab, dan mungkin… cinta.

Setelah menerima uang dari bapaknya, Wiji kembali ke aktivitasnya. Ia menunduk, sibuk memilah-milah telur ayam, menyeka yang kotor, dan menyusunnya ke dalam rak kayu satu per satu. Tangannya cekatan, tapi pikirannya tidak sepenuhnya di kandang. Entah kenapa, sejak pagi ada rasa yang menggelitik di dada—seperti firasat, atau mungkin hanya rindu yang tak sempat diucapkan.

Tiba-tiba ponsel di saku celananya bergetar. Ia buru-buru mengusap tangan pada celana, lalu mengeluarkan HP-nya. Layar menyala: Asmarawati.

Wiji refleks tersenyum. Suasana kandang seolah hilang dari kesadaran sesaat.

"Hallo, Mas..." suara lembut Asmarawati terdengar dari seberang sana, jernih dan hangat meski ia berada entah di mana.

"Iya, hallo Dek?" jawab Wiji pelan, suaranya berubah lembut, seolah tak ingin suara itu pecah di telinganya.

"Sampean sibuk, ndak?" tanya Asmarawati.

"Iya, ini aku lagi di kandang, bantuin sortir telur," jawabnya sambil beringsut sedikit menjauh dari suara gaduh kuli-kuli.

Asmarawati diam sebentar, lalu berkata, "Oh, iya sudah... kalau begitu, lanjutkan saja dulu Mas. Semangat, nggih!"

"Memangnya ada apa to, Dek?" tanya Wiji dengan nada penasaran.

Namun jawaban yang ia terima tak menjawab rasa ingin tahunya. "Lanjutkan dulu pekerjaan sampean, Mas. Nanti aku hubungi lagi."

Tanpa menunggu tanggapan, sambungan diputus. Suara tuuuut... menyisakan jeda kosong di telinga Wiji.

Ia hanya bisa menatap layar sejenak, lalu menghela napas. Tak tahu apakah harus cemas, bingung, atau cukup bersyukur sudah mendengar suaranya. Ia pun menyimpan ponsel ke saku dan kembali ke pekerjaannya, mencoba menenggelamkan pikirannya ke dalam tumpukan telur-telur ayam.

Seharian itu, Wiji tetap di kandang bersama para kuli. Bekerja tanpa banyak bicara, hanya sesekali tertawa kecil saat Pak Ngateno nyeletuk lucu. Tapi selain itu, ia tampak lebih pendiam. Entah karena lelah, atau karena pikirannya terus tertuju pada satu nama yang tak bisa hilang dari benaknya.

Tepat pukul empat sore, aktivitas kandang pun selesai. Telur-telur telah dikemas, kandang dibersihkan, dan para kuli mulai berkemas. Wiji menyeka peluh di dahinya, mencuci tangan, lalu duduk sebentar di lincak kayu di sudut kandang. Di sela-sela semilir angin sore, ia membuka ponsel, membuka aplikasi WhatsApp, dan mulai mengetik:

"Dek!"

Tak sampai tiga detik, balasan langsung muncul:

"Iya Mas!"

Wiji tersenyum, lalu mengetik lagi: "Adek tadi mau perlu apa?"

Asmarawati membalas: "Sampean sudah selesai belum kerjanya?"

"Sudah. Ini aku sudah mau pulang."

Balasan berikutnya muncul dengan cepat, diiringi emoji hati dan senyum manja: "Iya sudah, sampean pulang dulu! Mandi dulu! Aku tunggu di tanggul!"

Wiji langsung menjawab: "Oke siap!"

Tanpa menunggu lama, ia bergegas menuju rumah. Motor CB tua miliknya meraung memecah sore. Ia menerjang jalan desa dengan kecepatan sedang, namun pasti. Angin membelai wajahnya, mata fokus lurus ke depan—tak peduli pada suara-suara di sekelilingnya.

Dari pinggir jalan, tiba-tiba terdengar teriakan:

"Woi Ji! Wiji...!!"

Itu suara Tejo, berdiri sambil melambaikan tangan dari depan bengkel. Tapi Wiji tak menoleh, tak melambai, tak bahkan melambatkan laju motornya. Ia hanya melesat seperti angin sore yang malas singgah.

"Asu... budek!" umpat Tejo pelan sambil geleng-geleng kepala. "Lagi kasmaran ya emang begitu. Lupa kawan."

Sesampainya di rumah, Wiji langsung masuk kamar mandi tanpa banyak bicara. Bau amis dan menyengat dari kandang ayam masih menempel kuat di tubuhnya. Campuran antara keringat, debu pakan, dan telek ayam membuat aroma tubuhnya seperti gado-gado kehidupan kandang. Tapi sore ini berbeda. Ia tidak ingin menemui seseorang dalam keadaan kotor dan acak-acakan seperti biasanya. Ia ingin tampil lain. Lebih baik. Lebih pantas.

Air dingin mengalir deras dari pancuran. Mengaliri rambut gondrongnya yang sudah agak kering dan berdebu. Wiji menggosok tubuhnya dengan sabun wangi, mengusap rambut, hingga seluruh tubuhnya terasa lebih segar. Di balik guyuran air itu, pikirannya melayang-layang. Mengingat suara Asmarawati di telepon tadi. Lembut. Pendek. Tapi cukup untuk membuat jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya.

Selesai mandi, ia berdiri cukup lama di depan cermin. Melihat dirinya yang sudah bersih, seolah tak percaya bahwa ia kini benar-benar berubah. Untuk pertama kalinya dalam beberapa bulan, ia merasa peduli dengan penampilannya sendiri. Ia memilih celana jins biru tua yang selama ini hanya digantung rapi di balik pintu kamar, nyaris tak pernah disentuh. Tidak lagi celana robek di lutut seperti biasanya. Atasannya, sebuah kemeja lengan panjang warna hitam dengan kancing-kancing logam, ia kenakan dengan penuh pertimbangan. Dulu kemeja ini dibeli ibunya untuk dipakai saat melamar kerja—lamaran yang tak pernah jadi dikirim karena dia keburu malas.

Rambutnya yang gondrong dirapikan. Disisir dengan jari-jari tangan, lalu diberi sedikit minyak rambut yang wanginya mencolok. Rambut itu kemudian ditahan ke belakang menggunakan bando kawat hitam. Bukan gaya yang lazim ia pakai, tapi sore ini ia ingin tampil beda.

Terakhir, ia mengambil botol kecil minyak wangi dari rak kayu di kamarnya. Minyak wangi murah yang dibeli online dua minggu lalu, khusus karena ulasannya bilang, “cewek suka cowok yang pakai ini.” Ia semprotkan ke leher, dada, lengan, bahkan punggung. Hidungnya mencium aroma baru dari dirinya sendiri. Rasanya seperti jadi orang baru. Seolah ia baru saja dibebaskan dari sel dan hendak pergi melamar masa depan.

Halimah, kakaknya, lewat di depan kamar dan terhenti sejenak. Matanya membelalak kecil.

“Mau ke mana, Ji? Tumben rapi. Ndak biasanya kamu berpakaian begini,” katanya, matanya mengamati dari kepala sampai kaki.

“Mau keliling-keliling aja,” jawab Wiji sambil menutup kancing terakhir kemejanya.

“Kok keliling-keliling? Emangnya ini hari lebaran? Keliling ke mana? Lho, kamu ndak biasanya rapi begini. Jangan-jangan...” Halimah memicingkan mata, curiga.

“Hah! Sampean ini... suka banget tahu urusan orang!” tukas Wiji, setengah kesal.

Halimah hanya mendengus sambil berlalu. Tapi dari sudut bibirnya, terlihat senyum geli. Dalam hati, ia sebenarnya senang melihat adiknya mulai berubah.

Wiji keluar rumah, lalu menyalakan motor CB-nya. Suara mesinnya menggeram pelan, lebih tertata dibanding kebiasaannya yang biasanya membetot gas sekuat tenaga dan meraung tanpa arah.

Ia melajukan motor pelan, melewati gang sempit di perkampungan, lalu keluar ke jalan desa. Langit di atas Wonosari mulai berubah warna. Matahari sudah condong ke barat, memancarkan cahaya jingga yang hangat, menyapu pepohonan dan dinding rumah-rumah warga. Awan putih memanjang membelah langit dari selatan ke utara, seperti guratan tangan Tuhan yang sedang melukis senja.

Udara sore itu terasa sejuk, meski debu jalan tanah masih beterbangan di beberapa sudut. Anak-anak kecil bermain di pinggir jalan, ibu-ibu menyapu halaman, dan bapak-bapak duduk di kursi bambu sambil ngopi dan merokok.

Wiji mengendarai motornya dengan tenang. Tidak ugal-ugalan, tidak sambil menyalip atau menggeber knalpot. Ia bahkan menyapa seorang ibu-ibu yang sedang menyapu daun-daun di halaman.

“Monggo, Bu…” ucapnya sopan sambil melambatkan laju motor.

Ibu itu mendongak. “Eh, iya le…”

Namun saat melihat wajah Wiji yang kini bersih, rapi, dan wangi, ia nyaris tak mengenalinya.

“Lho... Wiji to? Tumben arek itu sopan banget... Ndak kebut-kebutan, ndak teriak-teriak. Apa lagi kerasukan setan ta yo'opo, ya? Jangan-jangan habis kesambet?” gumam si ibu setengah bercanda.

Ia pun hanya bisa menggeleng-geleng kepala, sementara Wiji sudah berlalu, melintasi jalanan pedesaan yang mulai sepi.

Burung-burung merpati berputar-putar di langit. Sawah-sawah menguning di kejauhan. Wiji melaju menuju tanggul Kali Brantas, sebuah tempat biasa yang sore ini terasa begitu penting. Di sanalah Asmarawati menunggunya. Dan entah kenapa, hatinya tak lagi hanya berdebar karena cinta, tapi juga karena sebuah rasa percaya diri yang baru—bahwa ia kini sedang menjemput kehidupan yang lebih baik.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!