Seorang pemuda lulusan kedokteran Harvard university berjuang untuk menjadi seorang tentara medis. Tujuan dari ia menjadi tentara adalah untuk menebus kesalahannya pada kekasihnya karena lalai dalam menyelamatkannya. Ia adalah Haris Khrisna Ayman. Pemuda yang sangat tampan, terampil dan cerdik. Dan setelah menempuh pendidikan militer hampir 2-3 tahun, akhirnya ia berhasil menjawab sebagai komandan pasukan terdepan di Kopaska. Suatu hari, ia bertugas di salah satu daerah terpencil. Ia melihat sosok yang sangat mirip dengan pujaan hatinya. Dan dari sanalah Haris bertekad untuk bersamanya kembali.
Baca selengkapnya di sini No plagiat‼️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pena Fantasi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
kepulangan dan kemalangan disertai kemarahan
Di sebuah area di mana posko-posko kesehatan dan bilik-bilik kamar darurat tengah dibongkar, suasana sukacita dan haru bercampur aduk. Misi selama sebulan lebih di desa ini telah usai, menorehkan hasil yang luar biasa. Warga tak lagi menderita gizi buruk, pencemaran air telah teratasi, dan persediaan pangan layak kini terjamin. Klinik-klinik di setiap RW pun berdiri kokoh, lengkap dengan fasilitas memadai.
"Oi... Ayo bongkar semua! Hati-hati jangan sampai ada yang terluka!"
Seluruh warga bahu-membahu membantu membereskan peralatan misi yang telah digunakan. Sementara Haris, sang pemimpin pasukan, tengah berkonsultasi dengan para pejabat desa, melaporkan keberhasilan misi dan secara resmi meminta diri untuk meninggalkan desa.
"Saya sangat tertolong, Pak Haris... Terima kasih sekali lagi karena sudah membantu desa kami... Semoga kalian semua jaya selalu ya," ucap Pak Kades tulus.
"Pak Kades berlebihan... Ini sudah jadi tugas kami. Dan hari ini kami akan meninggalkan desa ini. Saya titip ya, Pak, jangan sampai desa ini kembali ke kondisi awal... Jaga rakyat Bapak supaya bisa mendapatkan fasilitas yang layak."
"Baik, Pak Haris... Saya akan mengikuti amanah dari Bapak."
Haris dan Pak Kades segera menghampiri rekan-rekan mereka yang telah selesai membereskan peralatan. Di sana, banyak warga turut menyaksikan perpisahan haru ini.
"Kami pamit ya, Pak Kades... Kalian semua! Kami pamit ya!" Ujar Haris sembari melambaikan tangannya.
Semua bersorak, bahkan ada yang terisak, seolah tak rela melepas kepergian mereka. Tiba-tiba, seorang anak laki-laki berlari dan memeluk kaki Haris dengan erat.
"Eh..."
"Bapaaakk... kenapa Bapak harus pergi... Siapa yang bakal ngobatin kita semua?" ujar anak itu, terisak.
Haris tersenyum tipis. Ia berjongkok, menyamai tinggi bocah itu, dan menghapus air matanya. "Anak jagoan gak boleh nangis... Yang ngobatin orang di sini kan masih ada dokter yang bertugas... Kamu gak usah khawatir ya," ujarnya lembut.
"Tapi... kenapa Bapak harus pulang? Tinggal di sini aja sama kami," pinta bocah itu, air mata masih mengalir.
"Bapak tidak bisa tinggal di sini... Bapak juga punya keluarga sama seperti kamu... Udah ya... Jangan sedih..."
"Kalau aku sudah besar... aku pengen kaya Bapak yang baik... aku pengen jadi tentara juga."
Haris tertawa pelan. "Wesss, kereeen... Bapak doakan ya... Kamu juga harus belajar yang rajin... Jangan menyusahkan keluarga kamu ya."
"Siap, Pak!"
"Bapak pergi dulu ya..."
Kemudian Haris mulai menaiki kendaraan bersama dengan yang lain.
"Dah semuanya!"
"Daaaahhhh!! Hati-hati!!!"
Mesin kendaraan menyala. Perlahan, laju mobil mengencang, meninggalkan area tersebut. Ada rasa senang yang membuncah karena misi telah selesai, namun juga terselip kesedihan akan perpisahan.
Saat Haris sibuk termenung, sebuah tepukan di bahunya menyentakkan ia. Siapa lagi jika bukan Fahri.
"Udaaahhh... Syukur kita bisa pulang lebih cepat..."
Haris pun kembali memasang wajah bahagia. "Oh iya... gue juga bisa ketemu sama ayang lagi..."
"Ceh... Masih sempat ngomong kaya gitu," ujar Fahri, mendadak kesal.
"Btw... luu sudah hubungi dia, kalau lu pulang hari ini?"
Haris menggeleng pelan. "Belum... gue mau ngasih kejutan aja ke dia."
Fahri mendecak jijik. "Cih... Sudah tua juga, sok-sokan ngasih kejutan."
"Biarin... Daripada lu gak ada yang kasih kejutan... Cari calon istri sana biar bisa bucin kaya gue," ledek Haris.
"Kenapa gue punya teman bajingan begini ya, Tuhaaaannn!"
Haris terbahak mendengar keluhan Fahri. Mereka pun membaur, mengobrol, dan bercanda untuk mengobati rasa jenuh selama perjalanan panjang yang akan mereka tempuh.
***
Semurat cahaya mentari pagi mulai menyinari persekitaran rumah tua yang kini hanya ditinggali Nahda. Dengan wajah ceria, ia membersihkan halamannya penuh semangat. Di dalam, Puput sedang memasak. Sudah hampir lima hari Puput menginap di rumahnya, dan mereka berdua membagi tugas agar semua pekerjaan bisa beres dengan cepat.
Setelah selesai menyapu halaman, Nahda kembali ke dalam rumah untuk melihat aktivitas Puput di dapur.
"Sudah selesai masaknya, Put?"
"Belum... tinggal nunggu matang aja sih."
"Ya sudah, aku bantu siapin nasi sama piringnya."
Nahda memasukkan nasi yang sudah ia hangatkan ke dalam bakul. Dirinya hanya memasak nasi untuk tiga kali makan sehari. Lalu, ia menaruhnya di lantai beralaskan karpet dan mulai menata peralatan makan.
Puput juga telah menyelesaikan masakannya. Sekarang ia menaruh makanan tersebut, bergabung dengan yang lain. Nahda dan Puput mulai menyantap sarapan bersama dalam diam.
"Han... Kamu mau ke sanggar hari ini?"
"Ayo saja... Mumpung aku gak ke kebun hari ini."
Nahda masih bisa bekerja di kebun karena Puput yang selalu membelanya. Ia sebelumnya telah dikeluarkan oleh pemilik kebun lamanya karena rumor tidak enak tersebut. (Kebun yang digunakan bukan milik pribadi ya, teman-teman). Kini, ia bekerja dengan sahabatnya di tempat yang sama. Walaupun dulu bos Puput sempat menolak, Puput memaksa bosnya untuk menerima Nahda. Setelah berpikir panjang, akhirnya bosnya menerima Nahda sebagai petani di kebun miliknya.
"Oke... Habis sarapan, kita ke sanggar bareng-bareng."
Mereka kembali diam dan melanjutkan makan hingga perut terasa kenyang. Setelah itu, keduanya membereskan bekas makan.
"Sudah beres... Ayo kita ke sanggar."
"Ayo."
Mereka pun berangkat bersama. Tak lupa Nahda mengunci semua pintu sebelum pergi. Mereka berangkat ke sanggar saat matahari agak meninggi, sekitar pukul sepuluh pagi. Karena jarak sanggar yang dekat, mereka tak membutuhkan waktu lama untuk sampai. Ternyata, di sana anggota lain telah berkumpul lebih dulu.
"Halo semuanya... Sudah pada datang ya."
Namun, saat Nahda mendekat, semua orang di sana menatapnya dengan tajam.
"Kalian kenapa lihatin aku kaya gitu?" tanya Nahda, kebingungan.
Lalu salah satu dari mereka menghampiri Nahda dan menatap sinis. "Begini rupanya penampakan wanita murahan..."
"Heh! Apa maksud kamu?!" Ujar Puput, marah.
Wanita tersebut menyunggingkan senyum mengejek. "Aku bersyukur sih gak dilahirkan cantik banget kaya dia... Setidaknya aku bisa jaga harga diri, gak kaya dia... Wajah polos tapi bawahnya diobral, Say," sindir wanita itu terang-terangan.
"Kamu jangan ngomong sembarangan ya!! Aku gak pernah melakukan hal itu!!" Nahda membela diri.
Lalu yang lain pun ikut menyahut. "Gak usah ngelak... Semua beritanya sudah tersebar... Gak mungkin berita itu bohong!"
"Betul!!"
Nahda menggeram marah, tak terima akan hinaan tersebut. "Kamu!!—"
Ucapannya terhenti saat Bu Desi, kepala sanggar yang terkenal ramah, menghampiri mereka semua. Mendadak semua terdiam.
"Ada apa ini ribut-ribut?" tanya Bu Desi, pandangannya jatuh pada Nahda. Namun, wajah ramah Bu Desi kini juga menatap tajam ke arahnya.
"Ngapain kamu ke sini?" tanyanya dengan ketus.
"S-saya... mau latihan, Bu Des..." lirih Nahda.
"Siapa yang nyuruh kamu latihan lagi? Saya hanya menyuruh Puput, bukan kamu... Saya tidak mau di sanggar saya ada orang yang bermasalah... Jadi, sebelum saya bertindak kasar, kamu pergi dari sini!" Usir Bu Desi, nadanya dingin dan menusuk. Semua tampak senang melihat Nahda dipermalukan di depan umum.
"Tapi... kenapa?" Nahda tak mengerti.
"Karena saya tidak mau kamu jadi penggoda... Saya tidak akan mentolerir orang yang sudah menjadi bahan nafsu laki-laki... Mulai hari ini, kamu sudah dikeluarkan dari sanggar!"
Bagaikan disambar petir di siang hari, Nahda terpaku atas perkataan Bu Desi. Air mata menetes di pipinya. Sementara Puput juga ikut terkejut.
"Ibu! Kenapa Ibu percaya sama rumor itu?! Itu gak benar!"
"Diam kamu, Puput!! Kamu kalau tetap membela dia, bakal saya keluarkan kamu dari sanggar ini!"
"Silakan!! Lagipula buat apa aku di sini tanpa dia... Sanggar ini juga terkenal karena Hana, Bu! Jasa Hana justru lebih besar di sini!"
"Saya gak peduli! Kalau begitu, kamu juga saya keluarkan dari sanggar... Sekarang, cepat pergi!"
"Ayo, Han... kita pergi!"
Nahda terus menangis sambil mengikuti langkah Puput yang membawanya menjauh dari sanggar. Puput dibuat kesal dengan ucapan kasar yang dilayangkan Bu Desi pada sahabatnya. Nahda yang mendengar Puput juga ikut dikeluarkan merasa tidak enak hati.
"Put... maafin aku ya... Gara-gara aku, kamu dikeluarkan dari sanggar," lirih Nahda, terisak.
"Udah, Han... Jangan nangis... Ini bukan salah kamu... Aku kan sudah bilang, aku bakal ada buat kamu..."
"Makasih ya, Put..."
"Ya sudah... Mending kita pulang dulu yuk... Tenangkan hati kamu dulu."
"Kenapa semuanya jadi begini, Put... Siapa yang tega melakukan hal ini sama aku?"
"Udah-udah... Ayo kita pulang."
Puput membawa Nahda kembali ke rumahnya. Nahda terus menangis, dan Puput tak henti menenangkannya. Tak lama kemudian, mereka berdua telah sampai di rumah. Namun, saat hendak membuka kunci pintu, seketika mereka mendapat serangan batu yang dilempar oleh orang-orang sekitar. Mereka semua berbondong-bondong menyerang, terutama Nahda.
"Kurang ajar!!! HENTIKAAAAAANNN!!!" Teriak Puput, tak tahan dengan penyerangan brutal itu.
Mereka semua mendadak tidak melemparkan batu lagi ke arah mereka.
"Apa-apaan kalian ini?! Datang kemari langsung lempari batu ke rumah orang?!" Ujar Nahda, tak terima.
"Itu pantas buat kamu, pelacur! Kami sudah tidak mau melihatmu ada di desa ini lagi..."
"Hana bukan pelacur!!!" Teriak Puput, suaranya bergetar menahan amarah.
"Kalau bukan, terus apa?! Kemarin kami dapat info kalau dia habis menerima tamu laki-laki, kan?! Ngapain kalau bukan melakukan hal itu?!"
Nahda dan Puput terkejut. Mereka kembali mengingat kejadian kemarin saat Agung sempat berkunjung ke rumah Nahda.
"Astaghfirullah... Info dari siapa?!!! Itu teman saya bukan orang lain!!! Lalu melakukan hal apa?! Saya tidak melakukan apapun!!" Nahda membantah, penuh keputusasaan.
"Bohong!! Maling mana ada yang ngaku!!"
"Diam kalian!!! Kalian itu cuma tahu gosip saja bukan kejadian yang sebenarnya!! Jangan asal fitnah!!" Tegas Puput, suaranya menggelegar.
"Puput!!"
Ia berhenti berbicara saat melihat ibunya bergabung bersama para pendemo di rumah temannya.
"Ibu?! Ibu ngapain di sini?!"
"Kamu yang ngapain di sini, hah?! Heh kamu... pergi jauh-jauh dari anak saya... Saya tidak mau kamu menularkan penyakit berbahaya pada anak saya!" Ujar ibu Puput pada Nahda dengan marah dan jijik.
"Ibu!! Jaga omongan Ibu ya! Hana tidak seperti itu!! Aku yang lebih tahu dibandingkan kalian semua!"
"Sudah jangan buang waktu... Warga semua!! Ayo bawa dia ke balai desa... biar jera!!"
"Ayooo!!"
"Eh... eh... Lepasiiinnn!!!"
Nahda mulai memberontak saat warga membawanya dengan paksa. Di sana, Puput tak tinggal diam, berusaha melepaskan sahabatnya dari cengkeraman warga.
"Lepaskan dia!!!"
"Puput!!" Namun, ia tak bisa bergerak karena sang ibu terus mencegahnya, dan ia tak bisa menahan Nahda dari amukan warga.
"Bu!! Tolong lepaskan aku!! Aku ingin tolong dia!"
"Buat apa?! Yang ada kamu dibikin sial!! Ayo ikut Ibu pulang!!"
"HANAAAAAA!!!!"
"Lepasiiinn!!!"
Namun, kekuatan Puput jauh lebih besar dibandingkan ibunya yang sudah lumayan tua. Dirinya pun terbebas dari cengkeraman sang ibu dan berlari sekencang mungkin untuk menyusul sahabatnya yang dibawa warga ke balai desa.
Nahda tak berhenti memberontak. Ia terus diseret paksa oleh ibu-ibu warga ke balai desa. Nahda yang tak kuat, menangis sambil berusaha melepaskan diri.
"Lepaskan aku!! Ini semua hanya fitnaaaahh! Aku gak pernah melakukan hal itu!!"
"Diam!!"
Sementara Puput yang kehilangan jejak Nahda, segera mendatangi Agung untuk meminta pertolongan. Kebetulan, ia melihat Agung saat hendak memasuki area klinik.
"Dokter Agung!!"
Agung yang merasa terpanggil, menoleh ke arah Puput. Seketika ia terkejut melihat Puput dengan keadaan berantakan, napas terengah-engah.
"Kamu kenapa, Put?"
"Tolong, Dokter... Tolong!"
"Iya, ada apa? Coba cerita."
"Hana, Dokter... Hana... Dia diarak sama warga karena dituduh jadi wanita bayaran... dan itu karena ada orang yang melihat Dokter keluar dari rumah Hana saat itu!"
Agung terlonjak kaget. Sebegitu dahsyatnyakah omongan orang yang berpengaruh pada warga di sini? Ia menyalahkan dirinya sendiri karena ulahnya, Nahda sekarang dibawa oleh warga.
"Di mana dia sekarang?"
"Di balai desa, Dok."
"Kamu duluan ke sana ya... Saya akan meminta bantuan aparat di sini."
"Baik, Dokter... Terima kasih."
Setelah mendapat bantuan, Puput pergi berlari sekencang mungkin menuju balai desa. Sementara Agung terus-menerus menghubungi Haris, namun tidak ada sambungan telepon.
Ia mendecak kesal. Di saat darurat seperti ini, Haris sulit sekali dihubungi. Akhirnya, ia terpaksa meminta orang lain untuk membantunya meloloskan Nahda dari pencemaran nama baiknya.
"Aaarrrgghhh!"
Nahda didorong oleh ibu-ibu di belakangnya dengan keras, membuatnya terhuyung jatuh ke lantai balai desa. Pak Kades yang bertugas mendadak kaget melihat Nahda diperlakukan kasar oleh warganya.
"Ya ampun, Hana!"
Pak Kades menatap tajam pada semua warga yang berkumpul di sana. "Apa-apaan kalian ini? Kenapa Hana diperlakukan seperti ini?!"
"Pak Kades... Wanita ini sudah melakukan hubungan terlarang dengan beberapa laki-laki... Tolong adili dia, Pak! Kalau bisa pasung saja di belakang sampai dia jera!"
Sementara Nahda menangis. Ia tak kuat untuk membela dirinya sendiri. Ia hanya mampu menggeleng, menampilkan wajah kasihan.
"Tapi, tidak mungkin dia melakukan hal itu! Kalian harus punya bukti yang kuat untuk membuktikan kalau Hana memang bersalah!"
Lalu, salah satu dari mereka maju ke depan. Wajahnya terlihat masih muda, seumuran dengan Nahda.
"Tia?" lirih Nahda, mengenali sosok itu.
"Ngapain butuh bukti, Pak... Memang benar kok dia sering main sama laki-laki di dalam rumah... Sudah gitu beda-beda lagi... Apalagi kemarin saya lihat dia sedang sama Pak Haris berduaan di rumahnya... Terus ada satu lagi dokter di klinik di desa kita, Pak!" Tia berkata dengan nada provokatif, menyulut api kemarahan warga.
"Apa maksud kamu, Tia?!! Haris itu kekasihku... Lagipula aku gak berbuat macam-macam sama dia selama di rumah!! Untuk yang dokter itu, dia juga temanku!!" Nahda membantah, suaranya tercekat oleh tangis.
Tia sepertinya tidak percaya akan penjelasan Nahda. Ia memasang wajah meremehkan, lalu terdengar suara tawa menggema di balai desa. "Hahahaha... Kamu pacarnya Pak Haris yang keren itu? Gak mungkin... Iya sih kamu cantik, palingan kamu cuma dijadikan bahan nafsunya doang, kan?! Sadar kamu itu gadis desa MISKIIIIN! Gak mungkinlah Pak Haris yang keren mau sama kamu yang miskin... Beda derajat!" Ejek Tia dengan lantang, menusuk hati Nahda.
"Aku tidak bohong!!!! Tolong!! Percaya padaku!!" Ujar Nahda frustrasi. Ia masih terus-menerus menangis tersedu, tak kuat menerima tuduhan keji seperti itu.
"Sebagai hukuman, mending kita lucuti saja bajunya... Biar wanita jalang ini tahu malu!" Ujar Tia, mengompori para warga.
"Setuju!!" Sahut yang lain, bersemangat.
"Jangan... JANGAAAAAAANNNN!!!" Nahda berteriak, panik.
"TOLONG HENTIKAN!! KALIAN JANGAN BERTINDAK GEGABAH!!" ujar Pak Kades, marah akibat warganya yang main hakim sendiri.
Tapi sepertinya mereka tidak mendengarkan ucapan dari Pak Kades, mereka masih berusaha melepaskan semua pakaian yang dikenakan oleh Nahda.
"HAAAAAAA JANGAAAAAANNN!"
"HENTIKAAAAAANNN!!" Suara Puput menggema, menggelegar di seluruh ruangan balai desa saat ia memasuki ruangan. Ia menerobos kerumunan, dan dengan cepat memeluk tubuh Nahda yang pakaiannya sudah hampir robek.
Puput pun mulai menangis, memeluk erat Nahda, mengelus rambut sahabatnya untuk menenangkan.
"Puput... Aku gak salah... Tolong aku," lirih Nahda terisak.
"Kamu gak salah, Han..."
"KALIAN SEMUA KETERLALUAN!! AKAN KUADUKAN KALIAN PADA PIHAK YANG BERWAJIB!!" teriak Puput, penuh kemarahan.
"Heh kamu, Puput!! Jangan ikut campur!" bentak Tia, menyela.
"Kamu yang Diam!!! Hana ini sahabatku! Gak mungkin aku diam saja!!"
"Sahabat kamu itu akan mendapatkan hukuman dari kami... Minggir kamu! Sebelum kamu akan kami hukum juga!"
Puput dengan cepat memasang badannya, melindungi Nahda. Dengan wajah penuh air mata dan mata yang tegas, dirinya menantang warga sekitar agar tidak ada yang berani mendekati sahabatnya lagi.
"Aku tidak akan membiarkan kalian menyakiti sahabatku lagi!! Minggir kalian semua!!"
"Berisik!!"
Lalu Puput didorong paksa agar menjauh dari Nahda.
"Arghhhh!"
"Itulah akibat sudah ikut campur!!" Ujar Tia dengan lantang, menyeringai.
"Bawa dia... dan pasung sekarang juga!"
"JANGAAAAAAANNNN!!!" Teriak Puput, melihat Nahda dibawa paksa kembali oleh warga.
Namun, langkah mereka terhenti, membeku di tempat, saat mendengar suara menggelegar yang mengguncang seisi ruangan.
"SEMUANYA HENTIKAAAAAANNN!!" Suara itu begitu keras, sampai-sampai mereka melepaskan tarikan paksa pada lengan Nahda yang masih lemas.
Lalu, saat mereka berbalik, sesosok pria berdiri tegap, menatap mereka tajam. Seketika, warga yang ada di sana mendadak pucat pasi saat melihat orang tersebut dengan tatapan penuh kemarahan yang membakar. Aura di sekelilingnya begitu pekat, mengancam.
"Berani sekali kalian menyentuh dan menyakiti kekasihku?! Kalian akan menerima akibatnya dariku!" Suara itu menggelegar, menggema, dan penuh dengan janji pembalasan yang mengerikan.