Membina rumah tangga tidak semudah membalikkan tangan. Banyak rintangan yang datang dan kita wajib bersabar, lapang dada, dan memiliki sifat kejujuran.
Menikah dengan anak SMA butuh banyak bimbingan. Hadirnya cinta masa kelam membuat retak cinta yang sedang dibina. Banyak intrik dan drama yang membuat diambang perceraian.
Kasus pembunuhan, penyiksaan dan penculikan membuat rumah tangga makin diunjung tanduk. Bukti perselingkuhanpun semakin menguatkan untuk menuju jalan perpisahan. Mungkin hanya kekuatan cinta yang bisa mengalahkan semua, namun menghadapinya harus penuh kasabaran.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zhang zhing li, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Saingan Muncul Penuh Emosi
Cerita Tio tak bisa untuk tak membuatku tertawa atas kelucuannya, dan kini kami berdua sudah tertawa terbahak-bahak diatas motor, akibat menceritakan masa-masa sekolah tentang teman.
Dia melajukan penuh kehati-hatian dan tidak ngebut.
"Alhamdulillah. Akhirnya sampai juga," Syukurnya.
"Iya nih. Capek juga duduk diatas motor kamu."
"Tapi ngak kenapa-napa 'kan, atau perlu dipijit?"
"Cihh, aman. Pinggang masih muda ini."
"Hehe. Oh, ok.
Motor sudah terparkir rapi didepan rumah, yang akhirnya sampai juga ditujuan, setelah lama berkeliling mencari makanan.
"Bukankah ini mobil kak Ryan? Ada apa lagi dia kesini?" batinku berbicara saat melihat ada mobil telah terparkir didepan rumah.
"Sepertinya ada tamu penting."
"Mungkin." Tak ambil peduli.
"Siapa? Kamu kenal?"
"Ah, tidak penting. Lebih baik kita masuk saja dan makan-makanan yang kita beli."
"Hm, ok 'lah kalau begitu."
Kami berjalan beriringan. Masih saja berwajah riang walau hanya bercerita sepele.
"Assalamualaikum," salam kami secara bersamaan memasuki rumah, dimana Tio berjalan di belakangku.
"Walaikumsalam," jawab kedua orang tua kompak.
Benar saja kak Ryan bertamu.
Membuang muka tak ingin menatapnya berlebihan.
Aku bersama Dio langsung mencium tangan punggung kedua orang tuaku, yang tak lupa tangan kak Ryan kucium juga, tapi muka berpaling tak melihatnya, sebab rasa benci yang bersemayam, membuat tak ingin melihat wajahnya sekarang.
"Ini, Buk. Ada oleh-oleh. Tio tadi yang membelikannya," ku sodorkan makanan yang terbungkus rapi dikantong.
Posisi berdiri tepat disamping suami duduk disofa.
"Makasih ya nak Tio," ucap Ibu.
"Iya, Buk. Sama-sama."
"Ya sudah, kalian bicaralah! Bapak sama Ibu mau ke dalam dulu, ayok Buk!" Bapak ingin undur diri.
Ibu hanya mengelus-elus lenganku. Beliau seakan-akan sudah memberi isyarat agar berbicara baik-baik sama Kak Ryan.
"Saya tinggal dulu, nak Ryan."
"Oh iya, Pak. Silahkan!" jawab kak Ryan.
Orangtua sudah hilang dari pandangan memasuki dapur, mungkin saja mau menikmati pembelian kami tadi
"Tio kamu pulanglah! Aku capek. Ingin istirahat masuk ke kamar dulu," suruhku.
"Hem, baiklah. Selamat beristirahat kalau gitu, ujar Tio.
Ku acuhkan saja kak Ryan, dengan langkah kaki ingin melenggang pergi.
"Mila, tunggu!" cegah kak Ryan dengan cepat, yang telah mencengkram tanganku.
"Eitss, mau ngapain?" tangan Tio memegang tangan kak Ryan, supaya melepaskan cengkraman tanganku.
Mereka berdua sama-sama menatap tak senang.
"Kalau tidak mau, jangan main paksa sama Mila," Peringatan Tio.
"Kamu itu siapa? Ini urusanku bersama Mila, kamu itu hanya orang luar, jadi ngak usah ikut campur urusan rumah tangga kami," Suara nada kesal kak Ryan.
"Aku memang orang luar, tapi asal kamu tahu saja, bahwa aku lebih jauh mengenal Mila sebelum kamu menikah dengannya. Dia adalah teman sekaligus gadis specialku, jadi apabila terluka ataupun tersakiti, akulah orang yang pertama kali akan maju membantu untuk menghajarnya," balik ucap Tio marah.
"Duh, kok jadi begini. Kacau bener dah!" guman hati was-was.
Tanpa kata-kata lagi muka keduanya saling menatap tegang, yang kemungkinan ada sebuah amarah yang mulai tersulut.
Tangan sekali tarik akhirnya lepas. Diriku yang menyaksikan keduanya sedang dalam kemarahan, tanpa memperdulikan mereka lagi berusaha untuk berlalu pergi.
"Mila kumohon." Hadang kak Ryan tepat berdiri di depanku.
"Berikan aku sedikit waktu untuk memberi penjelasan, atas apa yang sebenarnya terjadi kemarin," pintanya.
"Aku sudah bilang, Kak! Ngak ada lagi yang perlu dijelaskan. Semuanya sudah terlihat jelas kemarin."
"Mila aku mohon! Sedikit ... saja, kalau perlu pun semenit saja tak apa," permohonannya sambil tangan bertangkup di depan dada.
Tanpa memperdulikan permohonan Kak Ryan, kaki berusaha melangkah lagi untuk menghindari.
Tanpa sadar dia sudah menarik paksa tanganku supaya berhenti melangkah lagi.
"Ayolah, Mila."
"Lepaskan aku, Kak!" pintaku yang sudah berderaikan airmata.
Bhuugh, sebuah pukulan tepat mengenai pipi Kak Ryan yang dilakukan oleh Tio.
"Mila sudah bilang ngak mau ya ngak mau. Jangan memaksanya begitu," ucap Dio marah, berusaha membelaku.
"Cuiih, jangan ikut campur. Urus dirimu sendiri sana."
"Jangan sok kuasa kamu." Tio berapi-api.
"B*ngsat, jangan banyak omong kamu ini." Kak Ryan nampak dibuat geram.
Bhugh, sebuah daratan pukulan terkena tepat di hidung Tio.
Aku yang melihatnya kaget dan tak menyangka bakalan runyam begini.
"Kak Ryan, apa yang telah kamu lakukan?" pekikku marah.
Hidung Tio sudah mengucurkan darah, akibat kuatnya pukulan.
"Aku hanya memberikan pelajaran padanya, jangan ikut campur dan sok jagoan disini."
"Tapi ngak begini juga." Berusaha menolong Tio.
Melotot tajam ke arah kak Ryan sebab aku tidak suka dengan caranya.
"Kamu ngak pa-pa, Tio."
"Aku baik-baik saja." Tangan sudah mengelap darah.
Wajahku memanas. Ingin rasanya membalas pukulan kepada Kak Ryan.
"Tio! Ryan!" pekik Bapak dan Ibu bersamaan, akibat tahu kedua-duanya sudah saling baku hantam.
"Apa-apaan kalian ini. Buat gaduh saja dirumahku," Bapak tidak senang.
"Maaf, Pak!" Penyesalan Kak Ryan sambil menundukkan kepala.
"Aku mohon, Kak Ryan keluar dari rumahku sekarang!" Lengkingan suaraku mengusirnya.
"Tapi Mila! Aku belun menjelaskan semuanya," pintanya masih ngotot.
"Gak ada tapi-tapian, sekarang kubilang keluar ya keluar," nada kesal ku.
Telunjuk tangan sudah mengacung ke arah pintu, agar kak Ryan cepat keluar dari rumah. Tidak ada toleransi lagi. Usia lebih matang tapi sikapnya persis seperti anak kecil, yang main seenaknya saja menghajar orang.
"Ooh ... jadi kamu lebih membela cecunguk ini, dari pada suami kamu sendiri. Apa jangan-jangan kalian sudah ada hubungan lebih dari sekedar teman?" tuduhnya.
"Apa? Jaga mulutmu. Jangan asal menuduh," Kekagetan ku.
Diri ini tak bisa percaya atas ucapan Kak Ryan yang bisa-bisanya telah membalikkan fakta, padahal bukankah dia yang sudah berselingkuh selama ini.
"Aku bilang keluar," lengkingan ku mengusir lagi.
"Tapi, Mila. Urusan kita belum selesai."
"Sudah ... sudah, Ryan. Lebih baik kamu pulang saja. Bikin tambah pusing kami saja," Pembelaan Ibu.
"Tapi, Buk."
"Sekarang pergilah, nak Ryan. Sepertinya ini bukan waktu yang tepat untuk kamu dan Mila berbicara," Bapak sudah ikut-ikutan.
"Baiklah kalau begitu, Pak. Maaf."
Sepertinya langkah Kak Ryan masih berat untuk meninggalkan rumah kami.
Tak ku hiraukan kak Ryan lagi, dan kini berusaha ingin menolong Tio, yang hidungnya tak henti-henti sudah mengeluarkan darah.
"Ayo Tio, kita obati luka kamu," suruhku yang sudah memegang pundak Tio, untuk memapahnya ke tempat duduk.
"Ooh ... jadi benar, kamu sekarang ada main sama teman kamu itu." tuduhnya.
"Iya, aku ada main sama temanku, puas kamu sekarang!" Sekarang keluar," pekikku emosi akibat amarah sudah di ubun-ubun.
"Awas kamu! Urusan kita belum selesai," nada ancam kak Ryan pada Tio.
Setelah kegaduhan yang disebabkan kak Ryan, kini diriku berusaha mengobati luka Tio. Orang tua hanya bisa diam tak berani ikut campur, mungkin sudah takut kalau ikut-ikutan urusannya akan bertambah semakin runyam.
"Tio, maafkan aku atas kejadian ini."
"Gak pa-pa, Mila. Aku baik-baik saja dan ikhlas kok, yang penting kamu ngak kenapa-napa," jelasnya santai.
"Terima kasih atas bantuan kamu, yang telah membelaku tadi."
"Iya, sama-sama."
******
Pov Tio.
"Asalkan orang yang kucinta bahagia, aku juga akan merasa bahagia," guman Tio dalam hati, menatap wajah Mila yang sedang membantunya membersihkan darah di hidungnya.