Hidup dalam lingkaran kemiskinan, membuat Rea ingin bekerja setelah lulus SMA, semua itu dia lakukan demi keluarga.
Namun takdir berkata lain, Ayahnya sudah memutuskan masa depan Rea, sebagai istri dari seorang lelaki bernama Ryan.
Dia tidak bisa menolak dan menerima keinginan sang ayah.
Hanya saja, Rea tidak pasrah, dia bukan wanita lemah, selama belasan tahun berjuang dalam kesengsaraan, melatih mental yang kuat menahan setiap penghinaan para tetangga.
Sehingga dia akan berusaha membuat Ryan menyesal karena sudah menikah dengannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Shina Yuzuki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tekanan batin
Qiya benci mengakuinya, bahwa dia tidak senang melihat setiap prilaku semena-mena Rea kepada lelaki yang dia cintai. Tapi Rea adalah istrinya, sehingga Qiya pasrah saja menerima kenyataan.
Sakit hati sudah pasti. Cemburu, tidak perlu ditanya lagi, marah pun bergejolak semakin menjadi-jadi. Hingga Qiya sadar, dirinya sedang dipermainkan oleh satu emosi bernama Cinta.
Tapi dia harus tetap bersikap professional sebagai seorang pembantu rumah tangga dan melaksanakan tugas dari majikannya.
Qiya berjalan menuju kamar Rea dengan perasaan rumit.
"Ini adalah pekerjaan Qiya, kau tidak boleh marah." Qiya bicara kepada dirinya sendiri.
Pertama kali dalam hidup Qiya, dia mendapat tekanan batin saat melakukan tugasnya sebagai seorang pembantu. Jika hanya pekerjaan seperti biasa, menyapu halaman rumah, membersihkan kolam renang atau membela kebenaran, itu masih terbilang mudah.
Tapi bersikap sopan dihadapan istri majikan, mana kala dia pun harus menipu diri dan perasaan karena cemburu, seakan lebih berat dari pada memberantas korupsi di negara ini.
Berdiam diri cukup lama di depan pintu kamar Rea, menarik nafas dalam-dalam, kemudian menghembuskan perlahan, Qiya berusaha tetap tenang dan menyembunyikan emosi di hatinya.
Pengalaman menjadi bintang iklan dan model majalah di dunia entertainment, itu membuat Qiya cukup terampil berakting secara natural.
Setelah hati dan pikiran terkendali, Qiya mulai mengetuk pintu perlahan dan memanggil Rea dengan nada sopan.
"Nona Rea, ini aku Qiya, bagaimana keadaan anda ?." Saut Rea dari luar pintu.
Rea yang masih berdiam diri di dalam kamar pun menjawab panggilan Qiya... "Ya, aku baik-baik saja kak Qiya."
"Kalau begitu apa boleh aku masuk nona ?." Tanya Qiya.
"Aku tidak ingin diganggu, jadi biarkan aku sendiri Kak."
Bisa saja Qiya menyimpulkan...'Dia baik-baik saja, jadi tidak ada masalah.' selesai dan pergi.
Itu mudah, tapi Qiya menjadi tidak bisa membuat Ryan kecewa oleh pekerjaannya.
"Nona, aku merasa khawatir dengan anda, jadi tolong buka pintunya." Balas Qiya sedikit memaksa.
"Baiklah." Rea malas menjawab.
Tidak lama menunggu, suara kunci terdengar dan pintu kamar pun perlahan terbuka. Qiya bisa melihat raut wajah Rea belum berubah sejak mereka pulang dari pusat perbelanjaan.
Namun Rea kembali berjalan menuju tempat tidurnya, menarik selimut dan membenamkan diri.
Qiya datang, mengambil kursi dan duduk disebelah ranjang tempat Rea tidur.
Merasa tidak nyaman atas suasana canggung antara mereka berdua, dimana Rea diam karena masalahnya dan Qiya pun sama-sama diam karena perasaannya.
Sehingga Qiya mengambil inisiatif untuk bicara.... "Nona, bukankah tuan Ryan sudah mengatakan, jika nona tidak terlalu memikirkan masalah ini terlalu banyak, tentu tuan Ryan khawatir jika nanti anda sakit."
Dalam selimut itu, Rea menjawab..."Apa kak Qiya tahu. Aku hanya seorang wanita yang lahir di desa kecil, hidup miskin dan bekerja keras setiap hari. Tapi Aku pernah berurusan dengan orang kaya, mereka selalu berbuat seenaknya sendiri. Orang miskin seperti keluarga ku selalu dipandang rendah oleh mereka, Seakan-akan mereka bisa melakukan apa pun untuk membuat kami sengsara... Itu mungkin juga terjadi kepada Ryan."
Qiya tidak senang atas jawaban Rea, seperti menjual cerita sedih dan hidup sengsara agar orang lain merasa iba.
Tapi Dia tidak bisa mengatakannya atas dasar pelampiasan emosi belaka.
"Apa itu artinya nona sudah memiliki perhatian khusus kepada tuan Ryan ?." Tanya Qiya.
Rea membuka selimut..."Aku tidak menganggap ini sebagai bentuk perhatian kepada Ryan, hanya saja, aku merasa bersalah karena membuat dia dalam masalah yang aku lakukan."
Qiya sekuat mungkin meneguhkan hati..."Jika nona mengatakan itu kepada tuan Ryan, tentu tuan akan senang mendengarnya."
Rea terkejut..."Tolong jangan beritahu hal ini kepadanya atau siapa pun, itu memalukan."
"Baiklah nona, aku berjanji." Jawab Qiya tersenyum palsu.
Qiya tidak hanya berdiam diri untuk sekedar duduk dan mengawasi Rea, dia berjalan keluar dan kembali dengan secangkir teh beserta beberapa cemilan di atas nampan.
"Nona, aku bawakan teh herbal, itu bisa membuat perasaan anda lebih baik."
"Terimakasih, kak."
Rea beranjak turun dari ranjang, berjalan ke dekat meja dan mengambil satu kursi untuknya duduk bersama Qiya.
Dituangkan teh dalam teko ke satu cangkir marmer, Rea pun mulai meminumnya perlahan.
"Ini enak, tapi aku lebih suka teh dari kota tempat tinggal ku." Ucap Rea.
"Besok aku akan mencarikan teh yang nona minta." Jawab Qiya.
Sekali pun itu hanya Teh murah dari warung kelontong, tapi perasaan nyaman karena mengingat suasana rumahnya sendiri adalah hal terbaik bagi Rea.
Setelah suasana hati Rea menjadi lebih santai, Qiya pun mengajukan sebuah pertanyaan yang selalu membuat hatinya tidak senang atas sikap Rea kepada Ryan.
"Nona, maaf kalau aku bertanya tentang sesuatu yang aneh."
"Tentang apa itu kak ?."
"Apa nona tidak bahagia atas pernikahan dengan tuan Ryan ?." Ucap Qiya.
Sejenak ekspresi di wajah Rea kembali murung saat akan menjawab pertanyaan Qiya.
"Jika boleh jujur, aku tidak mau menikah secepat ini, aku baru saja lulus sekolah, aku berniat untuk kuliah dan bekerja, mungkin di masa depan aku bisa memperbaiki ekonomi keluarga. Tapi nyatanya, semua yang aku rencanakan berakhir menjadi seorang istri dari lelaki asing yang tidak aku jenal." Rea menunjukkan senyum getir di wajahnya.
"Jika nona merasa keberatan dengan pernikahan ini, apa nona tidak menolaknya saja ?."
Sekali lagi Rea meminum teh herbal itu...."Aku tidak punya pilihan lain, meski aku sempat berpikir untuk pergi dari rumah,
tapi bagaimana dengan perasaan ayah dan ibuku nantinya, aku tidak ingin mereka malu atas sikap ku yang tidak tahu diri."
Kerumitan di wajah Rea menunjukkan diri bahwa dia berusaha menerima kenyataan meski pun itu pahit dan tidak pernah diharapkan olehnya.
Qiya tidak bisa berbohong kepada dirinya sendiri, jika hidup yang Rea jalani dari pernikahan dengan Ryan atas dasar paksaan orang tua. Itu adalah keinginan Qiya dan semua wanita di dunia.
Kalau pun ada cerita tentang 'Terpaksa menikahi tuan muda tampan dan kaya raya', bagi Qiya itu hanya omong kosong belaka. Berpikir realistis, mana ada wanita yang akan menolak cinta dari sosok sempurna lelaki idaman.
Tanpa perlu memikirkan masalah ekonomi, hutang-piutang, listrik hampir habis, PDAM terancam putus, gas LPG belum bayar, beras tidak cukup buat makan, lauk cuma tahu tempe, sambel pun tidak ada, SPP sekolah nunggak, tagihan kontrakan telat, belum lagi susu anak, cicilan Tv hingga panci, khawatir suami kena PHK dan masih banyak lagi.
Bagi mereka yang merasa tidak bahagia karena 'dipaksa menikah dengan lelaki kaya', maka bisa dipastikan mereka belum merasakan sensasi hidup berkeluarga seperti di atas.
apa banyak misteri di antara mereka ber dua bukan cuma majikan ma pelayan ,,aihhh
mohon untuk up terus Thor...