Dorongan menikah karena sudah mencapai usia 32 tahun demi menghilangkan cap perawan tua, Alena dijodohkan dengan Mahendra yang seorang duda, anak dari sahabat Ibunya.
Setelah pernikahan, ia menemukan suaminya diduga pecinta sesama jenis.
✅️UPDATE SETIAP HARI
🩴NO BOOM LIKE 🥰🥰🥰
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pena Digital, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24
Ahen memegangi kedua pundak Alena.
"Ada apa?" tanya Ahen lagi.
"Mama..."
"Mama..."
Ahen mengernyitkan dahinya.
"Ibumu kenapa?"
Alena seakan tidak mampu mengeluarkan suara, dadanya terasa sesak dan sakit. Alena menyentuh telinganya sendiri dan menunjuknya.
Ahen menghela napas, ia ikut duduk bersilah di hadapan Alena.
"Kenapa telingamu? Di jewer sama Ibumu?"
Alena menggeleng.
"Telingamu di sentil?" tanya Ahen lagi.
Alena kembali menggeleng.
"Tarik napas dalam-dalam,"
Alena menurut dan menarik napas lumayan dalam.
"Buang pelan-pelan." lanjutnya.
Ahen meminta Alena mengulanginya lagi sambil memandunya. Perlahan napas Alena mulai leluasa keluar masuk di hidungnya, sesaknya pun berkurang.
"Ulangi sekali lagi."
Alena mengangguk dan kembali menarik napas dalam-dalam dan agak lama.
"Gimana? Udah mendingan?" tanya Ahen, Alena mengangguk, air matanya mulai berhenti mengalir.
"Katakan, ada apa? Kenapa telingamu?" Ahen kembali mengulangi pertanyaannya tadi.
"Mama.."
"Iya, Ibumu kenapa?" Ahen mulai gemas dan sekarang malah dirinya sendiri yang mengontrol napasnya.
"Daun telinga Mama layu," ungkap Alena.
"Layu?" tanya Ahen memastikan.
Alena mengangguk.
"Hiks... Daun telinga Mama, dua-duanya layu, Ahen. Hikss." Alena kembali menangis.
"Mama bakalan pergi. Hikss. Mama bakal pergi selamanya, Mama bakal ninggalin aku, Ahen. Aku nggak sanggup!"
Ahen ikut terkejut.
"Hei, kata siapa? Aku lihat Ibu kamu sudah mulai sehat, kok." Ahen mencoba menenangkan Alena.
Alena menggeleng.
"Aku lihat sendiri tadi pagi, telinga Mama layu, itu salah satu tanda orang akan meninggal, Ahen. Sebelum kita menikah, Mama juga sempat menyinggung soal umur Mama."
"Tenang, ya. Kamu cuma salah lihat itu. Tenang."
"Enggak, Ahen. Aku nggak salah lihat!"
"Sekarang aku harus gimana? Kenapa harus Mama? Kenapa nggak aku aja?!"
Alena kembali menangis tersedu-sedu, Ahen merasa iba, ia menarik Alena dalam pelukan hangat dan tulus.
"Mama..."
Alena menangis dalam pelukan Ahen, Ahen terus mengusap punggung Alena dan mencoba menenangkannya.
Ahen melepas pelukannya dan menangkup wajah Alena.
"Tenang, ya. Besok pagi kita ke Rumah Sakit. Kita konsultasikan pada Dokter. Dokter pasti ada cara untuk menyelamatkan Ibu kamu."
Alena menatap wajah Ahen yang terlihat bersungguh-sungguh. Alena mengangguk.
"Iya."
Ahen menyeka air mata Alena.
*************
Keesokan paginya, Alena dan Ahen pergi ke Rumah Sakit tempat Ibunya di rawat.
Setelah menunggu hampir 1 jam, akhirnya mereka di panggil untuk masuk ke ruangan Dokter yang bertugas pagi ini.
Alena menjelaskan apa yang terjadi pada sang Dokter, setelah mendengar semua itu sang Dokter hanya bisa diam dan tertunduk sejenak.
"Pak Dokter? Mama saya bisa diselamatkan, kan?" tanya Alena, ia harap-harap cemas menunggu jawaban sang Dokter.
"Maaf, Bu. Dulu, Almarhum Ayah saya juga mengalami hal serupa. Saya-"
"Almarhum?!" Alena menyela ucapan Dokter di depannya itu dengan sebuah pertanyaan.
Sang Dokter mengangguk.
"Dua hari setelah saya melihat daun telinga Ayah saya layu, Ayah saya meninggal tanpa sakit apapun. Bahkan beberapa jam sebelum meninggal, Ayah saya terlihat baik-baik saja dan ceria."
'Deg' Jantung Alena seperti berhenti berdetak.
"Maksud anda mertua saya juga akan senasib dengan Ayah anda?!" tanya Ahen dengan ekspresi wajah yang menahan amarah.
"Anda kan seorang Dokter, dengan keilmuan yang anda miliki, anda pasti punya solusi walaupun kemungkinan selamatnya kecil." tukasnya.
"Saya memang Dokter, Pak. Tapi saya bukan Tuhan. Tanda ini alami dari Tuhan."
Ahen berdiri.
"Baru ini saya melihat seorang Dokter yang mudah pesimis tanpa melakukan usaha pertolongan apapun."
Ahen menatap tajam pada Dokter itu.
"Alena, ayo pergi dari sini. Pasti ada Dokter yang lebih bisa diandalkan selain disini." Ahen lalu menarik tangan Alena, Alena pun ikut berdiri.
"Kami permisi." pamit Ahen dengan nada ketus.
Mereka berdua pergi ke Rumah Sakit yang lebih besar di kota ini. Selama di perjalanan, Alena terus membendung air matanya.
'Drrtttt ddrrttt'
HP Alena berdering.
"Assalamu'alaikum, Ma."
"Wa'alaikumsalam, Nak. Kamu pulang jam berapa?"
"Aku pulang agak lama, Ma."
"Iya, Ma. Ini Ahen ada urusan sama temen." Ahen ikut menimpali.
"Oh, gitu ya. Ya udah, nanti malam Mama buatin kamu makanan kesukaan kamu, ya."
"Iya, Ma. Makasih ya, buatin yang banyaaakk~" Alena mengatakan hal ini disertai air mata.
"Iya, sayang."
Mereka pun mengakhiri panggilan saat mobil Ahen masuk ke area Rumah Sakit Z, Rumah Sakit terbesar di Kota ini dan sering menjadi tempat rujukan dari Rumah Sakit lainnya.
Ahen pergi ke Resepsionis, setelah bernegoisasi akhirnya Dokter spesialis saraf bersedia menemui merek berdua tetapi dengan waktu yang tidak terlalu banyak.
Di ruang Dokter...
Setelah mendengar keluhan Alena tentang Ibunya, Dokter tersebut masih menganalisis dalam diamnya.
****
Alena dan Ahen keluar dari ruang Sang Dokter, Alena melangkah dengan gontai, air matanya tidak mampu lagi ia bendung, Ahen menghentikan langkahnya, ia menggenggam tangan Alena.
Alena menoleh pada Ahen, dengan tatapan penuh iba, Alena langsung memeluk Ahen, tubuhnya langsung lemas tidak bertenaga.
"Ahen, Mamaku... Hiks..."
Ahen memeluk erat Alena, hati Ahen ikut merasakan sakit saat mendengar Dokter itupun mengungkapkan dirinya pernah melakukan sebuah operasi besar untuk pasien serupa dengan Ibu Alena, namun sayangnya di tengah operasi yang berlangsung, pasien itu berpulang. Bahkan dirinya yang masih tidak menyerah, akhirnya melakukan penolongan kepada 5 pasien yang serupa namun semua gagal.
Alena masih menangis di dalam mobil, entah berapa liter air mata yang sudah mengalir dari semalam.
Di perjalanan, Alena terus diam dengan raut wajah tanpa semangat hidup, ia melihat Ahen tidak lewat di jalan pulang, namun ia tidak ada keinginan untuk bertanya.
Mobil mereka berhenti di parkiran, Alena dan Ahen turun dari mobil, hembusan angin pantai menyambut keduanya. Ahen menggandengan tangan Alena dan berjalan menuju bibir pantai.
Sore hari yang menyuguhkan langit senja yang indah menarik minat para pengunjung, banyak yang memotret pemandangan indah itu, banyak yang berlarian di bibir pantai dan ada juga yang selesai berenang karena air mulai pasang.
Alena menatap laut di depannya dengan tatapan nanar, Alena duduk sambil menekuk lutut, Ahen juga menyusul ikut duduk di samping Alena.
"Kenapa bawa aku kesini?" tanya Alena.
"Kalau langsung pulang, nanti Ibumu mikir aneh-aneh liat matamu yang bengkak seperti disengat lebah." jawab Ahen sambil menghela napas pelan.
Ahen terkejut saat tiba-tiba kepala Alena bersandar di bahunya, Ahen tidak menolak dan menggenggam tangan Alena.
"Di kondisi apapun, kita harus selalu yakin kalau rencana Tuhan itu baik."
"Tapi kenapa harus mengambil orang tuaku?" tanya Alena.
"Aku tidak tau pasti alasannya apa, tapi nanti pasti akan di ganti yang lebih baik."
"Nggak ada yang bisa gantiin Papa dan Mama."
"Tau kisahnya Rasulullah SAW, nggak?" tanya Ahen.
"Tau,"
"Beliau orang hebat, nggak?" tanya Ahen lagi.
Alena mengangguk.
"Dalam perjalanan hidupnya, apakah ujiannya segampang ujian akhir semester?"
Alena terdiam, kemudian ia menggeleng.
"Ujian orang hebat itu berat, Alena. Dan ujian tangisan, sakit dan sebagainya, itu juga bahasa cinta dari Tuhan kita."
Alena pun setuju akan hal itu.
"Dan kenapa orang tuamu di ambil? Tuhan lebih tau mana yang baik untuk hambanya. Terkadang otak kita terlalu cetek untuk mencerna kebaikan dari kesulitan dan sakit yang kita alami."
Ahh, rasanya Alena sedang bersama dengan Ustadz saat ini.
"Berarti dosaku banyak banget ya? Sampek harus dibikin nangis gini?" tanya Alena.
"Bisa jadi." jawab Ahen dengan entengnya.
Alena menganga mendengar jawaban Ahen.
"Ish! Kok gitu?!" Alena memasang wajah cemberut dan tangan kanannya refleks mencubit paha Ahen.
"Ya kita siapa? Kita manusia biasa yang pasti punya dosa."
"Iya sih,"
"Jadi, lebih baik kamu jangan berburuk sangka terus."
Alena menghela napas dan mengangguk pelan, ia kembali memandangi ombak laut yang mulai pasang itu.
Tapi kadang yang di pikirin malah cuek aja karena merasa dah mapan jadi bisa hidup sendiri,bisa mandiri tanpa harus punya pendamping hidup.