Fatharani Hasya Athalia, atau biasa disapa Hasya oleh teman-temannya itu harus terjebak dengan seorang pria di sebuah lift Mall yang tiba-tiba mati.
Hasya yang terlalu panik, mencari perlindungan dan dengan beraninya dia memeluk pria tersebut.
Namun, tanpa diketahuinya, ternyata pria tersebut adalah seorang CEO di perusahaan tempatnya bekerja. Hasya sendiri bekerja subagai Office Girl di perusahaan tersebut.
Pada suatu hari, Hasya tidak sengaja melihat nenek tua yang dijambret oleh pemotor saat dirinya akan pergi bekerja. Karena dari perangai dan sifatnya itu, nenek tua tersebut menyukai Hasya sampai meminta Hasya untuk selalu datang ke rumahnya saat weekend tiba.
Dari sanalah, nenek tua tersebut ingin menjodohkan cucu laki-lakinya dengan Hasya.
Akankah Hasya menerima pinangan itu? Sedangkan, cucu dari nenek tua tersebut sedang menjalin kasih bahkan sebentar lagi mereka akan bertunangan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ijah hodijah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29
"Sayang! Mau kemana?" Bara mengejar Hasya yang melesat jauh mengejar jambret yang sedang membawa tas seseibu yang baru saja mau masuk ke restoran tersebut.
Bugh!
Setelah dekat, Hasya menendang bok0ng jambretnya sampai tersungkur ke aspal.
Brugh!
"Argh!" jambret itu mengerang kesakitan. Dengan cepat Hasya mengambil hand bag yang ada di tangan jambretnya.
Jambret itu bangun dengan susah payah, dia menatap Hasya dengan tatapan tajam.
"Wle!" Hasya memeletkan lidahnya dan membuat jambret itu semakin geram. Ia mulai berdiri.
"Sayang!" Bara berteriak dari jarak sekitar dua meter. Haya menoleh dan itu kesempatan jambret itu untuk kembali mengambil tas yang berada di tangan Hasya. Tapi, gerakannya kalah cepat dengan Bara, kakinya menendang perut jambret itu dan dia kembali terjerembab.
Bruk!
"Argh!" jambret itu kembali mengerang, menahan sakit di tubuhnya.
"Yes! terimakasih atas kerjasamanya, Tuan." Hasya meminta tos kepada Bara.
"Sama-sama, girl,"
Perlahan para pengunjung di sana berkerumun, melihat apa yang terjadi. Dan seseibu yang pemilik hand bag itu berlari ke arah Hasya dengan napas tersenggal-senggal karena berlari.
"Terimakasih, dek, sudah menolong saya!" ucapnya.
"Ini tas ibu?" tanya Hasya, menunjukkan hand bag itu kepada pemiliknya.
"Iya, Dek. Itu tas ibu. Tadi ibu yang meminta tolong."
"Oh, baik, ini bu, tasnya. Dicek dulu dalamnya." ucap Hasya lagi. Ia memberikan hand bag tersebut kepada pemiliknya.
"Terimakasih, Dek. Saya cek dulu," ia menerimanya, mengeceknya, kemudian ia kembali menutup resletingnya. "Aman, Dek. Semuanya masih ada. Ini untuk adek."
"Jangan, Bu. Gak usah, saya ikhlas." jawab Hasya.
"Gak papa, Dek."
"Gak usah, Bu." sahut Bara. Ia ikut menolak.
"Terus ibu harus bagaimana?"
"Gak harus bagaimana-bagaimana, saya ikhlas menolong ibu, hati-hati ya, Bu." ucap Hasya. Dia langsung berpamitan karena perutnya sudah keroncongan..
***
"Pelan-pelan makannya, gak akan ada yang ambil," tegur Bara.
"Ternyata enak banget, ya?" tanya Hasya.
Bara tertegun dengan ungkapan Hasya, dia menjadi teringat dengan kondisi Hasya sebelumnya.
"Iya, yanga habis makannya biar gak kebuang,"
"Oke!"
Tidak ada obrolan lagi, keduanya fokus makan siang sampai selesai.
Setelah makan, Bara mengajak Hasya untuk naik perahu bebek yang ada di danau buatan.
"Hati-hati!" Bara menuntun Hasya untuk naik ke atas perahunya.
"Hmm!" Hasya berdehem sambil fokus memijakan kakinya ke perahu. dan keduanya berhasil duduk.
"Kalau malam bagus, ya?"
"Mau sampai malam di sini?"
"Gak juga, aku bertanya aja. Soalnya dilihat dari tempatnya romantis banget, kek di drama-drama."
"Kita juga lagi main drama versi nyata. Dan kita bebas mau melakukan apa pun di sini," Bara menggenggam tangan Hasya lalu mengecupnya lembut.
"Kalau berbicara itu disaring dulu, kenapa? Ada bocil yang masih polos,"
Bara menarik hidung Hasya, "Katanya sudah tern0da"
"Ah, iya." Hasya menyenderkan kepalanya ke bahu Bara. Kemudian ia memejamkan matanya sejenak, menikmati semilir angin yang berembus ke wajahnya, menghirupnya, dunianya seketika terasa hidup. Hatinya menghangat, darah-darah yang mengalir di dalam tubuhnya ikut menghangat. Tidak terasa, air matanya menetes, ia tersentak dan langsung menghapus air matanya dengan kasar, kemudian ia duduk dengan tegak.
"Kenapa?" tanya Bara.
"Gak papa, kelilipan," jawab Hasya.
"Gak usah bohong, sini!" Bara kembali menyenderkan kepala Hasya ke bahunya.
"Apa yang sedang kamu pikirkan?" tanyanya.
"Lagi mikirin apa ya? Gak juga sih." Hasya tida jadi mengungkapkan isi hatinya. "Emm... Terimakasih, ya,"
"Untuk?"
"Semuanya, karena dari dulu aku gak pernah ngebayangin bisa kayak hari ini,"
"Semuanya sudah menjadi hak kamu. Ingat! Dunia itu berputar, kita tidak akan selamanya terpuruk. Yang penting kita tetap sabar dan ikhlas menjalaninya," Bara mengusap lembut rambut Hasya, kemudian ia mengecup keningnya.
"Iya juga, tapi seperri gak percaya saja. Kayak ini aku lagi mimpi." jawab Hasya.
"Aku paham. Tenang saja, aku dan keluargaku sayang sama kamu. Sekarang kamu harus lebih semangat lagi untuk menggapai cita-cita kamu yang belum terwujud."
"Oke! Aku akan berusaha untuk mewujudkan cita-citaku sampai aku sukses."
"Good!"
***
Setelah merasa puas dan Hasya sendiri yang mengajak pulang, Bara dan Hasya kembali ke kantor sampai jam pulang tiba mereka baru pulang ke rumah.
"Kamu ada tugas?" tanya Bara. Ia menghampiri Hasya yang sedang duduk di kursi sambil membaca buku.
Hasya menoleh, ia menatap Bara sampai tidak berkedip.
Cup!
"Terpesona, ya?" Bara duduk di meja belajar Hasya.
"He, enggak, dong."
Bara tidak menjawab lagi, ia mengambil buku yang sedang Hasya baca. "Apa perlengkapannya kurang?" Bara mengembalikan lagi bukunya ke Hasya.
"Gak, ini sudah cukup. Kata nenek ada perpustakaan kecil, nanti aku cari-cari ke sana kalau ada yang aku perlukan. Atau di perpustakaan kampus juga."
"Gak usah ke sana, kalau yang dibutuhkan gak ada di rumah, bilang saja sama aku, jangan sungkan,"
"Kenapa gak boleh? Aku juga suka kalau diam di perpustakaan, karena itu waktuku sambil menunggu kelas berikutnya," Ya, selama kuliah, Hasya sangat jarang ke kantin atau ngobrol dengan teman-temannya. Dia akan ke perpustakaan mencari buku-buku yang bersangkutan dengan mata kuliahnya. Begitu pun dengan Aurel, keduanya selalu dijuluki si kutu buku. Tapi sejak Hasya tidak kuliah, kebiasaan itu hilang di Aurel yang sekarang.
"Pokoknya gak boleh aja,"
"Ya, aku ngapain, dong, kalau gak ke perpustakaan? Pasti bosan."
"Ya, main, kek. Bebas aja sekarang, jangan terlalu tertekan. Atau ngobrol-ngobrol, diskusi sama teman-teman kamu di kantin."
"Aku lihat situasi dulu,"
"Hhmm..."
***
Malam harinya
"Mau apa?" Hasya kaget, tiba-tiba Bara memeluknya dari belakang dengan tangan kanannya yang berhasil masuk ke dalam bajunya.
Bara sendiri baru saja dari ruang kerjanya untuk mengerjakan pekerjaannya yang belum selesai di kantor tadi.
"Om, jangan begini, kek ada hantu," Hasya berusaha menarik tangan Bara, tapi tenaganya lebih kuat Bara.
"Aku mau kamu malam ini," Bara membalikan badan Hasya dan langsung menyambar bibirnya, melum*tnya dengan lembut. Kemudian ia mengalungkan tangan Hasya ke lehernya dan memberikan sentuhan-sentuhan lembut di titik sensit1f tubuh Hasya.
Sentuhan demi sentuhan semakin intens, keduanya terhanyut dalam buaian. Bara menggendong Hasya, memindahkannya ke ranjang tanpa melepaskan tautan bibirnya.
Ugh! Hasya melenguh saat bibir bara berpindah menyapu leher jenjang Hasya. I love you so much, Baby!" Bara berbisik lembut di telinga Hasya.
Satu persatu, benang yang menempel di baju Hasya berjatuhan di lempar sembarang tempat oleh Bara. "Ikhlas, ya, jangan nolak lagi." suara Bara terdengar serak, napasnya berat.
Hasya mengangguk pasrah, dia juga tidak bisa menolaknya. Apalagi sudah setengah perjalanan.
"Kalau sakit bilang, aku usahakan pelan-pelan," Hasya kembali mengangguk, dia memejamkan matanya saat Bara kembali menyambar bibirnya, memperdalam civmannya, memberikan sentuhan lembut dan berakhir di pelabuhan cintanya yang baru.
***
"Huaa! Kok, kulit aku berubah jadi polkadot?"
Bersambung