Suara Raja Bramasta terdengar tegas, namun ada nada putus asa di dalamnya
Raja Bramasta: "Sekar, apa yang kau lakukan di sini? Aku sudah bilang, jangan pernah menampakkan diri di hadapanku lagi!"
Suara Dayang Sekar terdengar lirih, penuh air mata
Dayang Sekar: "Yang Mulia, hamba mohon ampun. Hamba hanya ingin menjelaskan semuanya. Hamba tidak bermaksud menyakiti hati Yang Mulia."
Raja Bramasta: "Menjelaskan apa? Bahwa kau telah menghancurkan hidupku, menghancurkan keluargaku? Pergi! Jangan pernah kembali!"
Suara Ibu Suri terdengar dingin, penuh amarah
Ibu Suri: "Cukup, Bramasta! Cukup sandiwara ini! Aku sudah tahu semuanya. Aku tahu tentang hubunganmu dengan wanita ini!"
Bintang Senja terkejut mendengar suara ibunya. Ia tidak pernah melihat ibunya semarah ini sebelumnya.
Raja Bramasta: "Kandahar... dengarkan aku. Ini tidak seperti yang kau pikirkan."
Ibu Suri: "Tidak seperti yang kupikirkan? Jadi, apa? Kau ingin mengatakan bahwa kau tidak berselingkuh dengan dayangmu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ainul hasmirati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menyelinap Keluar dari Istana
Malam itu, rembulan menggantung tinggi di langit, memancarkan cahaya perak yang menembus celah-celah awan. Istana Surya tampak megah dan tenang, namun di balik tembok-tembok kokohnya, seorang putri tengah mempersiapkan diri untuk sebuah petualangan berbahaya.
Putri Bintang berdiri di depan cermin di kamarnya. Ia mengenakan pakaian sederhana, jauh dari gaun-gaun mewah yang biasa ia kenakan. Sebuah jubah berwarna gelap menutupi tubuhnya, menyembunyikan identitasnya sebagai seorang putri. Rambutnya yang panjang dan indah ia kepang erat, lalu disembunyikan di balik tudung.
"Apakah Yang Mulia yakin dengan keputusan ini?" tanya Dayang Larasati, pelayan setia Bintang, dengan nada khawatir.
Bintang menoleh, menatap Larasati dengan tatapan yang penuh tekad. "Aku sudah memikirkannya matang-matang, Larasati. Aku harus melakukan ini."
Larasati menghela napas. Ia tahu betul betapa keras kepalanya putri yang telah ia layani sejak kecil itu. "Lalu, bagaimana dengan rencana kita? Apakah Yang Mulia sudah siap?"
"Semuanya sudah siap," jawab Bintang. "Kau sudah mengatur agar para penjaga di gerbang belakang dialihkan, kan?"
"Sudah, Yang Mulia. Mereka akan dipindahkan ke sisi timur istana selama satu jam. Waktu itu cukup bagi kita untuk keluar."
"Bagus. Lalu, kuda?"
"Sudah disiapkan di kandang belakang. Kuda yang paling cepat dan kuat."
Bintang mengangguk. "Terima kasih, Larasati. Kau adalah sahabat terbaikku."
Larasati tersenyum tipis. "Hamba hanya ingin Yang Mulia selamat dan bahagia."
"Aku akan baik-baik saja," kata Bintang, mencoba meyakinkan Larasati dan dirinya sendiri. "Sekarang, mari kita pergi."
Dengan hati-hati, Bintang menyelinap keluar dari kamar Bintang. Mereka berjalan menyusuri lorong-lorong istana yang sepi, menghindari patroli para penjaga. Suara langkah kaki mereka terasa begitu nyaring di tengah keheningan malam.
"Kita harus berhati-hati," bisik Bintang. "Jangan sampai ada yang melihat kita."
"Hamba mengerti, Yang Mulia," jawab Larasati.
Mereka terus berjalan, bersembunyi di balik pilar-pilar besar dan patung-patung kuno. Sesekali, mereka harus berhenti dan menunggu para penjaga lewat sebelum melanjutkan perjalanan.
"Di sana!" bisik Larasati, menunjuk ke arah gerbang belakang istana. "Itu gerbangnya."
Bintang mengangguk. Mereka mempercepat langkah mereka, menuju ke gerbang yang menjadi jalan keluar mereka dari istana.
Namun, saat mereka hampir mencapai gerbang, tiba-tiba seorang penjaga muncul dari balik sudut. Penjaga itu terkejut melihat dua orang wanita berpakaian gelap berjalan di dekat gerbang belakang.
"Siapa kalian?" tanya penjaga itu dengan nada curiga. "Apa yang kalian lakukan di sini?"
Bintang dan Larasati terdiam. Mereka tahu, mereka telah ketahuan.
"Kami... kami hanya sedang mencari udara segar," jawab Larasati dengan gugup.
"Malam-malam begini?" Penjaga itu menatap mereka dengan curiga.
"Tidak mungkin. Tunjukkan wajah kalian!"
Bintang tahu, mereka tidak punya pilihan lain. Ia membuka tudungnya, memperlihatkan wajahnya yang cantik namun tegas.
Penjaga itu terkejut. "Putri Bintang?"
"Benar," jawab Bintang. "Aku Putri Bintang, dan aku ingin keluar dari istana."
"Tapi, Yang Mulia tidak boleh keluar istana tanpa izin Raja," kata penjaga itu.
"Hamba tidak bisa membiarkan ini terjadi."
"Aku tahu," kata Bintang. "Tapi, aku punya alasan yang kuat untuk melakukan ini. Aku mohon, biarkan aku pergi."
Penjaga itu tampak ragu. Ia adalah seorang prajurit yang setia kepada kerajaan, namun ia juga tidak tega melihat seorang putri memohon seperti itu.
"Maafkan hamba, Yang Mulia," kata penjaga itu akhirnya. "Hamba tidak bisa melanggar perintah."
Bintang menghela napas. Ia sudah menduga hal ini akan terjadi. "Baiklah," katanya. "Kalau begitu, aku tidak punya pilihan lain."
Dengan gerakan cepat, Bintang mengeluarkan sebuah jarum kecil dari balik jubahnya. Ia menusukkan jarum itu ke leher penjaga itu. Penjaga itu terhuyung, lalu jatuh pingsan.
Larasati terkejut melihat tindakan Bintang. "Yang Mulia! Apa yang Yang Mulia lakukan?"
"Aku tidak punya pilihan lain," jawab Bintang. "Kita harus pergi sekarang."
Bintang dan Larasati segera membuka gerbang belakang istana. Mereka berlari menuju kandang kuda, mengambil kuda yang sudah disiapkan. Dengan cepat, mereka menunggangi kuda itu dan memacu kudanya keluar dari istana.
"Kita berhasil!" seru Larasati dengan lega.
"Jangan senang dulu," kata Bintang.
"Perjalanan kita baru saja dimulai."
Mereka memacu kuda mereka secepat mungkin, menjauhi istana. Mereka tahu, para penjaga akan segera menyadari bahwa mereka telah melarikan diri, dan mereka akan mengejar mereka.
"Kita harus mencapai perbatasan sebelum fajar," kata Bintang. "Kalau tidak, kita akan tertangkap."
"Hamba akan melakukan yang terbaik, Yang Mulia," jawab Larasati.
Mereka terus memacu kuda mereka sepanjang malam, melewati hutan-hutan gelap dan padang rumput yang luas. Angin malam menerpa wajah mereka, membuat mereka menggigil kedinginan.
"Yang Mulia, kita harus istirahat sebentar," kata Larasati dengan nada lelah.
"Kuda kita juga butuh istirahat."
Bintang melihat sekeliling. Mereka berada di tengah hutan yang lebat.
"Baiklah," katanya. "Kita istirahat di sini."
Mereka turun dari kuda mereka dan beristirahat di bawah pohon besar. Larasati menyalakan api unggun kecil untuk menghangatkan tubuh mereka.
"Apakah Yang Mulia yakin dengan semua ini?" tanya Larasati sambil menatap api.
"Apakah Yang Mulia tidak menyesal meninggalkan istana?"
Bintang terdiam sejenak. "Aku memang merindukan istana, Larasati," katanya.
"Aku merindukan keluargaku, teman-temanku, dan semua kemewahan yang aku miliki. Tapi, aku tidak menyesal. Aku tahu, aku melakukan hal yang benar."
"Tapi, bagaimana jika Yang Mulia tertangkap?" tanya Larasati.
"Apa yang akan terjadi pada Yang Mulia?"
"Aku tidak tahu," jawab Bintang.
"Tapi, aku tidak akan menyerah. Aku akan terus berjuang untuk apa yang aku yakini."
Saat mereka sedang beristirahat, tiba-tiba mereka mendengar suara langkah kaki mendekat. Bintang dan Larasati segera berdiri, bersiap untuk menghadapi bahaya.
"Siapa di sana?" seru Bintang.
Seorang pria keluar dari balik pepohonan. Ia mengenakan pakaian prajurit, dan di tangannya tergenggam sebilah pedang.
"Kalian berdua, menyerah!" seru prajurit itu.
"Kalian telah melanggar hukum kerajaan!"
Bintang dan Larasati saling berpandangan. Mereka tahu, pelarian mereka akan semakin sulit.
"Siapa kau?" tanya Bintang, mencoba mengulur waktu.
"Aku Panglima Arya, penjaga setia Kerajaan Kencana Loka. Aku diperintahkan untuk menangkap kalian dan membawa kalian kembali ke istana."
"Kami tidak akan kembali," kata Bintang dengan tegas. "Kami punya alasan untuk pergi."
"Alasan apa pun itu, tidak ada yang bisa membenarkan tindakan kalian. Kalian telah melanggar hukum kerajaan, dan kalian harus dihukum."
"Kami tidak takut dengan hukuman," kata Bintang. "Kami lebih takut hidup dalam kebohongan dan ketidakadilan."
Panglima Arya menghela napas. Ia tahu, ia tidak akan bisa membujuk mereka untuk kembali dengan kata-kata. "Baiklah," katanya.
"Kalau begitu, aku tidak punya pilihan lain."
Panglima Arya mengangkat pedangnya, bersiap untuk menyerang. Bintang dan Larasati juga bersiap untuk bertarung.
"Larasati, kau lari lah," kata Bintang.
"Cari bantuan, dan sampaikan pesan ini kepada rakyat Kerajaan Surya."
"Tapi, Yang Mulia..."
"Tidak ada waktu untuk berdebat. Pergilah!"
Dengan berat hati, Larasati berlari meninggalkan Bintang dan Panglima Arya. Panglima Arya mencoba mengejar Larasati, namun Bintang menghalangi jalannya.
"Kau tidak akan lolos," kata Bintang.
"Minggir, Putri," kata Kapten Arya. "Aku tidak ingin menyakitimu."
"Aku juga tidak ingin menyakitimu," kata Bintang.
"Tapi, aku tidak akan membiarkanmu menangkap ku."
Bintang mengeluarkan sebuah belati kecil dari balik jubahnya. Ia bersiap untuk bertarung melawan Panglima Arya.
"Kau tidak mungkin bisa mengalahkanku," kata Panglima Arya.
"Aku adalah prajurit terlatih."
"Aku mungkin bukan prajurit terlatih," kata Bintang. "Tapi, aku punya tekad yang kuat."
Pertarungan antara Bintang dan Panglima Arya berlangsung sengit. Panglima Arya menyerang dengan pedangnya, sementara Bintang bertahan dengan belatinya. Bintang bergerak lincah, menghindari serangan-serangan Panglima Arya.
"Kau bertarung dengan baik, Putri," kata Panglima Arya. "Tapi, kau tidak akan bisa bertahan selamanya."
"Aku akan bertahan selama aku bisa," jawab Bintang.
Tiba-tiba, Bintang melihat celah dalam pertahanan Panglima Arya. Ia memanfaatkan kesempatan itu untuk menyerang. Ia menusukkan belatinya ke lengan Panglima Arya.
Panglima Arya berteriak kesakitan. Ia memegang lengannya yang terluka.
"Kau sudah kalah," kata Bintang. "Menyerah lah."
Panglima Arya menatap Bintang dengan tatapan marah. "Aku tidak akan menyerah," katanya.
Panglima Arya mencoba menyerang Bintang lagi, namun lukanya membuatnya kehilangan keseimbangan. Bintang memanfaatkan kesempatan itu untuk menendang Panglima Arya hingga terjatuh.
Panglima Arya terbaring di tanah, tidak berdaya. Bintang berdiri di atasnya, mengacungkan belatinya.
"Aku bisa membunuhmu sekarang," kata Bintang.
"Tapi, aku tidak akan melakukannya."
Bintang menurunkan belatinya. Ia membantu Panglima Arya untuk berdiri.
"Aku tidak ingin menyakitimu," kata Bintang. "Aku hanya ingin kau mengerti apa yang aku lakukan."
Panglima Arya menatap Bintang dengan tatapan bingung. "Aku tidak mengerti," katanya.
"Kenapa kau melakukan semua ini?"
"Aku melakukan ini karena aku ingin membuat Kerajaan Kencana Loka menjadi tempat yang lebih baik," jawab Bintang.
"Aku ingin melihat rakyat kita hidup sejahtera dan bahagia."
"Tapi, kau tidak bisa melakukan itu dengan melanggar hukum," kata Panglima Arya.
"Aku tahu," kata Bintang.
"Tapi, kadang-kadang, kita harus melanggar hukum untuk menegakkan keadilan."
Bintang berbalik dan berjalan pergi. Ia meninggalkan Panglima Arya yang masih terbaring di tanah.
"Kemana kau akan pergi?" tanya Panglima Arya.
"Aku akan pergi mencari keadilan," jawab Bintang.
"Aku akan pergi mencari kebenaran. Dan aku tidak akan berhenti sampai aku menemukannya."
Bintang melanjutkan perjalanannya seorang diri. Ia berjalan melewati hutan-hutan gelap dan padang rumput yang luas. Ia menghadapi berbagai macam bahaya dan rintangan. Namun, ia tidak pernah menyerah. Ia selalu ingat akan impiannya untuk membuat Kerajaan Kencana Loka menjadi tempat yang lebih baik.
Suatu hari, Bintang tiba di sebuah desa kecil yang terpencil. Desa itu dihuni oleh orang-orang miskin dan menderita. Mereka hidup dalam ketakutan dan penindasan.
Bintang merasa iba melihat penderitaan mereka. Ia memutuskan untuk tinggal di desa itu dan membantu mereka.
Bintang mengajari mereka cara bertani, cara berdagang, dan cara melindungi diri dari bahaya. Ia memberikan mereka harapan dan kekuatan untuk melawan ketidakadilan.