Hubungan antara dua orang yang saling mencintai tentu saja akan lebih membahagiakan jika ada restu kedua orang tua di dalamnya. Namun, bagaimana akhirnya jika setelah semua usaha dilakukan, tapi tetap saja tidak ada kata restu untuk hubungannya?
Ini tentang Arasellia. Gadis dari kalangan biasa yang selalu kesulitan mendapatkan restu dalam setiap menjalin hubungan.
"Kalau pada dasarnya mereka udah nggak suka sama aku, mau aku kasih mereka uang semiliar juga nggak akan mengubah apa pun."
"Kalau misal berubah, emang kamu punya uang semiliar?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vin Shine, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tamu Tak Diundang
Gara-gara semalam Ara bilang pada orang tuanya kalau Darma akan datang ke rumah mereka, alhasil pagi ini dia harus bangun pagi untuk bersih-bersih rumah dan membantu ibunya memasak di dapur.
"Yang dateng ini Darma yang pernah ke sini, lhoh, Bu. Bukan presiden." Sembari menyelupkan kain pel, bibir Ara terus menggerutu.
"Yah, mau siapa aja kalau rumahnya bersih 'kan jadi nggak malu-maluin biar pun jelek." Bu Ata menimpali sambil mengupas bawang.
Ara tak lagi menjawab. Sudah membawa pel ke ruang TV tempat di mana ia berencana minta diajari Darma nanti. Laki-laki itu bilang akan datang jam sepuluh. Semoga saja benar. Jadi, 'kan Ara tidak menunggu terlalu lama.
"Darma doyan ayam rica-rica nggak, ya, Ra?" Lagi Bu Ata bersuara ketika Ara sudah menyelesaikan tugas mengepelnya, dan kini gadis itu sudah menghadap sang ibu untuk mengerjakan perintah selanjutnya.
"Nanti aku orderin aja, deh, biar dia milih mau makan apa. Ibu juga jadi nggak bingung."
"Jangan, dong!" Pak Narto yang baru selesai memberi makan ayam kontan menolak. "Orang kaya itu udah biasa makan di luar, jadi biarin aja makan masakan rumahan."
"Iya, bener!" Semangat dalam diri Bu Ata kembali berkobar berkat sang suami. "Tahunya dimasak juga kali, yah, sama bihun goreng."
"Sippp banget, tuh, Bu." Yang baru melek dan masih ileran yang menjawab.
"Bantuin, oy! Jangan makan doang bisanya." Ara berujar sengit sebab sejak baru bangun sudah mendapat wejangan.
"Tugasku 'kan cuci piring. Ya, nantilah," ujar Gusti sebelum menghilang ke kamar mandi.
Pukul sepuluh kurang seperempat akhirnya Ara sudah selesai mempersiapkan semuanya, termasuk buku-buku serta laptopnya. Gadis itu kini sedang memainkan ponsel sambil menunggu tamunya datang.
Tok tok tok!
Ketukan pintu terdengar. Kening Ara sedikit mengernyit, pasalnya dia tidak mendengar suara mobil berhenti di depan rumah.
Tok tok tok!
Bu Ata datang dari arah dapur. "Heh! Itu bukannya dibukain malah ngalamun."
"Lagi mikir."
"Mikir apa? Itu, lhoh, Darma lagi ngomong sama bapak di depan," kata Bu Ata melihat suami serta tamunya dari kaca jendela.
FYI, sejak tadi Pak Narto berada di teras samping karena sedang melihat pohon alpukat milik tetangga yang tengah berbuah lebat. Jadi, lebih dulu tahu kalau yang datang Darma.
Gubrak! Buku di depan Ara jatuh karena tersenggol tatkala gadis itu menyusul ibunya yang sudah lebih dulu ke depan. Untung cuma buku bukan laptop, bisa gigit jari dia.
Ara menghela napas panjang dan memamerkan rentetan gigi putihnya begitu sampai di teras depan.
"Hai, udah mulai belajarnya?" Darma tersenyum cerah. Secerah cuaca hari ini.
"B-belum. Sorry, tadi aku pikir bukan kamu. Jadi, nggak aku bukain pintunya."
"Nggak pa-pa. Aku juga nggak bilang-bilang dulu mau bawa motor." Darma menunjuk motor sport miliknya.
Ara hanya mengangguk kecil. "Ya, udah. Masuk, yuk."
Darma mengekor di belakang Ara setelah tadi berbasa-basi sebentar dengan Pak Narto dan Bu Ata. Lelaki itu beberapa kali menoleh ke kanan dan ke kiri, mengamati rumah Ara.
"Tempatnya sempit, ya?" Ara tak enak hati.
"Nggak, kok. Enak, adem."
"Mau minum apa?" tanya Ara setelah mempersilakan Darma untuk duduk.
"Caramel macchiato."
"Kamu pikir rumahku Starbucks!"
Darma tertawa. "Apa ajalah."
Sementara Ara pergi ke dapur untuk mengambil minuman, Darma mulai membuka-buka buku yang ada di depannya. Dia yang tadinya duduk di kursi, kini sudah gelesotan di lantai.
"Banyak banget, ya ...."
Ara yang baru menaruh minuman di meja hanya bisa meringis.
"Kamu kalau mau jam tambahan dateng aja ke kantorku. Hari Rabu sama Jumat jadwalku nggak begitu padat." Darma berkata seolah dia adalah guru les Ara.
"Aku 'kan kerja."
Darma langsung menegakkan kepala. Menaruh buku di tangannya, ia kini melipat tangannya di meja dengan tatapan tertuju pada Ara. "Aku nggak yakin kamu lolos kalo masih sambil kerja. Ini banyak banget, lhoh. Serius."
Embusan napas kasar terdengar. Ara meremas ujung kausnya. Dia sudah pesimis dan tambah pesimis setelah Darma berujar seperti tadi.
"Akhir bulan ini aku resign, kok." Ara memang sudah memutuskan beberapa hari yang lalu sesudah berdiskusi dengan orang tuanya.
"Minggu ini aja. Emang apa bedanya?"
Seorang Darma yang tidak pernah memiliki masalah finansial memang tidak akan tahu betapa pusingnya dihadapkan pada dua hal yang sama-sama penting seperti yang Ara rasakan sekarang.
"Aku ...." Ara tampak menimang apakah dia harus bercerita atau tidak.
"Kamu kenapa?" Untuk pertama kalinya Darma melihat kegelisahan di wajah gadis yang kerap berapi-api jika bersamanya.
Ara melengos, lalu membenarkan posisi duduknya agar lebih nyaman. "Seenggaknya kalau resign-nya akhir bulan aku masih dapet gaji full. Jadi, kalo emang beneran ga lolos tes aku masih punya pegangan sampai minimal dapat kerjaan baru."
"Nanti aku bantuin cari kerja."
Kalimat itu membawa secercah harapan untuk Ara. "Se-serius?"
"Iyalah. Masa kayak gini dibercandain. Lihat, tuh, muka kamu udah jelek banget."
Ara melempar pensil yang ada di depannya ke wajah Darma.
Seperti biasa, yang dilempar hanya tertawa. Setelah berkutat menyelesaikan beberapa soal dan membuat jadwal belajar untuk Ara, rasa lapar menyerang keduanya.
"Makan dulu, yuk. Makan masakannya ibuku mau?'
"Mau, dong. Yuk! Aku belum makan dari pagi."
Aroma sedap memenuhi indera penciuman saat Ara membuka tudung saji. Darma menelan ludah. Sudah lama sekali dia tidak makan makanan rumahan seperti itu.
"Enak banget masakannya ibumu, Ra," ungkap Darma seraya menyomot tahu bacem untuk yang ketiga kalinya.
"Iya, dong. Ibunya siapa dulu." Ara menyombong. "Btw, makasih, ya, Mas."
Sontak Darma segera menelan makanan di dalam mulutnya. "Panggil apa tadi?"
"Mas, hehe .... Bisa dimarahin aku kalau ketahuan manggil kamu pake nama langsung."
"Oh, jadi manggil gitu cuma biar nggak dimarahin?" Darma merajuk tidak suka. Yang mana terlihat menggelikan di mata Ara.
"Haish! Ya, nggak—" Ucapan Ara terhenti karena lagi-lagi pintu rumahnya diketuk seseorang.
Tanpa ba-bi-bu, gadis itu langsung beranjak dengan dengkusan kesal dari mulutnya. Mengganggu saja! Namun, rasa kesal itu mendadak hilang begitu Ara membuka pintu dan melihat siapa yang datang.
Sementara Darma yang sudah menghabiskan makanannya pun segera menyusul karena tak mendengar suara apa pun dari depan. "Siapa, Ra?" tanyanya mengalihkan perhatian dua orang yang masih berdiri membisu di depan pintu.
"Mas Elang ...."
jujur aku seneng omanya mati
🙈🙈🙈