Rachel sering mendapatkan siksaan dan fitnah keji dari keluarga Salvador. Aiden yang merupakan suami Rachel turut ambil dalam kesengsaraan yang menimpanya.
Suatu hari ketika keduanya bertengkar hebat di bawah guyuran hujan badai, sebuah papan reklame tumbang menimpa mobil mereka. Begitu keduanya tersadar, jiwa mereka tertukar.
Jiwa Aiden yang terperangkap dalam tubuh Rachel membuatnya tahu apa yang sebenarnya terjadi kepada sang istri selama tiga tahun ini. Begitu juga dengan Rachel, jadi mengetahui rahasia yang selama ini disembunyikan oleh suaminya.
Ikuti keseruan kisah mereka yang bikin kalian kesal, tertawa, tegang, dan penuh misteri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Santi Suki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 1
“Apa yang sedang kamu lakukan di kamarku?” teriak Rachel dengan suara penuh amarah, membuat suasana ruangan itu mendadak menegang.
Di hadapannya, berdiri seorang wanita berambut panjang bergelombang, tubuhnya membeku seperti tertangkap basah melakukan sesuatu yang terlarang. Hillary, sepupu dari suami Rachel, tersentak kaget.
Tangan Hillary masih menggenggam sesuatu sebelum buru-buru menyelipkannya ke dalam tumpukan kain di bagian bawah lemari pakaian. Gerak-geriknya mencurigakan, terlalu terburu-buru untuk bisa dianggap wajar.
Rachel memicingkan mata. Ia merasakan ada yang tidak beres. Suasana hatinya memburuk, dada bergemuruh seperti gendang perang dipukul bertalu-talu.
“Hillary, kamu sedang merencanakan sesuatu yang buruk, kan?” tuduh Rachel, seraya menarik lengan wanita itu agar menjauh dari lemari. Sentuhan dia sebenarnya ringan, hanya sebuah dorongan untuk membuat jarak, tapi reaksi yang muncul sungguh di luar dugaan.
“Aaaaa! Sakit!” jerit Hillary sekuat tenaga, seperti seorang aktris drama yang sedang bermain di panggung teater. Tubuhnya menjatuhkan diri ke lantai seolah habis dilempar keras, meski kenyataannya dia hanya menjatuhkan bokongnya dengan gaya berlebihan.
Rachel tertegun. Bibirnya terbuka tanpa suara. Ia tahu betul bahwa sentuhannya tadi tak cukup kuat untuk membuat orang kehilangan keseimbangan. Namun, Hillary sudah lebih dulu memainkan perannya dengan sempurna.
“Hillary!”
Suara tua yang dikenal Rachel membuatnya terkejut. "Grandma ...."
Nenek Hilda, wanita yang dulunya menyayanginya seperti cucu sendiri, kini berdiri di ambang pintu dengan tatapan panik. Ia segera melangkah cepat dan membungkuk membantu Hillary bangun. Tangan keriputnya menyentuh pundak wanita muda itu penuh kekhawatiran.
“Mana yang sakit?”
Rachel hanya bisa berdiri kaku. Dadanya terasa sesak. Kenangan masa lalu menyeruak—betapa hangatnya dulu pelukan nenek itu, betapa ia dulu dipanggil ‘Sayang’ dan selalu diberi perhatian. Namun, segalanya berubah sejak kejadian empat tahun lalu. Kini, ia seperti musuh yang layak dihukum tanpa pembelaan.
“Sekujur tubuhku sakit semua, Grandma,” ucap Hillary dengan tangisan palsu yang terdengar meyakinkan bagi siapa pun yang tidak tahu wataknya yang licik.
Beberapa pelayan tergopoh-gopoh memasuki kamar, wajah mereka bingung sekaligus waspada. Keributan di kamar dekat dapur sudah cukup membuat mereka berhenti dari aktivitas masing-masing. Mereka tahu, kamar itu bukan kamar biasa—itu adalah tempat beristirahat Nyonya Rumah Rachel Salvador. Kamar yang dulunya bekas gudang dapur, kini direnovasi menjadi ruangan kecil namun nyaman, walau masih terasing dari pusat rumah besar keluarga Salvador.
“Nyonya Besar Hilda, ada apa?” Anne, kepala pelayan yang terkenal galak namun patuh, muncul di ambang pintu.
“Anne, hukum Rachel karena sudah berbuat jahat kepada Hillary!” perintah Nenek Hilda, suaranya tegas dan penuh kemarahan yang entah sejak kapan tumbuh subur terhadap Rachel.
“Baik. Akan saya laksanakan!” jawab Anne tanpa tanya. Tangannya terampil merogoh saku celananya dan mengeluarkan cambuk kecil dari kulit yang biasa disimpan untuk mendisiplinkan pembantu.
Rachel melangkah mundur, wajahnya pucat. “Aku tidak melakukan apa-apa kepada Hillary. Dia yang su—AAAAA!” jeritnya tertahan saat cambuk pertama mendarat di lengannya.
Panas dan perih langsung menyebar seperti api menjilat kulit. Ia meringis, tapi sebelum sempat bicara, cambuk kedua menyusul.
“Beri dia dua puluh cambukan. Setelah itu kurung di dalam gudang dan keluarkan sebelum Aiden pulang,” kata Nenek Hilda dengan sorot mata membara. Amarahnya seperti tak bisa dibendung.
Hillary berdiri di sudut ruangan, berpura-pura sedih. Namun, tak bisa menyembunyikan senyum kecil yang terselip di sudut bibirnya. Senyum kemenangan. Dia berhasil lagi menyingkirkan Rachel dari panggung utama rumah ini. Hatinya dipenuhi dendam yang belum terbalaskan. Diam-diam dia menyukai sepupunya sendiri, Aiden.
“Aku tidak bersalah,” desah Rachel lirih, tubuhnya semakin lemah karena pukulan yang terus mendera. “Aaaaa!”
“Rasakan ini!” Anne, tanpa rasa iba, terus mengayunkan cambuk. Suaranya membelah udara, diiringi suara rintihan Rachel yang mengiris hati siapa pun—kecuali orang-orang yang tak lagi memedulikannya.
Di tengah kekacauan itu, Hillary malah mulai membicarakan pesta. “Grandma, Minggu depan akan ada pesta dari keluarga Bone. Pastinya akan banyak orang dari kalangan atas yang datang,” ucapnya dengan suara dibuat manja, seperti anak kecil yang menginginkan hadiah.
“Sepertinya Aiden dapat kartu undangan itu,” balas Nenek Hilda sambil mengernyit, berusaha mengingat.
“Benarkah, Grandma?” Mata Hillary berbinar. Ia sudah membayangkan gaun mahal dan sorotan tamu-tamu elite saat ia berjalan menggandeng Aiden.
“Iya. Kamu lihat saja kartu undangannya di ruang kerja Aiden,” ucap Nenek Hilda, kini tersenyum lembut—senyum yang dulunya milik Rachel, tapi kini telah direbut Hillary sepenuhnya.
Sementara itu, di lantai atas gedung pencakar langit milik Salvador Group, ruang rapat tampak tegang. Cahaya lampu gantung yang terang memantul di meja kaca panjang, sementara layar presentasi menampilkan grafik ekonomi global yang terus menurun. Aiden duduk di ujung meja, tubuhnya tegap tapi wajahnya menyiratkan kelelahan yang tak tertutupi.
Suasana ruangan hening, hanya terdengar dengung pendingin ruangan dan detak jarum jam yang terasa lebih lambat dari biasanya. Para direksi tampak gelisah. Keadaan perekonomian global memang sedang tidak stabil. Daya beli masyarakat melemah, saham naik-turun tanpa arah pasti, dan perputaran uang kian tersendat. Masalah demi masalah seakan menumpuk di pundak Aiden.
“Kita harus membuat terobosan terbaru untuk menjaring konsumen dari masyarakat tingkat menengah ke atas lebih banyak, dengan meningkatkan usaha pariwisata milik kita,” ujar Richard, asisten sekaligus orang kepercayaan Aiden, sembari menunjuk layar presentasi. “Kehidupan yang penuh tekanan membuat mereka haus hiburan. Mereka butuh pelarian, dan kita bisa menyediakannya.”
Akan tetapi ada suara lain segera membantah. “Justru kita harus fokus menjaring lebih banyak orang-orang dari kalangan atas,” timpal Tomy—sepupu Aiden lainnya sama seperti Hillary—dengan nada tajam. “Kita ciptakan produk baru yang harganya fantastis. Mereka suka eksklusivitas.”
Suara-suara pro dan kontra mulai saling bersahutan. Beberapa mengangguk setuju pada Richard, lainnya mendukung Tomy. Ketegangan memuncak. Ruang rapat yang seharusnya menjadi tempat lahirnya solusi kini justru berubah menjadi arena perdebatan. Tak satu pun mau mengalah. Ego dan ambisi masing-masing mengunci nalar mereka.
Waktu terus berlalu. Tiga jam kemudian, rapat ditutup tanpa keputusan jelas. Kertas-kertas bertebaran di meja, suara-suara terdengar lelah, dan Aiden menghela napas berat sambil menyandarkan punggungnya ke kursi.
“Sudah malam. Apa kamu akan pulang ke rumah?” tanya Richard pelan, memecah keheningan yang menyergap.
Aiden melirik ke luar jendela. Langit Jakarta yang kelam memantulkan cahaya lampu kota, tapi hatinya tetap terasa suram. “Rasanya aku malas pulang ke rumah. Setiap hari selalu saja ada aduan dari Grandma dan Hillary soal kelakuan Rachel,” keluhnya, nadanya getir.
Richard menatap sahabatnya dengan prihatin. “Kalau kamu sudah tidak mencintainya, sebaiknya ceraikan saja,” ucapnya lirih. Ia tahu, kata-kata itu seperti menabur garam di luka yang belum sembuh. Tapi melihat Rachel terus disalahkan, hatinya tidak tega.
“Mudah sekali kamu bicara,” bentak Aiden, suaranya meninggi. “Apa kamu tahu konsekuensinya jika aku menceraikan Rachel?!”
Richard mengangguk pelan. “Aku bicara sebagai temanmu. Untuk apa mempertahankan hubungan yang tidak membuat kamu bahagia? Bukankah sekarang Sandra sudah kembali?”
Nama itu seperti petir di siang bolong bagi Aiden. Sorot matanya berubah, menatap tajam ke arah Richard. Sandra. Wanita yang dulu mencintainya, lalu pergi meninggalkan luka yang dalam demi karier gemilang sebagai model internasional.
Waktu itu, Aiden sedang berada di titik terendah. Perusahaan keluarganya sedang terguncang, dan Sandra memilih pergi. Kepergiannya menyisakan kehampaan yang membuat Aiden hancur. Dalam keputusasaan, dia mengalami kecelakaan hebat—sebuah tragedi yang mempertemukannya dengan Rachel.
Rachel yang sederhana, tulus, dan penuh kasih sayang membuat Aiden merasa hidup kembali. Mereka menikah, dan sempat merasakan bahagia … tapi semua itu tak bertahan lama karena sebuah insiden.
Setahun belakangan ini Sandra kembali hadir. Wanita itu datang lagi setelah lima tahun menghilang, membawa senyum lamanya yang menawan dan hasrat untuk kembali ke pelukan Aiden.
“Lihat, muka kamu sudah seperti zombi! Pulanglah, istirahat. Abaikan saja masalah di rumah,” saran Richard, suaranya lembut namun tegas.
Aiden mengangguk pelan. Tubuhnya memang lelah, dan pikirannya sudah tak bisa fokus. Dengan langkah lunglai, ia tinggalkan kantor dan menyusuri malam menuju rumah. Di balik kesuksesan dan kemewahan hidupnya, ada kekosongan yang tak bisa diisi oleh harta maupun jabatan.
Sesampainya di rumah megah keluarga Salvador, suasana mencekam justru menyambutnya. Aiden belum sempat membuka sepatu, tapi bisik-bisik para pelayan sudah terdengar menusuk telinga.
“Lagi-lagi Nyonya Rachel berbuat ulah. Kenapa Tuan Aiden tidak menceraikannya saja?”
“Iya. Kalau aku jadi Tuan, sudah aku usir Nyonya Rachel dan menikah dengan Nona Sandra. Dia lebih cantik dan berkelas.”
“Nyonya besar juga lebih suka Nona Sandra. Keluarga Brown sepadan dengan keluarga Salvador.”
Aiden tidak bereaksi dan wajahnya datar. Dia tahu para pelayan itu gemar membandingkan Rachel dan Sandra, seakan-akan Rachel hanya bayangan buram pengganti Sandra. Baginya, itu semua omong kosong.
Begitu masuk ke kamar, Aiden langsung melempar jas, dasi, dan jam tangan ke atas kasur. Dia menjatuhkan tubuh ke ranjang, memijat kening yang berdenyut. Tubuhnya menjerit minta istirahat, tapi pikirannya masih diselimuti kemelut permasalahan perusahaan.
Sesuatu menarik perhatiannya. Laci nakas di samping ranjang terbuka sedikit. Hatinya langsung waspada. Perlahan, dia bangkit dan membuka laci itu sepenuhnya.
“Ada orang yang masuk ke kamarku,” gumamnya muram. Napasnya mulai berat.
Flashdisk merah—benda kecil itu menyimpan dokumen penting, termasuk dokumen pribadi yang tidak bisa jatuh ke tangan sembarangan. Sekarang, benda itu lenyap.
Dengan langkah cepat dan mata menyala, Aiden turun ke lantai bawah. Amarahnya mendidih, siap meluap kapan saja.
“Siapa yang sudah berani masuk ke kamarku?!” teriaknya lantang, suaranya bergema ke seluruh ruangan rumah.
Para pelayan langsung berlarian ke ruang utama, wajah-wajah mereka dipenuhi ketakutan. Jarang-jarang Aiden marah besar, apalagi kepada orang lain selain Rachel.
“Ada apa, Aiden?” tanya Nenek Hilda, mendekat dengan kerutan khawatir di wajahnya.
“Ada yang mengambil barang milikku yang disimpan di kamar,” jawab Aiden dengan nada dingin, penuh kontrol, namun mata yang menyala merah menunjukkan kemarahan yang tak bisa disembunyikan.
“Sebaiknya kamu tanya Rachel,” seru Hillary cepat, wajahnya polos namun mulutnya seperti racun. “Tadi aku lihat dia masuk ke kamar kamu dengan terburu-buru.”
Semua mata langsung menoleh pada Rachel. Wanita itu berdiri di sisi ruangan, tatapannya membara karena tidak terima dituduh.
“Apa?! Aku tidak masuk ke sana!” bentak Rachel, nada suaranya tinggi dan jelas. Namun, tidak ada yang memperdulikannya. Suara wanita itu seolah hanya bergema di dinding kosong.
***
Assalammualaikum, bertemu kembali dengan karya terbaru aku. Semoga suka.
pelajari tuuuu muka-muka penjilat.
mendengar srmua doa dan kesakitan Rachrl..
supaya mata Aiden tervelek pada pendeeitaan Rachrk selama ini..
😀😀😀❤❤❤❤