"Biar saya yang menikahi Dira, Om."
"Apa? Gak bisa! Aku gak mau!"
***
Niat hati menerima dan bertunangan dengan Adnan adalah untuk membuat hati sang mantan panas, Indira malah mengalami nasib nahas. Menjelang pernikahan yang tinggal menghitung hari, Adnan malah kedapatan berselingkuh dengan sahabatnya sendiri. Di saat yang bersamaan Rada—mantan kekasihnya, datang menawarkan diri untuk menjadi pengganti Adnan. Indira jelas menolak keras karena masih memiliki dendam, tetapi kedua orang tuanya malah mendukung sang mantan.
Apa yang harus Indira lakukan? Lantas, apa yang akan terjadi jika ia dan Rada benar-benar menjadi pasangan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Deshika Widya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mau Resign?
Semilir angin malam menyuapu lembut wajah Rada dan Indira yang tengah duduk di balkon hotel dengan pemandangan lampu-lampu kota yang tampak seperti ribuan kunang-kunang di kejauhan. Dua sosok itu duduk bersebelahan, tapi saling diam. Hanya memandangi langit dengan pikiran yang masih saja tertarik pada kejadian di beberapa jam sebelumnya.
Sebuah kejadian yang sukses membuat Rada dan Indira menanggung malu.
Beberapa jam lalu ....
Indira tersentak ketika Rada tiba-tiba menarik pergelangan tangannya dan mendorong pelan tubuhnya hingga membentur dinding dekat kamar mandi. Sontak jantung wanita itu berdetak tak beraturan.
"K-kamu mau ngapain, Rada?" tanyanya gugup. Mata wanita itu membulat. Rasa dingin seketika menjalar kala punggungnya menyentuh dinding.
Berbanding terbalik dengan Indira, Rada justru tampak santai. Bahkan ia makin mengikis jarak di antara wajah mereka.
"Apa yang aku takutin kejadian juga, kan? Mereka pasti selalu bawa-bawa nama si Adnan sebagai suami kamu. Padahal suamimu itu aku, Dira," ucapnya pelan, namun penuh penekanan.
Indira cepat-cepat menahan dada Rada dengan kedua telapak tangannya. "Ya … ya aku nggak tahu! Kan mereka yang sebut," ujarnya tergagap. "U-udahlah. Besok-besok pasti mereka gak akan sebut-sebut dia lagi," tambahnya, mencoba mengendalikan keadaan sembari mendorong dada Rada pelan.
"Kamu bisa jamin?" sahut Rada cepat.
Indira terdiam sejenak. Ia menunduk, lalu dengan ragu mengangguk.
Melihat itu, Rada tersenyum tipis. Ada semacam rasa puas yang tampak dari ekspresinya. "Oke. Tapi kalau sampai itu kejadian lagi, kamu bakal dapat hukuman."
"Hukuman?" alis Indira sontak terangkat tinggi. "Hukuman apaan, sih?"
Wajah Rada makin mendekat. Nafasnya kini terasa hangat di wajah Indira. Tatapan pria itu tak sedikit pun berpaling dari mata sang istri yang mulai gelisah. "Hukuman kayak gini," bisiknya.
Tanpa aba-aba, Rada langsung menunduk dan mengecup bibir Indira lama dan dalam. Lembut tapi penuh desakan. Meninggalkan gelombang panas yang merambat dari ujung kaki hingga ubun-ubun wanita itu.
Indira tak bisa berkata-kata. Pikirannya kosong. Ia hanya bisa memejamkan mata, membiarkan bibirnya dicuri begitu saja. Hingga akhirnya, sebuah suara dari arah dapur membuat keduanya tersentak.
"Rada? Dira? Kalian ngapain di depan kamar mandi?"
Dua manusia itu langsung memberi jarak pada tubuh masing-masing. Rada mengusap lehernya yang tak gatal. Sementara Indira membuang pandangan ke lain arah dengan pipi yang memerah.
"Rada? Dira?" panggil Weni lagi. Jujur saja, tadi yang ia lihat, anak dan menatunya hanya berdiri di depan kamar mandi. Karena itu ia bertanya dengan heran.
Indira melirik Rada sejenak, lalu cepat-cepat mengalihkan pandangan pada sang mama. "A-ah, gak ada, Ma. Tadi ... tadi aku mau anter Rada ke ... kamar mandi."
Weni bingung. Keningnya tampak mengkerut sembari menatap anak dan menantunya bergantian.
"Oh, ini, Ma ... celana sama sepatuku basah, gak sengaja kesiram air. Tuh!" Rada menunjukkan bagian ujung celananya yang basah pada sang mertua.
"Oh ...." Weni manggut-manggut mengerti. "Ya sudah, cepet bersihkan, sana! Teman-teman kalian masih ada di ruang tamu, lho. Gak enak kalau nunggu lama. Nanti mereka curiga."
Rada dan Indira hanya mengangguk. Keduanya benar-benar bisa bernapas lega setelah Weni tak ada lagi di depan mata.
"Syukurlah," gumam Indira sembari memegang dadanya. Beberapa saat kemudian, ia menoleh tajam pada Rada. "Ini semua gara-gara kamu, Rad! Makanya jangan nyosor-nyosor di sembarang tempat!" semprotnya dengan suara pelan, takut ada yang mendengar.
Pria tampan itu menghela napas pelan, lalu membalas tatapan istrinya penuh kelembutan. "Aku udah bilang kalau itu hukuman, Dira Sayang ...."
"Ya liat-liat tempat, dong! Kamu kira ini rumah isinya cuma kita berdua?"
Dengan perasaan yang masih kesal, wanita itu melangkah cepat menuju ruang tamu, meninggalkan Rada sendirian.
Huft!
"Salah lagi ...," gumam Rada frustasi.
***
Setelah cukup lama duduk tanpa suara di balkon kamar, akhirnya Rada menggeser tubuhnya perlahan. Memperkecil jarak dengan sang istri tercinta. Tanpa bicara, ia menjatuhkan kepala di atas paha wanita itu.
Gerakan mendadak tersebut membuat Indira sempat terkejut, tapi hanya sebentar karena ia berhasil mengendalikan diri. Namun, bibirnya masih saja terkunci.
Beberapa lama hanya ada keheningan di antara mereka. Sampai suara berat Rada berhasil memecahnya.
"Aku minta maaf kalau tadi udah keterlaluan dan cium kamu sembarangan," ucapnya pelan, lebih mirip seperti bisikan. "Tapi itu semua sebagai bentuk pengalihan emosiku, Dir."
Indira menoleh, tapi masih tak mengatakan apa-apa.
"Kamu tahu?" lanjut Rada lagi, napasnya terdengar berat. "Aku udah mati-matian nahan emosi waktu mereka tanya-tanya soal pernikahan sama kamu dan mengaitkannya sama si Adnan sialan!"
Mata Indira memejam sesaat. Bibirnya sempat terbuka, tapi tak satu pun kata keluar. Ia hanya menunduk pelan, menatap wajah Rada yang tampak tenang. Namun, ia yakin sang suami tengah menyembunyikan sesuatu di balik ketenangan itu.
"Okey. Mungkin harusnya aku emang gak izinin mereka dateng ke rumah. Maaf buat itu, karena udah bikin kamu gak nyaman." Akhirnya Indira berkata meski pelan.
Rada terdiam sejenak dengan tatapan yang tertuju pada mata istrinya. Kemudian, ia menggeleng pelan.
"Aku gak mempermasalahkan kehadiran mereka, Sayang. Karena mau di mana pun, yang mereka tahu suami kamu itu si Adnan, kan? Itu yang buat aku gak nyaman."
Indira menghela napas panjang. Entah mendapat dorongan dari mana, tangannya bergerak mengusap pelan kepala Rada yang masih berada di atas pahanya. "Ya terus harus gimana? Cuma ini satu-satunya cara yang bisa kita lakuin, Rad."
Hening kembali menyelimuti. Hanya suara malam dan embusan angin yang menemani mereka. Sampai akhirnya Rada kembali membuka suara setelah berpikir cukup lama.
"Apa ... kamu gak ada keinginan buat resign, biar status kita gak perlu disembunyikan lagi kayak gini?"
mau berpaa kali pun mah gasken kan halal'