”Elden, jangan cium!” bentak Moza.
”Suruh sapa bantah aku, Sayang, mm?” sahut Elden dingin.
"ELDENNN!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Felina Qwix, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Curang
"ELDEN?" Nimbuz terbelalak.
Sementara Elden hanya merespon singkat dengan senyuman maut ala kadarnya. Alisnya diangkat sedikit, seperti merespon Nimbuz dalam mode serius berbicara dengan Hero.
Melihat Elden datang, Hero sedikit panik. "Lo mau apa lagi? Sejak Devano lo hajar dan lo keluarkan dari Liston, dia depresi." Sinis Hero.
Elden tersenyum remeh. "Peduli gue apa? Dia sampah, selayaknya gue tendang."
Hero menatap wajahnya tak suka ke arah Elden.
"Lo-"
"Yah, adik lo kemakan mimpi bokapnya. Selamanya bokap dia mantan supir nyokap gue, bukan siapa siapa!" ketus Elden.
Hero mendekat hendak memukul Elden, tapi tangan pria itu ditangkis sigap oleh Elden. "Apa lo juga mau gue hajar setelah balapan ini? Ingat yang kalah, kasih salah satu diantara kalian. Gue bakalan haj ar dia sampe ma-ti." Ucap Elden penuh nanar.
Pria itu tak main-main menatap tak suka ke arah sosok pria di dekat Hero. Elden ingat wajah itu, wajah pria yang kata Moza adalah teman kecilnya. Elden pun menarik kerah baju Hero. "Gue mau hajar Redo, kalo nanti dia kalah." Ucapnya dengan nada sangat rendah tapi penuh nada meremehkan. Hero bergetar tangannya. Ingin membalas Elden tapi kalimat Elden selanjutnya membuatnya ciut.
"Mau gue aduin hubungan lo sama Cindy ke nyokap lo? Biar dia mati, hah?" Sarkas Elden.
"Elden! Gak, jangan! Cukup." Tegas Hero. Elden terkekeh mengejek, lalu dia tersenyum sinis.
"Okay, serahkan Redo ke gue setelah Genk Lo kalah nanti!" ancam Elden tegas.
Dia tau bobroknya keluarga Hero termasuk Devano dan Cindy yang menjadi saudara tirinya, dua duanya sama sama bobroknya.
Beberapa tahun lalu...
Semua cerita busuk itu dimulai.
Parman papanya Cindy bekerja di rumah besar Pitch. Pria itu adalah sosok yang berjasa membawa tubuh lemah Alexandro—kakeknya Elden ke rumah sakit sebelum nyawanya tak tertolong. Hingga saat pria tua itu sembuh, Parman meminta Alexandro mengangkatnya sebagai anak, dan dinamakan lah dia Jovano sebagai nama besarnya. Tapi, semua itu tak berlangsung lama setelah Parman bermain gila di bar bahkan mengonsumsi narkoboy sekaligus mengham ili seorang wanita dan memiliki anak Devano yang kelahiran tahunnya bersamaan dengan Elden.
Keluarga Pitch malu. Alexandro mengusir Parman. Nama Jovano tak lagi pantas disematkan uniknya yang hanya seorang supir pribadi. Yah, dia memang kurang tau terima kasih.
Jadi, Cindy dan Devano bukan saudara sekandung melainkan hanya sedarah. Karena Cindy adalah anak Parman dengan istri sah nya, bahkan Cindy setahun lebih tua daripada Devano dan Elden.
Namun, setalah kasus itu, istri sah Parman meninggal karena shock, hingga Parman harus menikah lagi dengan janda yang adalah orang tuanya Hero.
Hubungan itu berkesan rumit, bahkan lebih rumitnya Hero menjalin hubungan dengan Cindy. Keduanya terlibat hubungan serius bahkan lebih serius dari sekadar suami dan istri.
Kilas balik cukup sampai di sini dulu. Kembali ke waktu sekarang, Elden menatap dingin ke arah Redo, tatapanya penuh benci. Tak suka, Moza—istrinya masih berhubungan dengan pria ini, meski hanya karena Redo teman masa kecilnya, Elden benci itu.
Balapan pun dimulai. Mirna yang ditendang dari Liston berdiri di sana juga memegang bendera dengan motif catur. Tanda balapan dimulai.
BRAAAMMM!
Deru mesin meraung memecah malam. Empat motor melesat seperti peluru.
Redo langsung tancap gas di depan. Motornya ringan, manuvernya agresif. Ia hafal lintasan itu—tikungan mati, jalan berlubang, dan turunan tajam. Elden berada di posisi kedua, membuntuti dengan jarak tipis. Nimbuz dan Hero di belakang, wajah mereka tegang di balik helm.
“Redo di depan!” teriak Nimbuz lewat interkom, panik.
Elden tak menjawab. Tatapannya dingin, fokus. Ia justru menaikkan kecepatan, memaksa motor masuk di sudut ekstrem.
Tikungan pertama—Redo lolos mulus, dia juga curang, kakinya menendang knalpot milik Elden hingga saat di...
Tikungan kedua—Elden memaksa masuk terlalu dalam.
SKREEEKKK!
Ban Elden terselip. Ini karena ulah Redo.
Motor itu tergelincir. Tubuh Elden terlempar, menghantam aspal, berguling dua kali sebelum berhenti di pinggir lintasan.
“ELDEN!” teriak Niel panik dari kejauhan.
“El, ayo El!” suara Nimbuz bergetar. Dia menyemangati.
Redo sempat menoleh sekilas lewat kaca spion. Senyum kecil terbit di sudut bibirnya. Ia kembali fokus, lalu memimpin semakin jauh.
Semua orang mengira Elden telah selesai.
Tapi Elden bukan cowok biasa.
Ia mengerang, menahan sakit. Lututnya berdarah, sikunya robek, napasnya berat. Namun tangannya masih menggenggam setang.
“No…” gumamnya serak.
Elden berdiri tertatih, menyeret motornya. Dengan satu hentakan kasar, mesin kembali menyala.
BRAM!
Ia naik lagi.
Tanpa ragu.
Tanpa peduli dengan nyeri yang menyengat sampai tulang.
Penonton terdiam. Nimbuz sampai lupa bernapas.
“Gila… dia lanjut,” bisik Niel.
Elden memacu motor seperti orang kesurupan. Ia memotong jarak dengan brutal, mengambil jalur paling berbahaya—melewati jalan rusak yang bahkan Redo hindari.
Redo masih di depan. Terlalu percaya diri.
Masuk tikungan tajam terakhir, Redo menekan gas terlalu cepat. Ban belakangnya menghantam pasir tipis di pinggir lintasan.
BRAKK!
Motor Redo oleng.
Ia berusaha menguasai setang, tapi terlambat. Tubuhnya terpental, motornya menghantam pembatas, percikan api menyala sesaat sebelum semuanya sunyi.
“Redo!” Hero berteriak dari kejauhan. Pria itu di belakang Redo, dan berhenti untuk menolong Redo.
Elden melihatnya.
Pria itu tidak berhenti melajukan motornya.
Dia tidak mau mengurangi kecepatannya.
Dengan tatapan kosong dan rahang mengeras, Elden melewati tubuh Redo yang terkapar, lalu menembus garis akhir tepat saat bendera catur diangkat kembali.
Balapan selesai. Elden menang.
Suasana mendadak sunyi.
Lalu riuh kembali karena Jehuda tatap memimpin perlombaan akhirnya seperti bagaimana biasanya.
Elden berhenti jauh di depan, turun dari motor dengan napasnya yang berat. Darah mengalir dari lututnya, tapi senyum tipis—dingin dan dominan—terukir jelas.
Nimbuz dan Niel berlari ke arahnya.
“Lo menang…” suara Nimbuz bergetar. “Sial… lo beneran menang. Sorry, El. Tadi pagi, gue udah bersikap kasar ke lo, bahkan ke Moza."
Dengan segera, Elden menarik kerah baju Nimbuz.
"Moza? Lo apakan bini gue? Hm?"
Nimbuz memohon dengan tersenyum getir. "So-sorry, gue kira lo bakalan ninggalin kita, gue kira lo bakalan gak join balapan demi Genk kita. Lo tau kan kalo Redo itu masih ada hubungannya dengan Mo-"
Belum Nimbuz berbicara. Elden mengangguk, melepaskan cengkramannya di kerah bajunya Nimbuz. "Gue tau. Sekarang gue mau buat perhitungan matang sama itu orang!" ucapnya sinis.
Nimbuz hanya bisa diam. Dan selanjutnya,
Elden membuka helmnya seutuhnya. Matanya mengarah ke Redo yang masih tergeletak, dikelilingi orang-orang yang tengah panik.
Pria itu tersenyum kecil.
“Perjanjian tetap perjanjian,” ucapnya lirih, nyaris berbisik. Dia mendekati Hero. Tatapan Elden mengeras. Penuh dendam.
“Serahkan Redo ke gue.”
Hero sontak membeku. Kakinya gemetar.
lah kok bisa jadi jovano itu loh /Hammer/