NovelToon NovelToon
Runaways Of The Heart

Runaways Of The Heart

Status: sedang berlangsung
Genre:Identitas Tersembunyi / CEO / Percintaan Konglomerat / Cinta pada Pandangan Pertama / Mafia / Cintapertama
Popularitas:193
Nilai: 5
Nama Author: Dana Brekker

Darren Myles Aksantara dan Tinasha Putri Viena sama-sama kabur dari hidup yang menyesakkan. Mereka tidak mencari siapa pun, apalagi cinta. Tapi pada malam itu, Viena salah masuk mobil dan tanpa sengaja masuk ke lingkaran gelap keluarga Darren. Sejak saat itu, hidupnya ikut terseret. Keluarga Aksantara mulai memburu Viena untuk menutupi urusan masa lalu yang bahkan tidak ia pahami.

Darren yang sudah muak dengan aturan keluarganya menolak membiarkan Viena jadi korban berikutnya. Ia memilih melawan darah dagingnya sendiri. Sampai dua pelarian itu akhirnya bertahan di bawah atap yang sama, dan di sana, rasa takut berubah menjadi sesuatu yang ingin mereka jaga selamanya.

Darren, pemuda keras kepala yang menolak hidup dari uang keluarga mafianya.

Viena, gadis cantik yang sengaja tampil culun untuk menyembunyikan trauma masa lalu.

Genre : Romansa Gelap

Written by : Dana Brekker

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dana Brekker, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Ch 28

Setibanya di Lottie Mart, Darren langsung mendorong troli tanpa basa-basi. “Ambil aja yang kamu mau sekalian. Buat kamu juga.”

“Hah? Buat aku?”

Pemuda itu hanya fokus pada aneka kios makanan yang berderet di depan pintu utama Supermarket.

Melihatnya Viena lantas tersenyum tipis. “Aku cuma numpang semalam, Darren. Gak enak kalau sampai dibeliin.”

“Bilang makasih aja.”

“Darren—”

“Ambil.” Tatapannya singkat, tapi cukup tajam untuk mengakhiri perdebatan.

Akhirnya Viena menyerah. Ia mulai memasukkan beberapa barang setelah mereka masuk, roti tawar, selai stroberi, susu almond, sampai peralatan mandi seperti pasta gigi yang biasa ia pakai. Meskipun rasanya kelewat sungkan bagi gadis itu, nyatanya Darren mengikuti dari belakang sambil menambahkan barang-barang lain tanpa banyak bicara, kopi bubuk, sereal, keripik kentang, dan satu kotak coklat.

“Kamu suka cokelat?” tanya Viena sambil melihat Darren meletakkan cokelat itu di troli.

“Buat kamu.”

“Kenapa harus Silverking?”

“Karena yang lain udah habis.” Ia menatap label harga, lalu menambahkan dua kotak lagi. “Anggap aja bonus.”

Viena cuma manyun sambil merapikan kacamata yang sebenarnya sudah rapi sedari tadi. Kalaupun begitu, beruntung suasana yang tadinya kikuk perlahan mencair, meski sedikit demi sedikit. Mereka berjalan melewati lorong-lorong berisi rak deterjen, buah-buahan segar, hingga pendingin daging. Darren sempat berhenti di bagian makanan beku, mengambil ayam, daging sapi, bahkan aneka seafood.

Hingga berhentilah dua sejoli itu di lorong khusus minuman kemasan seperti teh dan kopi. Viena berjongkok sambil memilih, membandingkan dua merek berbeda dengan rasa yang sama, sementara Darren berdiri dengan trolinya tidak jauh dari gadis itu. Pemuda itu nyatanya tidak hobi meminum kopi, apalagi teh. Kecuali saat dirinya benar-benar memerlukan kafein, seperti tadi pagi.

“Kamu belum harus jawab sekarang soal TRMG,” kata Darren tanpa menatap Viena langsung. Membersihkan tenggorokan kala menanti jawaban. Kemudian melirik ibu-ibu yang kebetulan lewat di lorong itu, menunggunya pergi sebelum lanjut. “Kalau kamu nggak mau ikut rencana itu, bilang aja. Aku nggak maksa.”

Gadis itu menoleh sambil memegang kedua kotak tadi. Ada senyuman samar, bukan yang terlalu manis, justru yang membuat Darren ingin berpaling karena rasanya terlalu jujur.

“Kamu pikir aku bakal terpaksa?” balasnya. “Aku emang suka musik dari kecil.”

“Nggak semua hal yang kamu suka disetujui keluarga kamu, kan?”

Segera saja Viena melepaskan tawa tanpa humor setelah mendengar tebakan Darren. “Yah… begitulah hidup.”

Darren menggeser troli, berjongkok di samping gadis itu, pura-pura sibuk melihat barisan minuman yang terlihat asing baginya. “Kalau kamu mau mundur, seriusan, bilang aja.”

“Kenapa kamu jadi plin-plan gitu?” pertanyaan jujur Viena setelah memutuskan ke salah satu produk, sayangnya itu berada di rak paling atas. Satu kotak teh hijau yang menarik minatnya, walaupun dia tahu dirinya terlalu pendek untuk menggapainya. “Biasanya kamu lebih… .”

Cantik.

Kesimpulan gila terbesit di benak Darren kala suasana sedang serius-seriusnya. Hoodie-nya dipakai oleh Viena terlihat jauh lebih gombrang, melewati batas pinggang gadis itu. Padahal bundar kacamata gadis itu kemilau di bawah setiap lampu supermarket. Nyatanya paras gadis itu mau atau tidak, tanpa kamuflase apapun tetap mampu menyihir pemuda itu tanpa kenal ampun.

“Kedengarannya bakal egois kalau aku maksa kamu masuk dunia yang bahkan aku sendiri nggak yakin bakal beres.”

Viena menggigit bibirnya sebentar. Pandangannya mencari-cari hal yang tidak nampak di lantai. Ingin berdiri dan berjinjit untuk mengambil teh tadi namun obrolan mereka terlampau serius. “Emangnya TRMG itu bisa dipercaya nggak, sih?”

Pemuda itu menatapnya. Tanpa berkedip.

“Entah.”

“Entah?” Viena mengernyit.

“Aku nggak suka berspekulasi,” papar Darren, nada datarnya bukan dingin, tapi jujur. “Orang suka ngomong panjang lebar soal ‘kata orang’, soal kemungkinan, soal ketakutan. Aku nggak punya waktu buat itu.”

“Kalau aku mikir semua hal yang bisa berdampak buruk, aku nggak bakal melangkah sama sekali,” pungkasnya.

Viena hanya bisa terdiam karena itu. Ada sesuatu yang mencengkeram dadanya begitu tegas. Menampar sesuatu yang pernah ia yakini. Tapi apa?

Sementara Darren melanjutkan sambil mengambil satu pak kopi yang jelas-jelas tidak akan dia lempar ke dalam troli.

“Terus satu hal lagi… aku nggak lagi bisa percaya manusia.”

Tentu mendengar itu Viena menaikan setengah alis dan secara spontan menatap mata pemuda itu secara langsung. “Termasuk aku?”

Darren membalas tatapannya, lama. Begitu lama, sampai Viena merasa supermarket yang ramai itu menyusut ke satu titik. Lantas pemuda itu berdiri lebih dulu, mengambil satu kotak the hijau yang sedari tadi bertengger di rak tertinggi, lalu memberikannya pada Viena yang masih berjongkok sambil mendongak ke arahnya. Gadis itu mengamatinya. Menanti jawabannya dan dia tahu. Meski di dalam hatinya, seketika bertanya, “Bagaimana dia bisa tahu aku menginginkan teh ini?”

“Nggak percaya manusia bukan berarti aku menganggap semua orang sama. Aku lebih percaya langkahku sendiri.”

Gadis itu lantas ikut berdiri.

“Terus kenapa kamu narik aku buat ikuti langkahmu?” Viena benar-benar ingin tahu.

Darren mengangkat bahu sedikit. Pandangan menyapu langit-langit, menimbang semuanya. “Aku nggak percaya manusia. Tapi aku menghargai orang yang berani jalan berdampingan meski dunia bilang itu bodoh.”

Ia melanjutkan dengan menatap teduh Viena. “Kalau kamu berhenti percaya, itu hak kamu. Tapi kalau kamu tetap di sini… aku bakal pastiin, kalau kamu bukan cuma partner buat aku.”

Sederhana.

Tidak puitis.

Tapi manis.

Adapun justru karena itu, Viena merasa seluruh rasa hormatnya naik dua tingkat sekaligus. Perasaan serupa yang muncul seperti waktu di restoran malam itu.

Ia mengembuskan napas, mencoba senyuman yang saking samarnya sampai tidak terlihat lengkungnya, lalu menaruh kotak teh hijau tadi ke dalam troli.

“Ya udah. Kita jalanin aja dulu. Baru lihat hasilnya.”

Dua jam sudah mereka lewati tanpa sadar. Asiknya bukan main ketika mereka menemukan sebuah taman bermain semua umur di dalam supermarket. Darren terlihat biasa aja dengan hal itu, namun sebaliknya dengan Viena.

Area family zone dengan lampu warna-warni dan suara mesin permainan saling bersahutan, Darren tidak langsung percaya tempat semacam itu bisa berada di tengah supermarket. Ramai sekali tempat ini.

“Baru tahu ada tempat kayak gini di dalam supermarket?” gumamnya seraya menatap sekeliling. Ada arena lempar bola, mini carousel, aneka game alien shooter dan street fighter, sampai claw machine yang berisi boneka raksasa.

“Indonesia tuh seru. Di satu tempat bisa belanja, makan, main, semua ada.” Terlihat sekali Viena antusias dengan euforia tempat itu.

“Bisa juga jadi tempat ngebuang duit,” balas Darren, menatap papan skor digital yang berkelap-kelip. Namun tak lama kemudian ia membeli beberapa koin dari dispenser dan meletakkannya di tangan Viena. “Coba yang itu.”

“Hah? Aku?”

“Kamu pikir aku mau main tembak-tembakan kayak anak kecil?” Ia menatapnya datar tapi senyum kecil muncul di ujung bibir.

Ketara sekali si kacamata menyunggingkan senyuman paling tulusnya. “Bilang aja kalau kamu takut kalah sama aku!”

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!