NovelToon NovelToon
Misteri Obat Kuat di Dompet Suamiku

Misteri Obat Kuat di Dompet Suamiku

Status: sedang berlangsung
Genre:Pelakor jahat / Pelakor / Selingkuh
Popularitas:224
Nilai: 5
Nama Author: Caracaramel

Anton selalu pulang dengan senyum hangat, perhatian yang tak berubah, dan alasan pekerjaan yang terdengar sangat wajar. Terlalu wajar, hingga Nayla tak pernah merasa perlu meragukannya.

Namun ketika satu demi satu kejanggalan kecil muncul, Nayla mulai dihadapkan pada kenyataan pahit. Pengkhianatan tak selalu datang dari sikap yang dingin, melainkan dari kehangatan yang dijaga dengan terlalu rapi.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Caracaramel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 25

Rumah Lestari malam itu terasa jauh lebih sunyi dari biasanya. Vina sudah berada di kamarnya, mengerjakan tugas sambil sesekali membuka ponsel. Lestari duduk sendirian di ruang tengah, memandangi layar ponselnya yang sejak tadi tak menunjukkan notifikasi apa pun dari Anton.

Tadi malam, Anton memutuskan hubungan.

Begitu saja. Seakan semua yang mereka lalui tidak berarti apa-apa. Memang Anton menelponnya lagi, namun dia tidak mau membahas apapun dan menolak panggilan masuk dari Anton. Tapi, sekarang dia menyesal karena melewatkan telepon Anton begitu saja. Karena, sekarang Anton sama sekali tidak mau menghubunginya lagi.

Lestari menggertakkan giginya. “Kamu kira kamu bisa lepas begitu aja, Mas?” gumamnya marah.

Bantal sofa dia lempar kuat ke lantai. Tubuhnya tegang, amarahnya menguasai. Ia merasa dipermalukan. Merasa dikhianati. Merasa dibuang.

Anton memilih kembali ke istrinya. Setelah semua pengorbanan yang dia berikan. Setelah semua malam mereka bersama Tidak. Dia tidak akan diam.

Dia bangkit, masuk ke kamarnya, mengambil sebuah kotak kecil di dalam lemari. Kotak perhiasan tipis berwarna hitam. Saat dibuka, tampak beberapa kartu hotel yang dia simpan, foto-foto dirinya bersama Anton, termasuk video yang sempat dia rekam diam-diam.

Beberapa di antaranya memang hanya sekilas. Tetapi cukup. Bahkan Lebih dari cukup.

“Kalau dia pikir aku nggak berani, dia salah besar.”

Lestari kembali menutup kotak itu rapat-rapat, lalu menyembunyikannya di dalam laci bawah meja rias. Napasnya kini stabil, bukan karena tenang, tapi karena kesadaran bahwa dia baru saja mengambil keputusan. Dia akan bertindak dengan pelan tapi rapi.

Tidak langsung menyerang, tapi memastikan Anton tidak bisa mengabaikannya.

***

Keesokan harinya, di sekolah, Dea berjalan bersama Vina sambil memegang tas di satu tangan dan kotak bekalnya di tangan lain. Mereka baru selesai jam olahraga, masih ngos-ngosan sedikit.

“Itu jam baru, De?” tanya Vina sambil memperhatikan jam di pergelangan Dea.

Dea mengangkat tangannya dan tersenyum.

“Iya. Mama yang kasih pas pulang kemarin.”

“Eh? Serius? Sama dong sama punyaku!” Vina langsung menyibak lengan seragamnya dan menunjukkan jam yang sama persis.

Dea membesar-besarkan mata.

“Loh! Sama persis? Eh, lucu banget. Kembaran gitu.”

“Iya lah,” Vina terkekeh. “Tapi punyaku bukan dari mamah, sih. Katanya dari pacarnya.”

Dea langsung berhenti melangkah.

“Hah? Mamah kamu punya pacar? Sejak kapan?”

“Nggak tahu,” jawab Vina santai. “Aku juga belum pernah ketemu. Tapi mamah bilang pacarnya yang beliin jam ini. Ya udah, aku terima aja. Bagus juga jamnya.”

Dea tersenyum kembali.

“Ya bagus dong, Vin. Berarti mamah kamu happy.”

“Iya. Ya walaupun aku nggak tahu dia siapa, hehe.”

Dea terkekeh, lalu memandang jam mereka berdua.

“Keren sih. Kita jadi kayak punya jam geng gitu.”

Vina menoyor pelan bahunya.

“Ih, lebay. Tapi iya deh, lucu.”

Keduanya tertawa bersama sambil berjalan masuk ke kelas sebelum bel berbunyi.

***

Malam harinya, makan malam berlangsung cukup tenang. Anton pulang lebih cepat dari biasanya. Nayla menyiapkan ayam kecap dan sayur sop, menu sederhana, tapi cukup menghangatkan suasana.

Dea duduk di kursinya sambil mengaduk nasi.

“Pa, Ma, tadi Vina punya jam tangan yang sama kayak Dea,” katanya sambil menunjukkan pergelangan tangannya.

Anton, yang sedang meraih gelas, mendadak berhenti.

“Oh iya?” jawab Nayla, tersenyum tipis.

“Iya! Ternyata sama persis. Seru banget,” lanjut Dea antusias.

“Dan lucunya lagi, kata Vina, jam itu dikasih sama pacar mamanya.”

Anton yang baru saja meneguk air langsung terbatuk keras.

“Kh— khh!”

Dea menoleh kaget.

“Papa nggak apa-apa?”

Anton menggeleng cepat sambil mengusap mulut.

“Ke—keselak dikit. Nggak apa-apa.”

Nayla menoleh pelan ke arah suaminya.

Tatapannya hanya sebentar. Namun cukup untuk membuat Anton menegang.

Senyum Nayla kemudian mengembang, tenang, lembut, tapi penuh makna tajam yang hanya Anton tahu arah tusukannya.

“Wah, bagus dong ya, De,” ucap Nayla sambil mengambil sayur.

“Artinya, jam itu diberikan dengan tulus. Dan biasanya kalau hadiah itu diberikan sama orang yang spesial, pasti pilihannya sangat dipikirkan dan sangat diperhatikan.”

Anton langsung kaku di tempat. Sendoknya berhenti di udara. Wajahnya kehilangan warna.

Dea tidak merasakan apa-apa, dia hanya mengangguk sambil tersenyum.

“Iya, Ma. Tapi, kok bisa sih bisa sama banget. Jam tangan aku dari Papa, Jam tangan Vina dari pacar Mamanya. Berarti selera Papa sama pacarnya Mama Vina benar-benar mirip banget."

“Oh, tentu,” Nayla menggigit senyum, lalu menambahkan dengan nada datar penuh sindiran halus,

“Kadang memang ada orang yang seleranya sama. Tapi, kadang ada juga yang biasanya seleranya bagus, tiba-tiba jadi jatuh banget kualitas seleranya. Untung aja, Papa Seleranya bagus. Ya kan, Pa?"

Anton menegakkan tubuhnya pelan.

“Ya… ya… begitu.”

Nadanya goyah.

Nayla tidak menatapnya lagi. Dia kembali menikmati makanannya seolah tak terjadi apa-apa. Dea tidak menyadari perang dingin yang baru saja terjadi di atas meja makan. Dia tetap makan sambil berbicara tentang kegiatan sekolah.

Namun Anton tahu, Nayla menegaskan sesuatu. Nayla bukan perempuan yang sebodoh itu. Dia tahu segala tanda tentang jam tangan itu bukan diberikan pada sembarang orang.

Sesudah makan malam selesai, Dea kembali ke kamarnya. Anton membereskan meja makan bersama Nayla, tapi atmosfer di antara mereka seperti kaca tipis. Terasa rapuh, sunyi, dan siap pecah kapan saja.

Di balik semua itu, jauh di sudut kota yang sama, Lestari duduk di ruang tengah rumahnya sambil memainkan jam tangan kembar milik Vina. Wajahnya puas. Jam tangan itu memang Anton yang membelikannya, tapi baru hari ini Lestari memberikannya pada Vina.

“Harusnya dari kemarin-kemarin aku kasih jam tangan ini ke Vina," gumamnya.

“Tapi, bagus deh. Biar Mas Anton juga sadar, dia juga pernah anggap Vina seperti putrinya."

Dia tersenyum kecil sambil melihat layar ponselnya. dia teringat, jika Anton selalu mengirimkan kata-kata manis setiap malam untuknya sebelum tidur. Tidak apa, jika sekarang dia tidak mengirimkannya lagi. Tapi, itu bukan berarti Lestari mau menyerahkan Anton seutuhnya pada Nayla, setelah semua yang mereka lalui bersama.

"Aku mau memperbaiki rumah tanggaku bersama Nayla."

Kalimat Anton masih terngiang di kepalanya. Lestari tersenyum miring dan merasa hatinya panas. Dia tidak terima dengan apa yang Anton katakan.

"Memperbaiki rumah tangga?" Lestari tertawa kecil mengejek. "Kamu mau memperbaiki rumah tangga, tapi aku nggak akan biarkan rumah tangga kamu baik-baik aja. Kamu harus tetap jadi milikku, Mas. Vina harus punya Ayah!" geram Lestari. Dia merasa Anton sebenarnya masih mencintainya, namun hanya terhalang dengan Nayla.

"Aku bakal dapatin kamu lagi. Apapun itu caranya, sampai kamu ninggalin istri kamu itu!"

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!