Elara dan teman-temannya terlempar ke dimensi lain, dimana mereka memiliki perjanjian yang tidak bisa di tolak karena mereka akan otomatis ke tarik oleh ikatan perjanjian itu itu sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sunny Rush, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26
Langit merah menyala, dan dari balik altar leluhur, angin panas berhembus membawa aroma tanah terbakar. Api yang disebut Api Abadi mulai menyala, seolah merespons keberadaan Elara.
Mereka berlima berdiri terpaku, merasakan hawa luar biasa kuat yang muncul dari dalam lingkaran sihir purba di tengah ruangan.
Dari sana, muncul sosok perempuan berjubah hitam dengan rambut panjang berwarna perak wajahnya teduh, tapi aura yang terpancar darinya seperti badai.
“Kau akhirnya kembali, Elara Sheraphine.”
Suara itu menggema lembut tapi mengguncang dada.
Elara melangkah maju dengan kening berkerut. “Aku... kenal kau?”
Perempuan itu tersenyum. “Tidak secara sadar. Tapi darahmu tahu.”
Dia mengangkat tangannya dan nyala api di sekitar mereka berubah menjadi semburat biru keunguan, membentuk kilasan gambar di udara.
Terlihat seorang wanita paruh baya, berdiri di tengah medan perang. Di sampingnya, seorang pria tinggi dengan mata merah menyala leluhur klan iblis itu sendiri.
“Aku…?” bisik Elara.
Perempuan itu menatapnya lembut. “Ibumu, Lyvianne, adalah penjaga terakhir klan iblis. Ia jatuh cinta pada pemimpin leluhur yang tak seharusnya memiliki hati. Dari cinta mereka lahirlah kau anak dari api dan kegelapan, pembawa keseimbangan yang seharusnya tidak pernah ada.”
Brian, yang berdiri di samping Elara, terdiam. “Kau... keturunan langsung klan iblis?”
Elara menatap tangannya yang mulai memunculkan tanda merah samar. “Klan iblis…? Tapi aku…”
Mira menggenggam tangannya. “El, napas dulu, kamu pucat banget.”
Perempuan berjubah hitam itu menatap mereka semua.
“Dua puluh tahun lalu, saat perang antar klan meledak, ada ramalan bahwa anak hasil penyatuan darah iblis dan manusia akan menjadi penyebab kehancuran dunia sihir. Mereka takut padamu. Maka, agar kau tidak dibunuh… kau dikirim ke dunia manusia, dibuat lahir kembali sebagai bayi, tanpa ingatan, tanpa sihir. Tapi takdir tak bisa dilawan , sekarang darahmu mulai bangkit lagi.”
Elara menunduk, napasnya berat.
“Jadi selama ini... aku cuma alat? Sesuatu yang disembunyikan karena mereka takut?”
Dorion, yang biasanya santai, kini menatapnya dalam. “Bukan alat, Elara. Tapi kunci.”
“Kunci apa?” tanya Elara dengan nada serak.
Brian menjawab pelan, suaranya terdengar menahan emosi. “Kunci yang bisa menghancurkan batas antara klan iblis dan dunia manusia.”
Elara menggeleng cepat. “Gak mungkin! Aku gak mau jadi penghancur apa pun! Aku cuma mau hidup normal!”
Suara perempuan berjubah hitam kembali menggema, tenang namun tegas
“Tidak ada yang bisa hidup normal setelah darahmu terbangun, anakku. Tapi kau masih bisa memilih… apakah kau akan menjadi cahaya bagi kegelapan, atau kegelapan yang menelan cahaya.”
Mira memeluk Elara erat, berusaha menenangkannya.
Dorion berdiri di belakang mereka, wajahnya lebih serius dari biasanya.
“Kalau benar Elara adalah keturunan leluhur… maka semua perubahan ini bukan kebetulan. Dunia duplikat, ritual tolak bala, dan perang energi itu semuanya untuk membangunkan darahnya.”
Lysandra menatap Elara dalam-dalam, suaranya pelan namun getir.
“Jadi… yang dicari para tetua bukan penghianat. Tapi kau, Elara.”
Suasana mendadak sunyi.
Api di altar mulai berputar liar, dan simbol klan iblis muncul jelas di pergelangan tangan Elara garis merah berbentuk seperti api yang hidup.
Brian melangkah mendekat, menatap tanda itu dengan ekspresi sulit dijelaskan.
“Jadi… alasan kenapa kamu bisa masuk ke wilayah iblis dulu... karena tempat ini memang milikmu.”
Elara mengangkat pandangan, matanya basah tapi juga berkilat.
“Kalau memang begitu… aku akan cari tahu semuanya. Aku akan tahu siapa yang mencoba memanipulasi pernikahan itu, dan kenapa mereka mau menghancurkan dunia sihir. Aku gak akan kabur lagi.”
Dorion tersenyum kecil. “Nah, itu baru Elara yang aku kenal ,keras kepala dan gak tahu takut.”
“Diam kamu,” sahut Elara, tapi kali ini tanpa marah.
Mira hanya tersenyum haru. “Kalau kamu mau jalan ke neraka, El, pastikan kami ikut juga.”
Lysandra memutar matanya, “Kalian benar-benar gila…”
Brian menatap Elara lama, lalu berkata pelan, “Baiklah. Kalau kamu jatuh… aku gak akan biarkan kamu sendirian.”
Elara menatap mereka semua, matanya berkilau di bawah nyala api abadi.
“Kalau begitu, ayo… cari kebenaran ini sampai akhir.”
Api abadi menyala lebih terang seolah menjawab sumpah mereka.
Dan di kejauhan, bayangan seseorang menyerupai Arsen menatap mereka diam-diam dari balik kabut merah.
Malam turun perlahan di tempat leluhur klan iblis. Api abadi yang tadi menyala kuat kini hanya berpendar lembut, menyalakan cahaya jingga di dinding batu kuno. Angin yang berhembus dari celah altar membawa aroma lembap dan suara desir halus, seperti bisikan masa lalu.
Mira, Dorion, Brian, dan Lysandra telah beristirahat di sisi ruangan tertidur setelah hari yang berat.
Hanya Elara yang belum bisa memejamkan mata.
Ia duduk di depan altar batu besar itu, menatap api biru yang menari pelan di depannya.
“Jadi... ini rumahku, ya?” bisiknya lirih.
Cahaya dari nyala api tiba-tiba bergetar, lalu dua sosok mulai terbentuk perlahan dari asap dan cahaya sosok perempuan berambut perak panjang dengan mata teduh, dan pria berwajah tegas dengan tanduk kecil di pelipisnya.
Keduanya memancarkan kehangatan yang aneh, seperti pelukan yang lama hilang.
Elara menatap terpaku. “Ibu... Ayah?”
Sosok perempuan itu tersenyum lembut. “Kau tumbuh begitu cantik, Elara.”
Suara itu lembut sekali, seperti nyanyian.
Air mata langsung mengalir di pipi Elara. “Kenapa... kenapa kalian meninggalkan aku? Kenapa aku harus hidup di dunia manusia sendirian tanpa tahu siapa aku sebenarnya?”
Sosok pria itu melangkah sedikit ke depan. “Karena itu satu-satunya cara agar kau tetap hidup. Dunia ini... tidak siap untuk menerima anak seperti dirimu.”
“Anak seperti aku?” Elara mengulang dengan getir. “Keturunan klan iblis? Kunci kehancuran? Kalian tahu bagaimana rasanya tumbuh tanpa tahu siapa diri sendiri?!”
Sosok ibunya menunduk, mata lembutnya berkaca-kaca.
“Kami tahu. Tapi kami percaya, suatu hari kau akan kembali... bukan sebagai alat, tapi sebagai harapan.”
Elara tertawa pahit, menatap tanah. “Harapan? Dunia yang kalian lindungi itu hampir hancur karena aku!”
Ayahnya menatapnya dalam, suaranya berat namun tenang.
“Tidak, Elara. Dunia hampir hancur karena ketakutan manusia dan iblis yang tidak bisa berdamai dengan kekuatanmu. Mereka tidak pernah mengerti apa arti keseimbangan.”
Hening.
Elara mengusap air matanya, tapi bahunya bergetar. “Aku bahkan gak tahu siapa diriku. Aku cuma... ingin pulang.”
Ibunya mendekat, berlutut di depan Elara. “Kau sudah pulang, sayang. Tapi rumahmu bukan hanya tempat... rumahmu adalah mereka.”
Dia menoleh ke arah Mira, Dorion, Brian, dan Lysandra yang sedang tertidur di kejauhan.
“Orang-orang yang memilih tetap di sisimu meski tahu kebenaranmu.”
Elara terdiam lama. Air matanya jatuh lagi, tapi kali ini bukan karena marah.
“Aku takut, Bu. Kalau aku kehilangan kendali... kalau aku berubah jadi sesuatu yang menakutkan...”
Sosok ayahnya meletakkan tangannya di kepala Elara, seperti membelai lembut.
“Kalau itu terjadi, ingatlah ini, Elara darah leluhur di tubuhmu bukan kutukan. Itu perisai. Ia melindungimu, bukan untuk menghancurkanmu.”
Elara menatap mereka berdua, suaranya bergetar.
“Aku rindu kalian...”
Ibu dan ayahnya tersenyum bersamaan.
“Kami selalu bersamamu. Di setiap api yang kau nyalakan... dan setiap keberanian yang kau tunjukkan.”
Cahaya di tubuh mereka mulai pudar perlahan, kembali menjadi serpihan nyala api yang beterbangan di udara.
Elara berusaha menahan, tangannya terulur. “Jangan pergi dulu...!”
Suara lembut ibunya terdengar samar.
“Kau sudah cukup kuat untuk berjalan sendiri, Elara Sheraphine. Kini, waktunya kau menentukan siapa dirimu sebenarnya.”
Dan dalam keheningan itu, hanya nyala api biru yang tersisa, menari di hadapan Elara seperti hati yang masih berdenyut di dalam kegelapan.
Elara menatapnya lama, lalu berbisik pelan,
“Terima kasih... untuk segalanya.”
Ia menutup matanya, membiarkan air mata terakhir jatuh. Untuk pertama kalinya sejak ia datang ke dunia sihir ini, Elara benar-benar merasa... pulang.