Delia Aurelie Gionardo hanya ingin mengakhiri pernikahan kontraknya dengan Devano Alessandro Henderson. Setelah satu tahun penuh sandiwara, ia datang membawa surat cerai untuk memutus semua ikatan.
Namun malam yang seharusnya menjadi perpisahan berubah jadi titik balik. Devano yang biasanya dingin mendadak kehilangan kendali, membuat Delia terjebak dalam situasi yang tak pernah ia bayangkan.
Sejak malam itu, hidup Delia tak lagi sama—benih kebencian, dendam, dan rasa bersalah mulai tumbuh, mengikatnya kembali pada pria yang seharusnya menjadi "mantan" suaminya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nadia_Ava02, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MBMS - Bab 4 Klarifikasi
Begitu Devano pergi, Delia langsung berhambur ke arah Alvan.
"Van, kamu tidak apa-apa?" tanyanya penuh rasa bersalah.
Alvan menggeleng pelan sambil mengukir senyum tipis. "Tidak."
"Biar aku bantu berdiri," Delia meraih lengan Alvan dan membantunya bangkit.
"Kita pulang sekarang?" tanya Delia lagi.
Alvan mengangguk setuju. Keduanya pun meninggalkan kafe tersebut.
"Van, aku minta maaf…" ucap Delia. Ia merasa perlu bicara seperti itu karena luka Alvan akibat ulah Devano untuk membelanya.
"Untuk?" tanya Alvan.
"Devano dan… semuanya," ujar Delia lirih.
Alvan tersenyum, lalu mengusap kepala Delia. "Itu bukan salahmu."
Delia menghela napas berat. "Tapi aku tetap merasa bersalah. Dev sudah membuatmu terluka. Dia memang sudah keterlaluan! dasar pria menyebalkan! Egois!" gumamnya sepanjang jalan.
Alvan hanya bisa tersenyum melihatnya. "Tapi kamu suka," selanya ringan.
Delia sontak menatap tajam. "Siapa? Aku? Hih!"
Alvan menghentikan langkah, menatap wajah Delia dalam-dalam. "Dari cara kamu memandang dia, dari cara kamu bicara tentangnya… itu berbeda, Del. Meskipun kamu tak mau mengakuinya, aku bisa melihatnya."
"Van… aku tidak pernah suka padanya. Dia jahat, kasar. Aku benci!" ujar Delia ketus, meski pipinya terasa panas oleh ucapan Alvan.
Lagipula, kalaupun cinta, apa gunanya? Devano tak pernah melihat ketulusannya, hatinya hanya untuk Giselle. Pikiran itu terus Delia tanamkan seperti mantra.
"Terserah kamu mau bicara apa, tapi aku harap keputusanmu berpisah memang yang terbaik," lanjut Alvan.
Delia terdiam, lalu tersenyum samar. "Sudahlah, jangan dibahas lagi. Ayo kita pulang."
"Aku antar kamu ke mobil," ucap Alvan.
Setelah memastikan Delia masuk ke mobilnya, Alvan pun kembali ke rumah sakit.
***
Langkah Delia terasa berat saat tiba di kantor. Baru menjejakkan kaki di lobi, puluhan pasang mata langsung tertuju padanya. Bisik-bisik karyawan terdengar lirih tapi cukup jelas membuat telinganya panas.
'Ini semua pasti gara-gara ulah Devano,' batinnya.
Video pertengkaran di kafe rupanya sudah menyebar di grup internal kantor. Delia menarik napas panjang, menegakkan bahu, dan memilih acuh. Sepatu haknya beradu dengan lantai marmer, berusaha menunjukkan bahwa ia baik-baik saja.
Begitu pintu ruangannya tertutup, napasnya terlepas berat. Ia meletakkan tas di atas meja agak keras, menumpahkan seluruh kekesalan dan rasa malu yang menyesakkan. Ulah Devano di kafe tadi benar-benar membuatnya jadi sorotan.
Tok… tok…
Pintu diketuk pelan. Jessy masuk sambil membawa beberapa berkas. Wajahnya tampak khawatir.
"Nona, Anda tidak apa-apa? Barusan…" tanya Jessy hati-hati, tak berani menyebut langsung video yang sedang ramai itu.
Delia menghela napas, mencoba tersenyum tipis. "Aku baik-baik saja, Jessy. Tolong selesaikan agenda sore ini seperti biasa, ya," ujarnya dengan suara bergetar meski berusaha tenang.
Cklek!
Belum sempat Jessy menutup pintu, daun pintu kembali terbuka. Devano muncul dengan wajah gelap dan tatapan tajam menusuk. Suasana ruangan seketika berubah dingin.
"Keluar," ucap Devano pada Jessy, dingin tanpa memalingkan pandangan dari Delia.
Jessy refleks menunduk, melirik Delia yang tampak terkejut, lalu bergegas keluar. Kini hanya ada Devano dan Delia, dengan ketegangan menebal di udara.
"Mau apa? Kalau cuma mau ribut, aku sedang tidak ada waktu," ucap Delia dingin, enggan menatapnya.
Brak! Tangan Devano menekan ujung meja Delia.
"Tidak seharusnya kamu bertemu dia," tekan Devano.
"Apa masalahmu? Kita sudah tidak ada hubungan, Dev! Berhentilah mengatur hidupku!"
"Ini bukan soal kita, tapi soal keluargaku! Mereka belum mengetahuinya. Jadi aku harap kamu bisa menjaga sikapmu di luar."
"Lalu bagaimana dengan Giselle? Apa itu bukan masalah? Kamu pria egois, Dev!"
"Terserah! Tapi jangan pikir aku peduli padamu. Karena sedikitpun kamu tidak pernah berarti apa-apa bagiku," tekan Devano, lalu berbalik keluar.
Delia hanya bisa mematung, dada sesak oleh campuran marah dan sakit hati yang tak pernah padam. Meskipun Dev sering berkata-kata kasar padanya, tetap saja itu membuat Delia ingin sekali menangis saat ini.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Satu Bulan kemudian..
Sejak hari itu, baik Delia maupun Dev sama-sama menjaga jarak. Rumor perceraian mereka pun sudah tersebar luas di kantor. Tak ada yang berani membicarakan terang-terangan, seakan semua sudah tahu risikonya.
Delia lebih sering mengurung diri di ruangannya, bahkan beberapa meeting ia serahkan pada Jessy. Ia benar-benar tak ingin bertemu Dev, pria itu sudah terlalu menyakitinya. Hubungannya dengan Alvan pun ia batasi, bukan karena Dev, melainkan karena ia butuh waktu untuk menata diri.
Pagi ini, seperti biasa Delia menyibukkan diri dengan tumpukan map di mejanya. Tapi entah kenapa perutnya terasa tak enak. Gelombang mual datang tiba-tiba.
"Huweeekk!"
Delia menahan meja agar tidak jatuh. "Astaga… apa aku masuk angin?" gumamnya.
"Huweeekk!"
Tok!
Tok!
Tok!
"Nona Delia, Tuan Dev meminta Anda ke ruangannya sekarang," jelas Jessy dari balik pintu.
Delia menggeleng, wajahnya pucat.
"Astaga, Nona, Anda tidak apa-apa?" tanya Jessy saat masuk.
Delia menggeleng lemah. "Tidak… mungkin hanya masuk angin…"
"Huweeekk!" Delia langsung beranjak dari kursi dan berlari ke kamar mandi.
"Huweeekk!"
Jessy berdiri terpaku, cemas. "Kasihan sekali Nona Delia… tapi… apa dia hamil ya?" gumamnya. Lalu cepat-cepat ia menepuk kening sendiri. "Ah, jangan berpikir macam-macam, Jessy!"
Didalam kamar mandi, Delia mencuci wajahnya dan menatap pantulan dirinya di cermin.
"Kenapa aku jadi merasa pusing sekali?" gumamnya.
Lima menit kemudian Delia keluar dari kamar mandi sambil memegangi perutnya dan keningnya. Jessy dengan sigap langsung menghampiri, menggandeng lengannya.
"Nona, lebih baik kita ke rumah sakit saja?" tanya Jessy cemas.
"Tidak, Jess… aku akan pulang. Tolong bicara pada Tuan Dev, aku tidak bisa menemuinya sekarang,"
"Baik, tapi… apa tidak sebaiknya Tuan Dev yang mengantar?" ujar Jessy.
Delia tersenyum tipis sambil menggeleng. "Tidak, dia pasti sedang sibuk, aku tidak ingin mengganggunya. Lagipula aku bisa sendiri."
"Baiklah kalau begitu,"
"Hmm… pergilah,"
Jessy pun dengan berat hati meninggalkan ruangan Delia, gadis itu masuk ke lift menuju ruang Presdir.
"Selamat siang, Pak."
"Masuk," titah Devano lalu menutup map didepannya.
"Kenapa kamu yang datang?"
"Maaf, Pak, Nona Delia tidak bisa menemui Anda hari ini, beliau sedang sakit." jelas Jessy.
Dev mengerutkan alisnya. "Sakit?"
"Iya, Pak. Wajahnya sangat pucat, Nona Delia juga muntah-muntah. Nona Delia bilang dia masuk angin jadi izin untuk pulang hari ini." terang Jessy.
Deg!
Dev jangan jadi di paksa Delia nya
di bujuk secara halus dunk🤭
kasih maaf aja Del tapi jangan cepat² balikan lagi ma Dev
hukumnya masih kurang 🤣
Akui aja toh kalian kan sudah bercerai
biar Dev berjuang samapi titik darah penghabisan 🤭
semangat ya Dev awal perjuangan baru di mulai
kak sekali² cazy up dunk kak🤭🤭
Biar bisa lihat cicit nya
semua butuh waktu dan perjuangan 🤭🤭
Siksa terus Dev dengan penyesalan 🤗🤗🤗
Makan to rencana mu yg berantakan 😏😏
Ayo Dev Nikmati penyesalan mu yg tak seberapa 😄😄
jangan pakai acara nangis Bombay ya Dev 🤣🤣🤣
biar nyesel to Dev
bila perlu ortu Dev tau kalau mereka sudah cerai dan bantu Delia buat sembunyi
soalnya mereka pasti senang kalau tau bakalan punya cicit sama cucu🤭🤭
tunggu karma buatmu ya Dev 😏😏