Alea, seorang wanita muda dan cantik, terpaksa menikahi Rian melalui perjodohan. Namun, kebahagiaan yang diharapkan pupus ketika Rian mengkhianatinya dengan berselingkuh dengan Gina. Patah hati, Alea memutuskan untuk bercerai dan meninggalkan Rian. Takdir berkata lain, bis yang ditumpangi Alea mengalami kecelakaan tragis. Di tengah kekacauan, Alea diselamatkan oleh Ben, seorang pria berkarisma dan berstatus sebagai bos besar yang dikenal dingin dan misterius. Setelah sadar, Alea mendapati dirinya berada di rumah mewah Ben. Ia memutuskan untuk berpura-pura hilang ingatan, sebuah kesempatan untuk memulai hidup baru. Ben, yang ternyata diam-diam mencintai Alea sejak lama, memanfaatkan situasi ini. Ia memanipulasi keadaan, meyakinkan Alea bahwa ia adalah kekasihnya. Alea, yang berpura-pura hilang ingatan tentang masa lalunya, mengikuti alur permainan Ben. Ia berusaha menjadi wanita yang diinginkan Ben, tanpa menyadari bahwa ia sedang terperangkap dalam jaring-jaring cinta dan kebohongan. Lalu, apa yang akan terjadi ketika ingatan Alea kembali? Apakah ia akan menerima cinta Ben, atau justru membenci pria yang telah memanipulasinya? Dan bagaimana dengan Rian, apakah ia akan menyesali perbuatannya dan berusaha merebut Alea kembali?
TANPA PAKSAAN
Lampu-lampu kota telihat sangat menyilaukan dari balik jendela mobil Ben. Jam di dashboard menunjukkan pukul 23:17. Setelah seharian berkutat dengan angka dan strategi di kantor, yang ada di pikirannya sekarang hanyalah Alea. Ia merindukan istrinya itu, si "pemberontak kecil" yang entah kenapa selalu berhasil membuatnya penasaran.
Sopir membelokkan mobilnya ke arah jalanan kompleks perumahan mereka. Ben sengaja meminta sopirnya mempercepat laju kendaraannya. Ia ingin segera sampai rumah, ingin segera melihat wajah Alea.
Sesampainya di depan rumah, suasana tampak sepi. Lampu teras menyala redup, memberikan kesan hangat dan nyaman. Ben turun dari mobilnya di garasi, lalu keluar dan berjalan menuju pintu utama.
Ben berjalan menuju kamar mereka. Perlahan Ben membuka pintu kamarnya agar tidak menimbulkan suara. Dari celah pintu, ia bisa melihat Alea terbaring di ranjang. Ia sudah tertidur.
Ben mendorong pintu perlahan, lalu masuk ke kamar. Jantungnya berdegup lebih kencang dari biasanya. Alea mengenakan slip dress berwarna dusty lavender yang terbuat dari kain satin. Pakaian itu tampak begitu lembut dan nyaman di tubuhnya.
Ben mendekat perlahan, duduk di tepi ranjang. Ia mengamati wajah Alea yang tampak damai dalam tidurnya. Bibirnya sedikit terbuka, napasnya teratur. Ben merasa gemas ingin menyentuhnya.
Ia mengulurkan tangannya, membelai rambut Alea yang tergerai di bantal. Rambutnya terasa halus dan lembut di kulitnya. Alea menggeliat sedikit, lalu membuka matanya perlahan.
"Ben?" gumam Alea dengan suara serak. Ia tampak bingung dan sedikit linglung.
"Maaf, aku membangunkanmu," bisik Ben lembut. Ia merasa bersalah karena sudah mengganggu tidurnya.
Alea menggeleng pelan. "Tidak apa-apa. Aku memang sudah mau bangun." Ia mengucek matanya, lalu tersenyum pada Ben. "Kau sudah pulang?"
"Sudah," jawab Ben sambil tersenyum. "Aku merindukanmu."
Alea mencoba tersenyum. "Bagaimana pekerjaanmu hari ini?"
"Seperti biasa," jawab Ben. "Banyak rapat dan presentasi. Tapi semua berjalan lancar."
Alea mengangguk-angguk "Kau pasti lelah. Mandi dulu sana."
Ben tersenyum. "Kau benar. Aku memang lelah." Ia berdiri dari ranjang dan berjalan menuju kamar mandi. "Aku mandi dulu ya."
"Iya," jawab Alea.
Ben masuk ke kamar mandi dan menutup pintunya. Ia menyalakan shower dan membiarkan air hangat mengguyur tubuhnya. Ia merasa lebih segar dan rileks setelah mandi.
Ben keluar dari kamar mandi, handuk putih melingkar di pinggangnya. Uap hangat masih mengepul dari kulitnya yang basah. Ia melihat Alea masih berbaring di ranjang, menunggunya.
Ben berjalan mendekat, lalu berbaring di samping Alea. Ia memeluknya dari belakang, mendekapnya erat. Alea menggeliat sedikit.
"Harum," bisik Ben sambil menciumi tengkuk Alea. Ia merasakan kulitnya yang lembut dan hangat. Aroma sabun yang lembut menguar dari tubuhnya. Ben merasa rileks dan tenang.
Ben memeluk Alea erat, menciumi tengkuknya dengan lembut. Kembali mencium aroma sabun dan sampo yang bercampur dengan aroma khas tubuh Alea membuat Ben semakin dekat dan nyaman. Setelah seharian berkutat dengan pekerjaan, rasanya semua lelahnya terbayar lunas dengan bisa memeluk Alea seperti ini.
Setelah beberapa saat berpelukan dalam diam, Ben mengangkat wajahnya dan menatap Alea dengan tatapan lembut. Ia mengusap pipi Alea dengan punggung tangannya.
"Sayang," bisik Ben lirih. "Aku menginginkanmu malam ini."
Tidak seperti biasanya, kali ini Ben meminta izin dengan nada yang lembut dan penuh kasih sayang. Tidak ada tuntutan atau paksaan. Hanya ada harapan dan kerinduan.
Ben menatap Alea dengan tatapan penuh harap. Ia bisa merasakan keraguan dan kebingungan di mata istrinya. Ia tahu, Alea masih belum sepenuhnya percaya padanya. Ia tahu, masih ada tembok yang membatasi mereka.
Alea terdiam sejenak, berusaha mencari kata-kata yang tepat. Ia merasa bimbang. Di satu sisi, ia ingin menolak permintaan Ben. Di sisi lain, ia merasa tidak enak. Ben sudah begitu baik padanya. Apalagi, ia sudah menemukan kalung peninggalan ibunya.
Alea juga khawatir penolakannya akan menjadi bumerang baginya. Ia tidak ingin membuat Ben marah atau curiga. Ia tidak ingin rencananya untuk pergi saat Ben lengah menjadi berantakan.
Alea menarik napas dalam-dalam, lalu menatap Ben dengan tatapan yang dibuat-buat seolah penuh cinta. Ia berusaha meyakinkan Ben bahwa ia tidak lagi memberontak.
"Ben," kata Alea dengan suara lembut. Lalu ia mengangguk tanda setuju.
Ben tersenyum lega. Ada kepuasan dalam batin Ben. Ia tidak tahu bahwa di balik senyuman itu, Alea sedang menyembunyikan rencana liciknya.
Malam itu, Alea terpaksa menyerahkan dirinya pada Ben. Ia melakukannya dengan perasaan terpaksa dan tidak rela. Ia merasa seperti seorang tahanan yang tidak memiliki pilihan.
Ben tersenyum mendengar jawaban Alea. Hatinya menghangat, merasa diterima dan diinginkan. Ia meraih wajah Alea dengan kedua tangannya, menatapnya lekat dengan tatapan penuh cinta dan kerinduan.
"Terima kasih," bisik Ben tulus.
Kemudian, tanpa menunggu lagi, Ben mencium Alea dengan lembut. Ciuman yang awalnya lembut itu perlahan berubah menjadi lebih dalam dan penuh gairah. Alea membalas ciuman Ben, melingkarkan tangannya di leher pria itu.
Ben melepaskan ciumannya, lalu mulai menciumi sekujur tubuh Alea dengan lembut. Ia mulai dari kening, turun ke pipi, hidung, dan dagu. Setiap sentuhannya terasa lembut dan penuh kasih sayang.
Alea mendesah pelan, menikmati setiap ciuman Ben. Ia merasa geli dan nyaman pada saat yang bersamaan. Ia memejamkan matanya, membiarkan Ben menjelajahi tubuhnya.
Ben terus menciumi Alea, turun ke leher dan bahunya. Ia memberikan perhatian khusus pada setiap bagian tubuh Alea, seolah-olah ia sedang menyembah dewi.
Alea menggeliat pelan, merasa semakin terangsang dengan sentuhan Ben. Ia membuka matanya dan menatap Ben dengan tatapan penuh gairah.
Ben tersenyum melihat respons Alea. Ia tahu bahwa Alea menikmati sentuhannya. Ia semakin bersemangat untuk memanjakan istrinya.
Ben menurunkan gaun tidur bagian atas Alea. Ben melanjutkan ciumannya, turun ke dada Alea. Ia menciumi dan menjilati put-ing Alea dengan lembut, sesekali ia menggit pelan dan menyedotnya. Alea mengerang pelan, merasa kenikmatan yang luar biasa.
Ben terus melanjutkan aksinya, menciumi perut, pinggang, dan paha Alea hingga di titik intimnya. Ben bermain disana sambil kedua tangannyapun bekerja. Satu tangan sibuk memainkan dada alea dan put-ing yang menegang dan tangan satunya masuk kedalam celana dalam Alea yang sangat tipis. Ia bermain disana dengan lincah, ia tidak melewatkan satu inci pun dari tubuh Alea.
Alea merasa seperti melayang di udara. Ia tidak pernah merasa begitu diinginkan dan dicintai sebelumnya. Dan ia mendapatkan ini dari Ben. Ben yang bahkan Alea tidak tau ada maksud apa Ben dengan menikahinya.
Sentuhan lembut Ben membangkitkan sesuatu yang baru dalam diri Alea. Bukan hanya sekadar hasrat, tapi juga rasa nyaman dan aman yang selama ini ia abaikan. Ia mulai merespons setiap ciuman dan elusan Ben dengan lebih terbuka, membiarkan dirinya terhanyut dalam sensasi yang ditawarkan.
Ben, yang menyadari perubahan pada diri Alea, semakin bersemangat untuk memanjakannya. Ia tahu bahwa di balik sikap dinginnya, Alea menyimpan luka yang dalam. Ia menyembuhkan luka itu dengan cinta dan kasih sayang.
Dengan gerakan yang lembut dan penuh perhatian, terus membelai setiap inci tubuh Alea. Ia mencium dan memainkan seluruh area sensitif Alea. Alea mendesah pelan, menikmati setiap sentuhan Ben.
Alea mulai membalas sentuhan Ben dengan lebih aktif. Ia mengelus rambutnya, mencium punggungnya, dan memeluknya erat. Kali ini Alea menikmatinya bercinta dengan Ben.
Ben terus memanjakan, menjelajahi tubuh Alea. Ben tidak terburu-buru, menikmati setiap momen dengan penuh kesadaran. Ia ingin menciptakan kenangan yang indah, kenangan yang akan selalu mereka ingat.
Saat Ben memasuki dirinya, Alea merasakan sensasi yang luar biasa.
Ben terus menindih Alea, memasukinya dengan ritme teratur. Setiap gerakan terasa dalam dan penuh gairah, membangkitkan sensasi yang luar biasa dalam diri Alea.
Alea membalas setiap gerakan Ben dengan desahan dan erangan pelan, menikmati setiap sentuhan dan ciuman yang diberikan. Ia melingkarkan kakinya di pinggang Ben, menariknya lebih dekat dan membenamkan dirinya dalam pelukannya.
Ritme mereka semakin cepat dan intens, membawa mereka berdua menuju puncak kenikmatan. Alea merasakan tubuhnya bergetar hebat, Alea berteriak pelan, melepaskan semua emosi yang selama ini ia tahan. Ia merasa lega dan bebas, seolah beban berat telah terangkat dari pundaknya.
Ben juga merasakan hal yang sama, tubuhnya menegang dan berdenyut saat mencapai klimaks. Ia memeluk Alea erat, mencium lehernya dengan penuh kasih sayang.
Setelah mencapai klimaks, mereka berdua terbaring lemas di tempat tidur, terengah-engah dan berkeringat. Mereka saling berpelukan erat, menikmati keheningan dan kebersamaan.
Ben memeluk Alea erat, mencium keningnya dengan penuh kasih sayang. Ia tahu bahwa Alea masih meragukannya.
Setelah bercinta, mereka berdua berbaring di tempat tidur, saling berpelukan erat. Mereka tidak berbicara, hanya menikmati keheningan dan kebersamaan. Mereka merasa seperti telah menjadi satu.
Alea memejamkan matanya, merasa damai dan tenang berada di dekat Ben. Ia tidak tau apa ia telah membuat keputusan yang tepat atau tidak. Tapi ia tidak mau memikirkan dulu hal itu. Ia hanya ingin menikmati saat ini.