NovelToon NovelToon
Misteri Kematian Sandrawi

Misteri Kematian Sandrawi

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Misteri / Matabatin / Mata Batin / TKP / Tumbal
Popularitas:969
Nilai: 5
Nama Author: lirien

“SANDRAWI!”

Jeritan Ratih memecah malam saat menemukan putrinya tergantung tak bernyawa. Kematian itu bukan sekadar duka, tapi juga teka-teki. Sandrawi pergi dalam keadaan mengandung.

Renaya, sang kakak, menolak tunduk pada kenyataan yang tampak. Ia menelusuri jejak sang adik, menyibak tiga tahun yang terkubur. Dan perlahan, luka yang dibungkam mulai bersuara.

Mampukah Renaya memecahkan misteri tersebut?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lirien, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Obat

Meski hanya sekilas, namun Ratih yakin matanya tak keliru menangkap raut terkejut yang berbaur dengan ketidaksukaan saat Saras datang menghampirinya. Namun, ia buru-buru menepis prasangka. Selama ini, selain suami dan anak-anaknya, hanya Saras yang selalu setia membantu saat tubuhnya ringkih tak berdaya.

Tak sepantasnya ia menuduh Saras dengan prasangka buruk, terlebih perempuan itu telah banyak berkorban waktu dan tenaga merawatnya. Namun, ada sesuatu yang tak bisa ia abaikan, sebuah perasaan ganjil yang terus menghantui benaknya.

“Mbak duduk sini dulu ya, biar aku bikinin teh hangat,” ujar Saras, menarik kursi di meja makan.

Ratih hanya mengangguk pelan, menatap perempuan itu yang sigap mengambil cangkir dan mulai membuatkan teh. Pandangannya kemudian tertuju pada plastik bening berisi obat kapsul berwarna hijau tua.

Selama ini, ia tak pernah tahu nama obat itu, bahkan tak pernah bertanya dari mana Saras mendapatkannya. Ia menelan begitu saja, percaya sepenuhnya pada perempuan itu. Tapi hari ini, untuk pertama kalinya, ia merasa curiga pada delapan butir kapsul tersebut.

Bukannya membuat tubuh membaik, justru setiap kali ia meneguk obat itu, tubuhnya terasa semakin lemas, seakan semua tenaga tersedot habis. Anehnya, baru ketika ia berhenti mengonsumsinya, tubuhnya mulai pulih.

“Nih, Mbak, diminum dulu tehnya. Setelah itu obatnya ya, biar Mbak Ratih makin cepat sembuh.” Saras menyodorkan secangkir teh hangat.

“Terima kasih, Sar,” sahut Ratih, melempar senyum tipis yang tak sampai ke matanya.

Ia meneguk teh itu dalam sekali teguk, lalu menerima sebutir kapsul dari Saras. Namun, ketika teh menyusuri kerongkongan, ia menyelipkan kapsul itu ke bawah lidah, berpura-pura telah menelannya.

“Udah diminum, Mbak?” tanya Saras, mengamati gerak-gerik Ratih.

Ratih mengangguk, “Sudah. Terima kasih, ya, Sar.”

Saras tersenyum lebar. “Nggak usah berterima kasih, Mbak. Saya cuma pengen Mbak Ratih sehat lagi.”

“Bagaimanapun juga, aku tetap harus berterima kasih,” balas Ratih.

Saras mengibaskan tangan. “Wajar, Mbak. Kita tetangga, harus saling bantu. Nih, buburnya juga udah aku siapin, biar tambah fit.”

“Sebentar, aku ke kamar mandi dulu,” pamit Ratih.

Ia bangkit dari kursi, berjalan menuju kamar mandi dengan satu tujuan, membuang kapsul yang masih tersembunyi di bawah lidahnya. Namun, saat menoleh, samar-samar ia menangkap senyum aneh yang mengembang di bibir Saras, membuat dadanya semakin tak nyaman.

Beberapa menit kemudian, Saras berpamitan pulang. Ratih terduduk sendirian di meja makan, matanya kembali menelusuri plastik kecil berisi kapsul tersebut. Saras bersikeras mengatakan kapsul itu vitamin untuk masa pemulihan, tapi tak ada label obat ataupun resep dokter.

“Apa sebenarnya isi obat ini…?” bisik Ratih, matanya menyipit curiga.

Ia menunggu Renaya bangun, duduk termenung di dapur. Tak lama kemudian, suara derit pintu kamar terdengar, Renaya keluar dengan rambut acak-acakan dan wajah masih sayu.

“Rena…” panggil Ratih, suara yang cukup membuat Renaya terperanjat.

“Ibu? Ibu udah bangun? Udah sehat?” Renaya langsung menghampiri dengan ekspresi tak percaya.

“Alhamdulillah, badan Ibu udah terasa lebih ringan hari ini,” jawab Ratih seraya tersenyum hangat.

“Ya Allah, Ibu… aku seneng banget! Akhirnya… aku seneng banget lihat Ibu nggak terbaring lemas lagi,” seru Renaya sembari memeluk erat sang ibu.

Ratih membalas pelukan itu dengan usapan lembut di punggung Renaya. “Kamu nggak salah apa-apa, Nak. Maaf, ya, Ibu malah nyusahin kalian.”

“Nggak ada yang ngerasa susah, Bu… semua malah sedih lihat Ibu sakit begini.”

Ratih menghela napas ringan. Satu-satunya orang yang bisa ia percaya saat ini adalah putrinya sendiri.

Ia melirik ke kiri dan kanan, memastikan rumah cukup sepi sebelum mendekatkan wajahnya ke Renaya.

“Ada apa, Bu?” tanya Renaya, matanya mulai serius.

“Ibu mau ngomong sesuatu… tapi kamu nggak boleh cerita ke siapa-siapa.”

Renaya menelan ludah. “Iya, Bu… Ibu ngomong aja… aku dengerin.”

“Tolong selidiki obat ini, Ren.” Ratih menyodorkan plastik bening berisi kapsul berwarna hijau tua itu kepada putrinya.

Renaya menerima plastik kecil itu dengan dahi yang mengerut, firasat buruk langsung bergejolak dalam dadanya. Ia sudah bisa menebak siapa pemberi obat itu.

“Ini dari Saras, ya, Bu?” tanyanya, suaranya datar namun matanya tajam mengamati kapsul yang bergoyang pelan di balik plastik.

Ratih mengangguk pelan. “Iya, dari Saras. Tapi entah kenapa Ibu merasa ada yang nggak beres dengan obat itu, Ren.”

Renaya mengepalkan jemarinya. Dugaannya benar. Saras pasti punya maksud tersembunyi. “Ibu tahu Saras beli di mana obatnya?”

Ratih menggeleng, lalu menjelaskan pelan, “Waktu Ibu periksa ke klinik, Saras bilang dia beliin di apotek. Tapi ya, Ibu nggak ngerti juga, Ren.”

Renaya mendengus tajam. “Bu, kalau benar ini obat dari apotek, harusnya pakai resep! Mana ada beli kapsul kayak gini cuma-cuma. Jelas Saras ngawur!”

“Hus, Renaya…” Ratih menegur pelan. “Bagaimanapun juga Saras udah banyak bantu Ibu dan keluarga ini.”

Renaya menghela napas panjang. Ibunya tentu tak tahu kebusukan yang selama ini ditutup-tutupi Saras dan Baskoro. Hanya Renaya dan adik-adiknya yang paham betul kelakuan mereka. Bahkan rasanya mulut Renaya sudah gatal ingin membongkar semuanya. Tapi ia menahan diri. Ia tak ingin kondisi ibunya kembali drop gara-gara kenyataan pahit itu.

“Ibu terlalu percaya sama dia. Ibu nggak pernah curiga sedikitpun sama perempuan gila itu?” gumam Renaya dengan sinis.

Ratih terdiam sesaat. Dahulu ia tak pernah menaruh curiga, tapi akhir-akhir ini, ada sesuatu yang terasa janggal, terutama setelah melihat senyum Saras yang lebih tampak seperti seringai licik tadi pagi.

“Mungkin Ibu memang terlalu buruk sangka,” bisik Ratih, mencoba menenangkan pikirannya sendiri. “Ibu cuma pengen kamu cari tahu aja, Ren. Obat apa sih ini sebenarnya? Ibu mau nyapu dulu,” lanjutnya sembari berdiri.

Renaya bangkit, menahan sang ibu. “Ibu nggak mau istirahat dulu? Ibu baru sembuh loh.”

Ratih tersenyum tipis. “Justru kalau tiduran terus Ibu nggak bakal kuat berdiri lagi. Ibu harus paksa badan ini bergerak biar benar-benar pulih.”

Renaya terdiam, menatap punggung ibunya yang mulai beringsut ke halaman.

......................

Siang harinya, Renaya langsung bergerak cepat. Satu nama terlintas di benaknya, Dodi. Untungnya semalam mereka sempat bertukar nomor sebelum berpisah. Maka tak butuh waktu lama baginya untuk mengirim pesan dan mengatur pertemuan.

Namun, saat jarum jam terus berputar, Renaya mulai gelisah. Sudah setengah jam berlalu sejak waktu janji, tapi batang hidung Dodi belum juga muncul.

Renaya menghela napas berat, menyeruput minumannya dengan kesal. “Lama banget sih nih orang?”

Hampir saja ia ingin menghubungi Dodi lagi ketika sosok pria yang ia tunggu masuk dengan langkah cepat, wajahnya masih tampak pucat dengan bekas pukulan yang belum benar-benar hilang.

“Maaf-maaf, Renaya. Tadi aku harus beresin sesuatu dulu, jadi agak molor,” ucap Dodi seraya menarik kursi, napasnya terdengar sedikit ngos-ngosan.

Renaya memutar bola matanya, “Aku hampir jadi fosil nunggu kamu di sini.”

Dodi mengangkat tangan, wajahnya cengengesan. “Ampun deh… jadi, ada apa nih kamu ngajak ketemu? Jangan bilang kamu nyuruh aku ngadepin Bagantara lagi buat dihajar, ya? Aku nggak ada nyali lagi buat mukaku jadi samsak hidup.”

Renaya menyilangkan tangan di dada, menatap lurus ke arah Dodi. “Tenang aja, aku nggak mau bahas soal Sandrawi dulu.”

“Terus, kamu mau bahas apa?” Dodi menatap Renaya, sebelah alisnya terangkat penuh tanya.

Tanpa membuang waktu, Renaya merogoh saku jaketnya, mengeluarkan plastik kecil berisi beberapa kapsul berwarna hijau tua. Tangannya meletakkan benda itu di atas meja. “Kamu tahu ini obat apa?”

Dodi mengambil plastik bening itu, memeriksa dengan seksama, matanya menyipit. “Nggak ada keterangan nama, ya? Harus dicek di lab kalau gini.”

Renaya menghembuskan napas berat. “Nggak bisa langsung tau sekarang?”

Dodi menggeleng sambil mendengus. “Nggak mungkin lah. Bahkan apoteker pun nggak bisa langsung ngenalin cuma lihat bentuk kapsul begini. Emangnya kenapa? Ini bukan kamu yang beli?”

Renaya menggeleng mantap. “Bukan, itu dikasih ke Ibu. Makanya aku pengen tahu sebenarnya itu obat apa.”

Dodi membuka salah satu kapsul, menumpahkan bubuk putih ke telapak tangannya. Ia mengendus perlahan, mengamati warna dan teksturnya.

“Yang jelas ini bukan narkoba atau sabu-sabu,” ucapnya meyakinkan.

Renaya mengerucutkan bibir, menggerutu, “Aku juga nggak mikir Ibu bakal dikasih narkoba…”

Dodi mendongak cepat. “Jadi ini dikasih ke Ibumu?”

Renaya mengangguk, wajahnya mulai mengeras. “Iya. Ibu mulai curiga. Katanya setiap habis minum obat ini, badannya makin lemas, nggak punya tenaga.”

Dodi mengangguk-angguk paham. “Oke, aku bawa ke lab buat diperiksa. Kalau hasilnya keluar, aku kabarin kamu.”

“Berapa lama biasanya?” tanya Renaya buru-buru.

“Empat sampai tujuh hari. Aku coba desak biar diproses lebih cepat,” balas Dodi.

Renaya mengangguk dengan sorot mata serius. “Selama belum tahu itu obat apa, Ibu nggak bakal aku kasih minum lagi.”

......................

Tiga hari kemudian, ponsel Renaya bergetar. Nama Dodi berpendar di layar. Ia segera mengangkatnya, jantungnya berdegup cepat.

“Renaya, kamu bisa ketemu aku sekarang? Hasil lab-nya udah keluar,” suara Dodi terdengar berat dan serius.

Tanpa pikir panjang, Renaya langsung berganti pakaian dan bergegas ke kafe tempat mereka biasa bertemu.

Sesampainya di sana, ia langsung menghampiri Dodi tanpa basa-basi. “Gimana hasilnya?”

Dodi tak langsung menjawab. Ia menatap Renaya dalam-dalam, matanya penuh kecemasan. “Kamu bilang obat ini Ibumu konsumsi, ya?”

Renaya mengangguk, tenggorokannya tercekat. “Ada apa? Apa sebenarnya isi obat itu?”

Dodi menghela napas berat. “Lidocaine.”

Kening Renaya mengernyit. “Lidocaine? Bukannya itu anestesi?”

“Benar. Tapi ini bukan lidocaine untuk manusia, Ren,” suara Dodi menurun, nadanya pelan namun menghantam telinga Renaya keras, “Itu lidocaine untuk anjing.”

Renaya ternganga, matanya membelalak tak percaya. “O... Obat anjing?” suaranya bergetar hebat.

“Ren, bagaimana kondisi Ibumu sekarang?” tanya Dodi, cepat.

“Sejak tiga hari lalu Ibu nggak konsumsi lagi. Beliau kelihatan membaik,” sahut Renaya cepat, tangannya mencengkeram gelas di hadapannya.

Dodi menghela napas lega. “Syukurlah… kalau Ibumu terus-terusan minum ini, bisa gawat.”

Renaya menelan ludah. “Apa yang bisa terjadi kalau manusia minum obat kayak gitu?”

“Dosis lidocaine khusus anjing bisa memicu kelumpuhan saraf. Kalau sering dikonsumsi manusia… bisa bikin tubuh melemah permanen, bahkan gagal jantung kalau overdosis,” jelas Dodi.

Punggung Renaya seketika lunglai, tubuhnya bersandar di kursi. Ia benar-benar tak menyangka Saras mampu melakukan hal sekeji itu.

Dodi menggeleng pelan. “Obat ini nggak dijual sembarangan. Meski untuk hewan, tetap butuh izin beli.”

Mata Renaya menyipit. “Jadi dia dapet dari mana?”

Dodi mengangkat bahu. “Bisa jadi seseorang yang kerja di bidang kesehatan, dokter hewan… atau bahkan dari klinik manusia yang main belakang.”

Renaya menggertakkan giginya. Sosok yang terlintas jelas dalam pikirannya.

Giginya bergemeletuk, emosinya meledak. “Pasti kamu yang ngasih obat itu ke Saras!”

1
Ruby
semangat ya Thor, aku bakal balik lagi kok. Ceritanya bagus, penuh misteri!!
Anonymous: Aww trimksih banyak yaa
seneng banget ada yang support begini🌷☺️🫶
total 1 replies
Ruby
Wahh curiga sama bapaknya /Drowsy/
Ruby
terus pria yang sebelumnya menatap sandrawati b*ndir siapa?
Ruby
siapa yang naruh bawang di sini?!/Sob/
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!