Sharon tidak mengerti mengapa takdir hidupnya begitu rumit. Kekasihnya berselingkuh dengan seseorang yang sudah merenggut segalanya dari dirinya dan ibunya. Lalu ia pun harus bertemu dengan laki-laki kejam dan melewatkan malam panas dengannya. Malam panas yang akhirnya makin meluluhlantakkan kehidupannya.
"Ambil ini! Anggap ini sebagai pengganti untuk malam tadi dan jangan muncul lagi di hadapanku."
"Aku tidak membutuhkan uangmu, berengsekkk!"
Namun bagaimana bila akhirnya Sharon mengandung anak dari laki-laki yang ternyata seorang Cassanova tersebut?
Haruskah ia memberitahukannya pada laki-laki kejam tersebut atau menyembunyikannya?
Temukan jawabannya hanya di BENIH SANG CASSANOVA 2.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon D'wie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19
Bab 19. Bayangan
Pagi yang cerah di Yogyakarta membawa aroma roti panggang dan tawa anak-anak. Di ruang keluarga rumah Sharon, televisi menyala dengan volume sedang, menayangkan sebuah talk show bisnis yang sedang ramai dibicarakan. Sorotan kamera berpindah ke tamu utama acara tersebut—seorang pria tampan dengan sorot mata tajam, berwibawa, dan gaya bicara karismatik.
"Dan inilah dia, pengusaha muda yang kembali bangkit setelah mengalami kecelakaan tragis enam tahun lalu, CEO LXR Holdings, Leonardo Xavier Reynaldi," ujar sang pembawa acara dengan penuh semangat.
Wajah Leon terpampang jelas di layar. Senyumnya tipis namun tegas, wajahnya nyaris tak berubah meski usianya bertambah. Justru kini ada aura lebih dewasa dan tegas yang memancar darinya.
Dari atas karpet, Xaviera yang sedang asyik menyusun puzzle mendadak berhenti. Matanya membelalak saat melihat wajah Leon di layar. Ia menoleh cepat ke arah Xaviero yang sedang sibuk merakit mainan robot.
"Xaviero!" serunya sambil menunjuk televisi. "Lihat deh, itu om-om di TV. Ganteng banget ya. Tapi kok mirip banget sama kamu? Hidungnya, matanya, bahkan senyum yang pelit itu loh!"
Xaviero melirik malas ke arah layar, lalu kembali menunduk.
"Enggak mirip. Biasa aja. Gantengan juga aku," jawab Xaviero acuh tak acuh.
"Ih, Xaviero narsis."
"Itu bukan narsis, tapi fakta. Kalau dibilang mirip, aku sama Om Dion juga mirip."
Xaviera memiringkan kepala, jelas tak setuju. "Ih, enggak, ah! Om Dion itu matanya kecil, terus dia nggak punya lesung pipi kayak kamu. Liat deh, waktu om ganteng tadi senyum, meskipun pelit, tapi keliatan lesung pipinya nongol, sama kayak kamu kalau senyum malu-malu gitu."
Xaviero mendesah. "Ah, kamu ngada-ngada."
"Xaviero, gimana kalau om tadi itu papi kita?"
Xaviero sontak menoleh kemudian tersenyum remeh. "Nggak mungkin. Bagaimana kalau ternyata justru Om Dion yang papi kita? Terbukti kita ada kemiripan sama Om Dion. Jadi, mungkin aja justru Om Dionlah papi kita."
"Nggak ya. Mami aja pernah bilang Om Dion itu temen kok."
"Coba pikir, Om Dion itu suka anterin Mami ke mana-mana, terus Mami juga sering masakin dia. Kalau bukan papi kita, ngapain deket banget?"
Xaviera mengerutkan dahi, merasa tak puas dengan penjelasan kakaknya.
"Tapi Om Dion sama Mami tinggalnya nggak bareng. Padahal mereka ketemu tiap hari. Kalau Om Dion papi kita, kenapa Mami tidur sama kita? Kenapa bukan sama Om Dion? Dan kenapa mereka tinggal di rumah yang berbeda?"
Xaviero terdiam, tak punya jawaban. Ia meletakkan mainan robotnya dan memelototi layar televisi lagi. Wajah Leon kembali muncul, kali ini dalam tayangan cuplikan pidato saat menerima penghargaan sebagai salah satu pengusaha paling berpengaruh di Asia Tenggara.
Xaviera memeluk lututnya, pandangannya masih terpaku ke layar.
"Aku rasa Om di tv itu papi kita deh. Soalnya ... kalau aku lihat dia, rasanya kayak pernah ketemu. Kayak ...." Ia menatap Xaviero. "Kayak pernah ada di mimpi."
Xaviero ingin membantah, tapi entah kenapa, hatinya ikut terasa aneh. Ada rasa tak suka, entah karena curiga atau karena perasaan asing yang muncul tiba-tiba.
Ia mengalihkan pandangan, lalu bergumam pelan, “Kalau dia papi kita … kenapa ninggalin Mami pas kita masih di perut?”
Kini giliran Xaviera yang terdiam. Ia pun tak tahu harus menjawab apa karena memang benar apa yang dikatakan saudara kembarnya itu.
...***...
Di Penthouse Leon – Malam Hari
Langit Jakarta mulai gelap, lampu-lampu kota berkelap-kelip bagai bintang jatuh yang tak sempat menyentuh tanah. Di dalam penthouse mewah itu, Leon berdiri membelakangi ruangan dengan pandangan kosong mengarah ke kejauhan. Dedaunan di balkon bergoyang pelan diterpa angin malam, namun yang mengguncang pikirannya justru jauh lebih besar dari sekadar angin.
Sudah beberapa minggu ini, bayangan wajah seorang wanita terus menghantui pikirannya. Terkadang samar, terkadang sangat jelas. Bahkan ia bisa mendengar suaranya.
"Leon ...."
Suara itu lembut, nyaris seperti nyanyian yang begitu merdu dan menenangkan. Tapi setiap kali mencoba mengingat lebih jauh siapa wanita itu, di mana ia pernah melihatnya, atau apa hubungan mereka, rasa nyeri yang luar biasa seketika menyerang kepalanya.
Dan malam itu, rasa sakitnya kembali datang. Bahkan lebih hebat dari sebelumnya.
“Aaakh!” Leon meringis sambil meraih pelipisnya. Napasnya tersengal. Ia jatuh terduduk di lantai marmer dingin, tangannya mencengkeram kepalanya seakan ingin meredam letusan kecil yang terjadi dalam pikirannya.
Pintu ruangan terbuka tergesa. Eric masuk, membawa tablet obat yang sudah disiapkan dalam cangkir kecil. Wajahnya panik.
Memang semenjak mengetahui Leon kerap tiba-tiba merasakan sakit di kepalanya, Eric memilih ikut tinggal di penthouse milik Leon tersebut. Leon tak suka sembarangan orang masuk ke kamarnya. Bahkan saat maid ingin membersihkan kamarnya harus dalam pengawasan ketat Eric. Oleh sebab itu, Eric memilih tinggal di sana agar bisa mengawasi kesehatan Leon yang bisa saja tiba-tiba drop.
“Leon! Duduk diam, aku kasih obatnya sekarang,” kata Eric sambil berlutut dan menyodorkan air putih serta pil berwarna biru gelap.
Dengan susah payah, Leon menelan pil itu. Keringat membasahi pelipisnya, jantungnya berdebar cepat seperti sedang berlari maraton. Eric membantu Leon duduk bersandar ke sofa.
“Kepalaku … rasanya seperti mau meledak,” lirih Leon. “Setiap kali aku mencoba mengingat … ada anak-anak … ada seorang wanita … dia tersenyum padaku, tapi aku bahkan gak tahu siapa dia,” lirih Leon nyaris putus asa.
Eric menunduk. Jemarinya mengepal diam-diam. Ia tahu siapa wanita itu. Dan ia tahu siapa yang dimaksud Leon anak-anak dalam bayangannya itu. Meskipun tak tahu apakah Sharon berhasil melahirkan anaknya, namun Eric bisa menduga dengan penuh keyakinan kalau bayang anak-anak itu adalah anak dari Sharon dan Leon. Tapi ia tak bisa mengatakan apa-apa. Perintah Meylania terlalu mutlak dan ia berada dalam posisi sulit.
“Jangan paksa dirimu, Leon. Dokter bilang kamu belum siap menerima tekanan emosional yang berat,” ujar Eric pelan.
“Tapi aku harus tahu, Eric. Aku gak tahan hidup seperti ini. Seolah ada lubang besar dalam hidupku, dan setiap malam aku cuma bisa menatapnya tanpa tahu apa yang hilang.”
Eric menarik napas dalam-dalam. “Aku ngerti. Tapi tolong percaya, semua ini demi kebaikanmu.”
Leon menatapnya tajam, sejenak seperti ingin menuntut lebih. Namun rasa sakit yang belum sepenuhnya hilang membuatnya lemah kembali. Ditambah efek obat yang begitu kuat membuat matanya mendadak berat.
Sementara itu, jauh di sudut pikirannya, suara anak-anak kembali memanggil.
"Papi ...."
Melihat Leon yang selalu saja kacau setiap teringat dengan Sharon, tiba-tiba ia memikirkan sesuatu.
"Apakah aku harus kembali melakukan pencarian terhadap Sharon?"
To be continued ….
Semoga ini jd awal yg baik bagi Leon bisa ketemu sm ank2nya jg sharon
semoga di mudahkan dan dilancarkan ya..
padahal ceritanya bagus lho