Camelia Sasongko punya segalanya, rumah megah, dan hidup yang tampak sempurna di mata siapa pun. Tapi di balik gemerlap itu, ia menyimpan kesepian yang tak bisa dibeli dengan apa pun.
Hingga sebuah pertemuan lewat aplikasi dating menghadirkan sosok asing yang perlahan memberi warna dalam hidupnya. Lelaki itu hadir tanpa nama besar, tanpa latar belakang yang jelas, tapi bisa membuat Camelia merasa, di anggap.
Tanpa ia tahu, ada seseorang yang telah lebih dulu menaruh perhatian, Girisena Pramudito, dosen muda yang dikenal perfeksionis dan karismatik. Dalam diam, ia menyimpan rasa, menyaksikan Camelia dari jauh, dan tak pernah punya keberanian untuk mendekat.
Saat dua dunia mulai bersinggungan, yang nyata dan yang hanya lewat layar, Camelia harus memilih, pada siapa hatinya benar-benar ingin bersandar?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Luckygurl_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
27 Orang yang sama
Langkah Camelia terhenti di depan pintu kamarnya. Buket bunga raksasa itu masih berdiri di sana, utuh, harum, dan begitu mencolok hingga seakan-akan tak peduli pada siapa pun yang melewatinya.
Mawar-mawar merah itu menumpuk lebat, kelopaknya merekah sempurna seperti hendak memamerkan ketulusan si pengirim.
Camelia mendesah. “Masih disini rupanya.”
Tangannya menyentuh kelopak bunga teratas secara perlahan. Lembut dan hangat. Sehangat rasa yang tiba-tiba menyusup pelan ke dalam dadanya. Ia kesal, sungguh. Karena buket ini membuatnya sulit menjaga jarak seperti yang ia inginkan. Tapi disisi lain, ia juga tak bisa membohongi dirinya sendiri. Usaha Sena kali ini terlalu besar untuk diabaikan begitu saja.
Bahkan para maid pun tak henti membicarakannya sejak tadi pagi.
"Nona, tadi Pak Sena sampai minta bantuan satpam dan sopir, loh. Kata beliau, bunga ini harus sampai ke tangan Nona. Gimanapun caranya." kata Rara tadi.
Camelia menggeleng pelan, matanya masih menatap buket itu. Bukan soal jumlah bunganya, serta bukan pula soal siapa yang mengirim. Tapi tentang makna di balik setiap kelopak yang mewakili kesungguhan. Tentang betapa seseorang mencoba menyentuh hatinya, padahal ia sendiri bahkan belum yakin apakah hatinya masih bisa disentuh. Lantas kemudian, ia mendorong pintu kamarnya.
Sesaat setelah pintu terbuka, Camelia kembali melirik ke arah bunga-bunga itu. Matanya terasa panas, entah karena emosi, atau mungkin karena hatinya mulai runtuh sedikit demi sedikit dan itu lebih menakutkan daripada semua bentuk perhatian yang pernah ia tolak sebelumnya.
Setibanya di kamar, Camelia menjatuhkan diri ke atas ranjang, membiarkan tubuhnya tenggelam dalam empuknya bantal. Hari ini sungguh melelahkan, tidak secara fisik, tapi batin. Namun, rasa itu seketika tergantikan oleh satu hal, ponselnya berdering. Di layar, tertulis nama yang selama ini ia tunggu.
Gray.
Tanpa pikir panjang, Camelia segera mengangkat telepon itu. “Lama sekali ya kamu nggak telfon aku! Apa kamu lupa aku masih hidup, Gray? Aku pikir kamu diculik alien atau gimana. Bahkan pesanku cuma dibaca doang, telpon nggak diangkat—” keluhnya langsung, tanpa basa-basi.
Suara Gray terdengar dari seberang, disertai tawa ringan. “Maaf, aku sibuk akhir-akhir ini. Sibuk mengejar cintaku, Malika.”
Deg.
Camelia terdiam. Sejenak, dunia rasanya membeku. Dadanya terasa sesak seperti dipukul palu godam. Lidahnya kelu dan ia ingin bertanya, maksudnya siapa? Tapi ia terlalu takut untuk mendengar jawabannya.
Air mata jatuh, pelan tapi pasti. Ia menutup mulutnya agar tak ada suara tangis yang terdengar. Sungguh, ia tidak ingin Gray tahu kalau hatinya sedang remuk.
“Malika? Masih di sana?” tanya Gray dari seberang.
Camelia buru-buru mengusap pipinya. “Iya,” jawabnya lirih, suaranya serak.
“Hm… gimana kalau besok kita ketemu? Weekend kayaknya waktu yang pas,” ucap Gray. Seolah tak terjadi apa-apa.
Tubuh Camelia menegang. Ini adalah momen yang selama ini ia tunggu. Kesempatan untuk bertemu Gray, pria yang membuatnya jatuh hati hanya lewat suara dan sapaan di aplikasi kencan. Apakah ini saatnya untuk menyampaikan perasaannya?
“Boleh, atur saja tempatnya,” jawabnya akhirnya.
“Cafe Kalingga, kamu tahu?”
“Enggak. Di mana tuh?”
“Nanti aku kirim lokasinya. Aku pakai kemeja hitam. Kalau kamu?”
Camelia berpikir sejenak. “Daripada bingung, gimana kalau kita bawa bunga mawar aja? Merah, satu tangkai. Biar gampang dikenali.”
“Deal,” kata Gray antusias. “Nggak sabar ketemu kamu, Malika.”
Sama, aku juga nggak sabar menatap matamu, melihat wajahmu, Gray, bisik Camelia dalam hati.
Sambungan terputus.
Camelia menatap kosong layar ponselnya, lalu jatuh terduduk di ujung ranjang sambil menopang kepalanya.
“Bodoh. Aku ini benar-benar bodoh,” gumamnya lirih.
Di sudut hatinya, ia sadar betul. Ada Sena, pria yang nyata, yang berjuang mati-matian untuk mendapatkan hatinya. Yang rela menyingkirkan gengsi dan jabatannya sebagai dosen demi bisa dicintai.
Sementara Gray? Ia bahkan belum pernah melihat wajahnya secara langsung. Hanya suara lewat obrolan. Tapi entah mengapa, perasaan Camelia seperti ditarik begitu kuat, hingga ia tak mampu berpaling.
“Bahkan jika Sena mencintaiku dengan segala cara yang mungkin... tetap saja, Gray yang punya hatiku.” ucapnya lirih.
Di dalam kamar yang sunyi, Camelia kembali menangis. Kali ini, bukan karena marah atau kecewa. Tapi karena perasaan bisa jadi hal yang paling tidak adil di dunia ini.
......................
Langit sore menggantung lembut dengan semburat oranye keemasan. Udara kota yang biasanya pengap mendadak terasa sejuk bagi Camelia. Ia berdiri sejenak di depan cermin, mengenakan dress berwarna biru muda yang jatuh anggun hingga betis, dibalut cardigan tipis berwarna senada. Rambutnya dibiarkan tergerai, membingkai wajahnya yang tampak berseri.
Di tangan kirinya, ia membawa satu tangkai mawar merah. Bukan bunga baru, melainkan satu tangkai yang ia ambil dari buket raksasa pemberian Sena kemarin. Entah kenapa, tangan Camelia begitu ringan saat mengambilnya sebelum berangkat. Barangkali karena itulah bunga yang paling segar dan mudah diraih.
Perjalanan menuju kafe Kalingga terasa lebih lama dari biasanya. Bukan karena macet, melainkan karena pikirannya penuh. Ada rasa gugup, ada harapan, dan tentu saja ada cinta. Ya, cinta yang ia simpan rapi untuk seseorang bernama Gray.
Sesampainya di depan kafe, Camelia berdiri sejenak. Suasana di dalam tampak hangat dan tenang. Lampu gantung temaram menambah nuansa klasik di antara jendela kayu besar yang setengah terbuka. Musik mengalun dari pengeras suara, membuat sore itu terasa seperti babak akhir dari cerita roman yang belum selesai.
Camelia menggenggam bunga itu lebih erat, lalu melangkah masuk. Namun, langkahnya mendadak terhenti.
Tubuhnya menegang di ambang pintu. Mata hazelnya menatap lurus ke arah sosok pria yang duduk sendirian di pojok kafe, berkemeja hitam, wajahnya menunduk memandangi layar ponsel, dan di atas meja, tergeletak setangkai mawar merah sama persis seperti yang ada di tangannya.
Dunia Camelia mendadak membeku. Tubuhnya gemetar hebat, seperti baru saja tersambar kenyataan yang tak pernah ia duga.
Sena.
Sosok pria itu, sang dosen, pria yang berulang kali ia hindari, pria yang dengan gigih mengejar hatinya, adalah Gray?
"Nggak mungkin... ini pasti nggak benar...," gumam Camelia, nyaris tak terdengar.
Bulir-bulir bening mengalir pelan di pipinya tanpa ia sadari. Hatinya seperti diremas keras-keras. Luka yang belum pulih kini ditambah dengan kejutan yang terlalu sulit ia cerna.
Sementara Sena yang sedang menunggu, menoleh ke arah pintu dan saat ia melihat Camelia berdiri di sana, tangannya ikut bergetar. Wajahnya berubah kaku, dan tatapan mereka bertemu, saat itu, segalanya runtuh.
"Malika itu... Camelia?" bisik Sena, nyaris tak percaya.
Ia langsung berdiri, hampir tersandung kursinya sendiri. Napasnya tercekat, tidak menyangka bahwa sosok yang selama ini ia bicarai setiap malam, yang ia temani saat menangis, yang ia kagumi dalam diam adalah Camelia, gadis yang selama ini juga ia kejar dalam wujud nyata.
Namun sebelum Sena sempat melangkah, Camelia lebih dulu berbalik.
Air matanya jatuh tanpa bisa ia tahan, dan langkahnya cepat-cepat menjauh dari pintu kafe. Sepatu yang ia kenakan bahkan tak sanggup meredam bunyi langkah tergesa di lantai trotoar.
"Mel! Tunggu!" pekik Sena dari belakang, menyadari bahwa Camelia tidak akan kembali dengan sendirinya.
Ia berlari keluar, menerobos orang-orang yang baru saja datang, tanpa peduli tatapan bingung dari para pengunjung. Bunga di tangannya tetap tergenggam, kini seolah tak berarti apa-apa dibandingkan kehilangan yang menghantui langkah Camelia.
Jarak mereka tak jauh. Tapi hati Camelia terasa sangat jauh, seperti telah pergi entah ke mana.
“Mel!” panggil Sena sekali lagi, berhasil meraih pergelangan tangan gadis itu.
Camelia menghentikan langkahnya, tapi tidak menoleh. Suara napasnya berat. Bahunya naik-turun, menahan tangis dan kemarahan yang bercampur aduk.
Sena berdiri di belakangnya, diam.
“Aku... nggak bermaksud seperti ini,” ucap Sena, akhirnya.
Camelia menarik tangannya perlahan. Lalu, ia menoleh. Matanya merah, wajahnya penuh kekecewaan yang tak bisa ia sembunyikan.
“Jadi... kamu yang ada di balik nama Gray?” tanya Camelia, suaranya pelan tapi cukup untuk menghantam dada Sena sekuat palu godam.
Sena mengangguk pelan. “Iya.”
Ia tidak tahu harus berkata apa. Bahkan pada titik ini pun, Sena masih belum tahu kalau Malika, sosok yang ia kenal melalui aplikasi kencan dan yang selama ini menjadi tempat ia melabuhkan rindu adalah Camelia itu sendiri. Yang ia tahu, gadis di depannya adalah seseorang yang membuatnya jatuh cinta dua kali, dalam dua wujud berbeda, di dunia nyata dan dunia maya.
Namun, Camelia, ia tahu betul siapa Sena, bahwa pria yang selama ini menemaninya lewat layar ponsel adalah orang yang sama dengan pria yang berdiri di depannya kini, dosen yang membuat hidupnya campur aduk.
Camelia masih terguncang. Ia ingat setiap malam ketika suara Gray menjadi pelarian paling hangat, tempat semua beban hidupnya diceritakan termasuk tentang Sena. Walau tanpa menyebut nama, kini ia merasa malu, hancur, dan terluka.
Namun ia tetap diam. Tak sepatah kata pun terucap, matanya sudah terlalu basah untuk sekadar melihat jelas wajah pria itu.
Sena mengambil langkah kecil, mencoba mendekat, tapi Camelia mundur satu langkah.
“Mel, tolong dengarkan aku. Aku tidak tahu kalau Malika adalah kamu. Aku bersumpah tidak pernah berniat membohongi atau mempermainkan kamu. Ini semua, kebetulan yang Tuhan sengaja buat, aku yakin itu. Aku mencintai Malika, aku mencintaimu dengan cara yang sama.” ucap Sena.
Camelia tetap tak menjawab. Dadanya penuh sesak, seolah satu detik lagi akan meledak karena emosi yang tak tertampung.
Melihat Camelia hendak berbalik, Sena bertindak cepat. Ia menarik pergelangan tangan Camelia, lalu membawanya mendekat. Satu tangan meraih tengkuk gadis itu dengan penuh gentleness, matanya menatap Camelia dalam-dalam, memohon izin yang tak pernah ia ucapkan.
“Maaf... aku nggak bisa kehilangan kamu lagi,” ucapnya, napasnya berat menahan gejolak.
Lalu, tanpa aba-aba, bibir Sena menempel lembut di bibir merah Camelia. Sebuah ciuman yang tidak terburu-buru, ciuman yang lahir dari rasa rindu, rasa sakit, dan juga cinta yang telah lama tertahan.
Camelia, meski air mata masih mengalir di pipinya, memejamkan mata perlahan. Tidak membalas, tidak pula menolak. Hanya diam, memberi jeda bagi Sena untuk menunjukkan cinta yang selama ini tak bisa ia ungkap dengan kata-kata.
Beberapa detik berlalu. Saat ciuman itu berakhir, Sena menunduk dan memeluk tubuh Camelia erat. Tubuh yang selama ini hanya bisa ia impikan, kini ada dalam pelukannya, hangat, rapuh, dan nyata.
“Maaf… maaf, Mel...,” ucap Sena berulang kali di telinga gadis itu, suaranya pecah, penuh penyesalan dan ketakutan.
Akan tetapi Camelia tetap diam. Tangannya menggantung, tak membalas pelukan itu. Ia hanya berdiri di sana, menangis dalam senyap. Menangisi segalanya, kebohongan, kenyataan, dan juga hatinya sendiri. Sore yang mulai beranjak malam, hanya pelukan itu yang tersisa, menggantung di antara kenyataan dan ketidakpastian.
Terkadang, cinta datang dengan cara yang paling aneh. Ia menyamar sebagai kebetulan, menjelma menjadi luka, lalu mengetuk hati dengan pelan. Tapi mampukah hati yang pernah hancur percaya pada cinta yang sama, untuk kedua kalinya?