Bijaklah dalam memilih tulisan!!
Kisah seorang penulis online yang 'terkenal lugu' dan baik di sekitar teman-teman dan para pembaca setianya, namun punya sisi gelap dan tersembunyi—menguntit keluarga pebisnis besar di negaranya.
Apa yang akan di lakukan selanjutnya? Akankah dia berhasil, atau justru kalah oleh orang yang ia kendalikan?
Ikuti kisahnya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alensvy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28
...****************...
Aresya keluar dari kamar dengan rambut masih sedikit basah, mengenakan blouse putih dan celana kain longgar berwarna krem.
Wajahnya segar usai mandi, namun tak bisa menyembunyikan bekas mencolok di lehernya. Bekas yang diciptakan oleh Arion—bekas yang kini dibiarkannya terpampang tanpa ditutupi.
Arion yang sudah menunggu di lorong depan kamar menoleh dan memandang Aresya sekilas, lalu cepat-cepat mengalihkan pandangan. Meskipun ia mencoba terlihat biasa saja, telinganya merah samar.
“Kita harus pulang,” ucap Arion sambil mulai melangkah di depan Aresya.
“Banyak kerjaan tertinggal karena semalam nggak ke kantor.”
“Baik, suamiku yang pekerja keras,” balas Aresya enteng dengan nada menggoda samar, berjalan santai di belakangnya.
Begitu mereka turun ke ruang makan, Daria sudah duduk dengan secangkir teh, sementara Alexander Camaro berdiri di dekat jendela, memandangi halaman.
“Ayah, Ma, kami pamit dulu,” kata Arion datar namun tetap sopan.
Daria menoleh dan tersenyum hangat. Tapi senyumnya langsung berubah menjadi malu-malu begitu matanya menangkap bekas mencolok di leher Aresya.
Ia menutupi mulutnya pelan dan tertawa kecil, seolah senang dan percaya bahwa anak dan menantunya memang saling mencintai.
Sebaliknya, Alexander hanya menoleh perlahan. Tatapannya tajam. Sorot matanya jelas tak menyukai pemandangan itu—terutama saat melihat leher Aresya yang ‘ditandai’ oleh putranya. Rahangnya mengencang, namun ia tak mengucap sepatah kata pun.
Aresya yang menyadari semua perbedaan pandangan itu justru menebar senyum manis dan sopan, lalu membungkuk kecil.
“Terima kasih untuk jamuannya, Pa, Ma.”
Alex hanya mengangguk singkat. Dingin.
Sementara Daria langsung berdiri dan menggenggam tangan Aresya.
“Kapan-kapan kalian menginap lebih lama ya, Nak. Mama suka lihat kalian bersama.”
Aresya menoleh pada Arion dan tersenyum menggoda, lalu menjawab dengan nada lembut yang disengaja,
“Iya, Ma. Kami juga senang… menghabiskan malam di sini.”
Tatapan Arion tajam melirik Aresya, rahangnya bergerak naik turun pelan. Dan Alex? Kali ini jelas mengepalkan tangannya di balik punggung. Sementara Daria hanya tertawa kecil, polos tanpa menyadari api kecil yang mulai menyala di sekelilingnya.
...****************...
Mereka tiba di penthouse Arion saat matahari sudah mulai condong ke barat. Langit jingga memancar lembut dari balik jendela besar yang memamerkan pemandangan kota.
Aresya turun lebih dulu, membuka pintu dengan tenang. Saat sampai di ambang pintu, ia melepas sepatunya perlahan, satu demi satu, lalu berdiri tegak tanpa menoleh.
“Aku pergi bekerja dulu,” ucap Arion tiba-tiba dari belakang.
Aresya tersenyum samar.
“Baiklah… hati-hati,” katanya pelan, suaranya tenang namun terdengar seperti sudah hafal bahwa Arion akan pergi. Tanpa menoleh sedikit pun, ia langsung berjalan masuk ke kamarnya, menyisakan jejak wangi tubuhnya di udara.
Arion masih berdiri di ambang pintu.
Menatap punggung Aresya yang perlahan menghilang di balik pintu kamar.
Tangan kirinya mengepal kuat di samping tubuh, dan untuk beberapa saat dia hanya diam di sana. Seolah ada sesuatu yang tak bisa ia keluarkan. Perasaan yang menumpuk, samar antara kecewa, tergoda, dan… ketertarikan yang makin hari makin tak bisa ia bantah.
Rahangnya mengencang.
“Dasar perempuan licik,” gumamnya nyaris tak terdengar.
Lalu, tanpa berkata apa pun lagi, ia membalikkan badan dan meninggalkan penthouse, langkah-langkahnya berat seakan membawa beban yang tak bisa ia cerna sendiri—beban yang bernama Aresya.
...****************...
Malam pun tiba dengan kesunyian. Hanya suara detik jam dan embusan pendingin ruangan yang menemani Aresya yang tengah berbaring di ranjang mewah miliknya. Matanya terpejam, tapi otaknya penuh perhitungan.
Perlahan, ia bangkit.
Langkahnya pelan. Kakinya telanjang menyentuh lantai dingin. Rambutnya tergerai acak dan piyama sutranya tampak sedikit melorot dari bahu, memperlihatkan kulit pucat yang lembut dan menggoda. Ia berjalan menuju pintu, seolah masih dalam tidur—padahal tidak.
Seperti malam itu. Seperti rencananya.
Tangan mungilnya memutar kenop pintu kamar Arion. Perlahan dibuka… tanpa suara.
Tapi…
Kosong.
Tempat tidurnya rapi. Tak ada Arion di sana. Tidak ada jejak pria itu sama sekali. Hanya keheningan dan udara dingin yang menyambutnya.
Aresya berdiri di ambang pintu, diam sejenak.
Kemudian dia mendesah ringan. Bibirnya membentuk senyuman miring.
“Jadi kau menghindar, ya… Arion Camaro,” bisiknya pelan, hampir seperti gumaman seorang istri yang baru saja dikhianati mainannya.
Ia menyandarkan bahu di kusen pintu, matanya menatap ke dalam kamar yang kosong itu.
“Tapi sampai kapan, hm? Kau tak akan bisa lari terus dariku.”
Dengan langkah lambat dan anggun, Aresya membalikkan tubuhnya, menyusuri lorong kembali ke kamarnya. Namun, senyuman di wajahnya belum hilang. Bahkan semakin tipis. Semakin beracun.
Rasa penasaran Arion terhadap dirinya… akan jadi senjata paling mematikan.
...****************...
Pukul tiga pagi.
Lampu ruangan kantor Arion masih menyala. Layar komputer di depannya tak lagi menampilkan apapun, hanya cahaya putih yang membutakan.
Sementara dirinya terduduk di kursi, kepala bersandar di sandaran, tangan tergenggam di atas perut. Sunyi. Dan sesak.
Matanya merah. Bukan karena kurang tidur, tapi karena perasaan yang tak kunjung bisa ia namai.
Lelah. Kesal. Terjebak. Frustasi.
Dan semuanya berasal dari satu nama yang kini membuatnya gila—Aresya.
"Apa yang sebenarnya kau mau dariku, hah?" gumamnya. Suaranya parau, seperti baru saja menelan bara.
Dia bangkit dengan kasar, menjatuhkan kursinya. Berjalan maju ke jendela besar ruangannya, menatap langit malam yang kosong… sama seperti isi kepalanya sekarang.
"Aku yang buat aturan. Aku yang atur semuanya. Kenapa jadi aku yang dihancurkan?" ujarnya lirih, penuh geram.
Tangan kanannya menghantam kaca. Tidak cukup kuat untuk memecahkan, tapi cukup untuk membuat buku jarinya merah dan perih.
Sama seperti isi dadanya.
"Kenapa, sialan... kenapa wajahmu gak pernah hilang dari otakku?"
Ia tertawa miris, nadanya seperti orang yang benar-benar kehilangan arah.
"Padahal kau cuma cewek asing. Tiba-tiba muncul, tanda tangan kontrak, dan—brengsek—jadi istriku."
Ia berjalan ke meja, menatap selembar kertas fotokopi surat nikah yang entah kenapa dibawanya ke kantor. Ditatapnya lekat-lekat, sebelum diremas dan dilempar ke lantai.
"Aku gak mencintaimu. Gak mungkin mencintaimu!"
Suaranya naik, namun menggema hampa dalam ruangan sepi.
Namun hatinya tahu… ia sedang berbohong. Karena kalau bukan cinta, lalu apa namanya perasaan yang menyesakkan dada setiap kali Aresya menyeringai seperti tahu dirinya menang?
Kalau bukan cinta, lalu kenapa tiap malam ia harus ‘menyiksa’ diri sendiri hanya demi meredam hasrat yang tak bisa ia salurkan?
"Ini gak masuk akal… ini semua salah…"
Ia kembali duduk di kursinya. Menutupi wajah dengan kedua tangan.
“Aku membatasi diriku dengan kontrak, tapi malah terperangkap dalam rasa.”
“Aku yang mengendalikannya, tapi sekarang dia yang menahan nafasku.”
“Dan yang paling menyakitkan… aku gak bisa mundur.”
Arion tertunduk, membeku dalam kegilaan yang ia buat sendiri.
Dan saat malam menjelang pagi… hanya satu hal yang benar-benar ia sadari:
Aresya adalah bencana.
Dan dia—dengan bodohnya—sudah terlalu dalam terperangkap.
.
.
Next 👉🏻
gitu gak sih thor? salah satu tujuannya? 🤔