Ariana harus menerima pukulan terberat dalam hidupnya, ketika suaminya ketahuan selingkuh dengan adiknya. Siapa yang mengira, berkas yang tertinggal suatu pagi membawa Ariana menemukan kejadian suatu perselingkuhan itu.
Berbekal sakit hati yang dalam, Ariana memutuskan untuk pergi dari rumah. Namun dibalik itu, dia secara diam-diam mengurus perceraian dan merencanakan balas dendam.
Apakah Ariana berhasil menjalankan misi balas dendamnya??
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ristha Aristha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dimas Muncul Lagi
Haaa ~ sudah berapa kali aku menghela nafas sejak duduk di depan meja dari tadi pagi. Bukan karena beban pekerjaan yang menumpuk, melainkan pikiran yang tak kunjung henti memutar kejadian semalam. Rasanya, kepalaku dipenuhi awan kelabu yang terus menghalangi sinar matahari.
"Bisa-bisanya aku nampar Anton di depan Tante Nurma", gumamku, tangan meremas keningku seolah bisa menghapus rada malu dan penyesalan yang berbaur jadi satu.
Saat aku masih tenggelam dalam pusaran pikiran, suara gesekan kursi mengalihkan perhatianku. Ketika menoleh, Gladys sudah berada disampingku, senyumnya yang manis tapi terlihat dipaksakan?
"Kamu kenapa, Ri?" Tanyanya mata penuh perhatian dan rasa ingin tahu.
Aku mengernyit, mencoba menutupi kekalutan. "Aku? Nggak apa-apa. Kenapa emangnya?"
"Daritadi kamu menghela napas terus, pasti lagi ada yang dipikirkan, kan?"
Aku menghela napas lagi, kali ini lebih dalam. "Maaf, apa kamu ngerasa keganggu?" Tanyaku dengan nada tak enak.
Dia menggeleng pelan, senyumnya tak pudar. "Nggak, sih. Tapi barangkali kamu mau cerita, kamu bisa ceritain ke aku ", sambungnya dengan nada ceria. "Mungkin kamu lagi ada masalah sama tetangga, misal?"
"Tetangga?" Dikatakan benar, tapi aku tidak ada masalah dengan Kenzi. Tapi dikatakan salah, kami semalam berantem di tempat tetanggaku, tapi...
"Iya". Gladys mengangguk, sorot matanya mencoba menembus dinding pertahananku. "Gimana perasaanmu sekarang? Apa kamu masih sakit hati dengan tetanggamu itu?"
"Y_ya?" Mataku membulat tanpa sadar. Darimana gadis ini menebak semua itu?
"Maksudku, aku cuma ingin tahu perasaanmu setelah dihina sama kak __"
Aku memiringkan kepala sedikit, menyipitkan mata. Bukankah Gladys terlalu akurat jika hanya menebak? "Apa... Aku pernah bilang sesuatu sama kamu?"
Kulihat matanya tiba-tiba membulat, sepertinya terkejut dengan ucapanku. Ah, maksudku..." Bola matanya bergeser kesamping, seolah mengindari tatapanku yang penuh dengan rasa curiga. "Bukan gitu... Intinya, kamu masih sakit hati atau enggak? Aku cuma mau tau itu aja".
Aku menatap Gladys dengan curiga, merasa dia tahu lebih banyak daripada apa yang dia katakan. Namun belum sempat aku bertanya lebih jauh, dia sudah lebih dulu berkata, "Beneran, Riana. Aku cuma mau tanya itu. Bukan berarti aku disuruh orang lain atau__"
Keningku semakin mengkerut. Aku tidak begitu paham dengan apa yang dia katakan, tetapi semakin Gladys berbicara, semakin membuatku curiga.
Setelah beberapa saat aku bergeming, menatapnya dengan tatapan meminta penjelasan. Gadis itu malah meringis, lalu melengos, menarik kursi sambil menjahuiku. "Oke. Kelihatannya kamu masih sakit hati".
Kemudian dia terlihat mengambil ponsel dan mengetik sesuatu disana. Sebentar, beri aku waktu untuk mencerna obrolanku dengan gadis itu barusan. Kami yang tidak nyambung, atau hanya aku yang tidak paham dengan anak muda sepertinya?
Namun berapa kali pun dipikir, itu tidak ada pengaruhnya untuk hidup atau pekerjaanku. Sekarang yang terpenting, aku harus menghilangkan kejadian semalam dan kembali fokus kerja.
"Oke. Sekarang tinggal naskah dari penulis___"
"Ariana!"
Aku tersentak, sedikit kaget karena tidak sadar tiba-tiba Gladys sudah ada di sampingku lagi. Ludah yang mendadak kering, aku telan dengan kasar. "Ada apa?"
Tak langsung menjawab, kulihat Gladys memeriksa ponselnya terlebih dahulu, seperti sedang memastikan sesuatu. Lau setelahnya, dia barulah bertanya, "Kira-kira gimana caranya biar kamu tidak sakit hati lagi sama tetanggamu?"
"Hah?" Bisa aku rasakan bibirku menganga, heran dengan pertanyaan Gladys barusan. Kalaupun aku bilang, lantas apa hubungannya dengannya?
"Misal nih tetangga kamu mau minta maaf, apa yang harus dia lakukan biar kamu maafin dia?* Jelasnya lagi, membuatku semakin tak mengerti.
Saat aku bergeming, menatap gadis yang masih menunggu jawaban dengan sabar. "Bentar. Kenapa dari tadi kamu penasaran banget sama itu?" Tanyaku akhirnya.
"Oh, gak papa, aku cuma penasaran aja", katanya, senyum cerianya kembali terpancar. "Tapi kalau kamu gak mau jawab gakpapa. Sekarang lanjut ke pertanyaan lain, apal yang kamu su__"
"Bentar, Gladys ", aku mengangkat tangan, memberi isyarat agar gadis itu memberi jeda sebentar. "Aku gak masalah kamu tanya-tanya, tapi kenapa? Apa alasannya?"
"Alasannya?" Lagi-lagi gadis itu mengalihkan pandangannya entah kemana. Jelas sekali, dia sedang menyembunyikan sesuatu. "Alasannya aku cuma __"
"Riana, bisa kesini sebentar?"
Refleks aku dan Gladys langsung menoleh ke sumber suara. Aku segera menyahut begitu melihat salah satu rekan kerja memanggil. "Ah, ya. Aku kesana", ucapku sambil buru-buru bangkit.
"Sorry ya, Gladys. Aku harus kesana dulu", sambungku, beralih pada gadis yang tengah mengajakku berbicara.
Usai mendapatkan anggukan, aku gegas menghampiri rekan editor yang memanggilku tadi, memastikan jika ada pekerjaan yang harus aku lakukan.
"Kamu biasakan hubungi bagian percetakan?" Tanyanya.
Aku memeriksa satu bendel naskah sebentar, lalu mengangguk. "Ini sudah final, kan? Gak perlu ada yang direvisi lagi?"
"Udah gak ada. Udah buruan, penulis minta sampelnya besok".
Aku buru-buru mengangguk dan beralih meraih telepon, mulai menghubungi percetakan.
Meski sibuk, setidaknya aku beruntung karena bisa teralihkan dari masalah semalam.
***********
Tak terasa, akhirnya aku bekerja sampai malam. Naskah yang katanya sudah final, nyatanya masih banyak naskah yang perlu direvisi. Aku bahkan harus mendengarkan Omelan dari bagian percetakan. Sudah minta buru-buru, tapi mendadak kirim naskah untuk dicetak.
Aku duduk di kursi panjang depan apartemen sambil memegang kopi kalengan yang kubeli dalam perjalanan pulang tadi. Rasanya menyegarkan melamun dibawah bintang-bintang, selain bosan, aku butuh udara segar.
Ngomong-ngomong soal bintang, aku jadi teringat gombalan Dimas dimasa lalu. Katanya, "Mencintai dia seperti menghitung bintang dilangit". Saat aku kenapa, dia menjawab, "Tak terhingga ". Aku yang saat itu masih naif, malah tersipu malu-malu.
Namun sekarang aku baru sadar, mencintai Dimas memang seperti menghitung bintang-bintang dilangit, buang-buang waktu.
Tanpa sadar aku tertawa sendiri. Tidak tahu jika ada seseorang yang tiba-tiba sudah berdiri di belakangku.
"Ada yang lucu?"
Aku buru-buru menoleh kebelakang. Kenzi berdiri disana, dia tersenyum sambil membawa.... Kebab?
"Aku lihat kamu tertawan sendiri, jadi aku pikir ada yang lucu", katanya sambil duduk di sampingku tanpa permisi.
"Mau?" Tanyanya, menawarkan kebab yang dia bawa. Hanya satu, seharusnya dia bawa dua jika benar berniat menawariku.
Aku menggeleng. "Nggak usah", kataku, namun tiba-tiba teringat sesuatu. "Bentar. Bukannya kamu alergi gandum, ya?"
Kenzi terkejut. "Ya. Astaga, Aku lupa. Kulit kebab ini dari gandum, ya?"
Aku menelan ludah, bingung harus bersaksi seperti apa. Bisa-bisanya dia lupa dengan hak yang bisa membahayakan dirinya sendiri.
"Kalo gitu, ini buat kamu aja, Riana", katanya lagi.
Keningku mengkerut, ragu-ragu menerima kebab dari Kenzi.
"Nggak mau?" Tanyanya lagi. " Kalo kamu gak mau, yasudah kubuang saja darip___"
"Eh, bentar!" Aku segera menghentikannya. "Siapa bilang aku gak mau?"
Kenzi tersenyum, tampak puas berhasil memancing reaksiku. "Nih", katanya, sambil terus menyodorkan kebab kedepan wajahku.
"Yaudah, kalo kamu maksa", ucapku, lalu menerima kebab itu dan menggigitnya. Tiba-tiba bola mataku melebar, aku menatap Kenzi dengan berbinar. "Ini enak. Dimana kamu beli ini?"
Senyum diwajah Kenzi terlihat semakin mengembang. Tapi dia menggeleng. "Tapi aku gak inget, tadi Nemu dijalan, terus aku bawa aja".
"Idih...." Aku menyipitkan mata, memberi kesan jika aku samasekali tidak percaya dengan bualan Kenzi barusan. "Tapi terserahlah, yang penting ini enak. Terimakasih, ya".
Kenzi terkekeh, entah apa yang lucu. Meski di detik yang sama dia mengangguk. "Syukurlah, kamu kelihatan udah baikan", katanya.
Keningku kembali mengkerut. "Kamu lagi bahas soal yang semalam?"
"Iya. Aku beneran ngerasa gak enak sama kamu".
Aku menarik napas dalam, menurunkan kebab yang sedang aku makan. "Aku juga minta maaf karena sudah bikin ribut, malahan aku yang menampar kakak kamu ".
"Soal itu, memang kak Anton yang sudah keterlaluan ", jelas Kenzi dengan cepat. "Jadi kamu gak perlu merasa bersalah, Riana. Dia yang kurangajar telah menghina kamu ".
Aku tertawa sebentar, sambil mengangguk. "Iya, iya. Aku udah gakpapa, lagian yang dia omongin soal statusku bener, gimanapun aku memang janda ".
"Riana!" Kenzi tiba-tiba meninggikan suaranya, membuatku sedikit terkejut. "Apa yang salah jadi janda? Kamu tetap Riana, gak ada yang beda. Jangan rendah diri, Oke?"
Meski hanya sedikit, tapi kalimat Kenzi barusan benar-benar membuatku merasa lebih baik. Ya, dia memang anak yang selalu bisa mengatakan apa yang orang lain ingin dengan.
"Ngomong-ngomong soal kakakku, dia punya alasan kenapa benci banget sama status janda?" Sambung Kenzi, yang berhasil membuatku mengernyit penasaran. "Dulu dia pernah berhubungan sama__"
"Maira...."
Siapa lagi yang menghentikan Kenzi bercerita ditengah jalan? Aku masih penasaran dengan kelanjutannya, tapi entah dari mana tiba-tiba ada yang memanggilku.
Aku menoleh, namun bibirku langsung terbuka hampir tak bisa tertutup. Dimas... Ngapain pria keparat itu ada disini?
"Riana, bisa aku bicara berdua sama kamu?"