Aku memang perempuan bodoh soal cinta, pacaran 5 tahun tapi menikah hanya 8 bulan. Tak pernah mendengar nasehat dari orang tua dan sahabatku, perkara pacarku itu. Aku nekad saja menikah dengannya. dalihku karena sudah lama kenal dengannya aku yakin dia akan berubah saat menikah nanti.
Ternyata aku salah, aku serasa teman tidur saja, bahkan aku tak diberi nafkah lahir, ditinggal dikontrakan sendiri, keluarganya tidak pernah baik padaku, tapi aku masih bodoh menerima dan sabar menghadapi tingkahnya. Bahkan cicilan dan biaya rumah sakit aku yang meng-cover. Gila gak? bodoh banget otakku, hingga aku di KDRT, dan itulah titik balikku berpisah dengannya, hingga menemukan kebahagiaan bersama seseorang yang sama sekali tak kukenal, tapi bisa mewujudkan impian pernimahan yang aku inginkan, hanya karena apa? restu orang tua.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
SAAT PELAMPIASAN
Ngapain kamu kontrak segala. Aku tersenyum saja membalas pesan Mas Akbar, bisa dibayangkan dia marah, semarah-marahnya. Mana mau dia diajak berubah, sadar akan dirinya sudah menjadi suami, dan harus memikirkan kenyamanan hidup sang istri. Kalau gak dikasih pelajaran dulu, dia akan selalu begitu.
Lah sudah diusir sama mertua bukannya. Gak boleh masuk loh kemarin. Kalau tinggal di rumah ibu, khawatir nama kamu jelek. Jadi lebih baik aku ambil kontrakan saja.
Di mana kontrakannya?
Nanti aku share loc.
Lagi-lagi kamu mengambil keputusan yang terlalu cepat. Jadi menantu itu yang sabar. Gak dikit-dikit langsung ambil keputusan. Hormati aturan di keluarga suami.
Kamu menghormati aku gak?
Ya kamu kan istri aku, harusnya kamu menghormati kedua orang tuaku dulu, baru bisa kita menghormati kamu.
Hormat itu seperti apa sih? Ya kali aku harus ngemis sedangkan aku sendiri sudah tidak boleh masuk rumahnya. Perkara mesin cuci juga nanti bisa dipakai bareng, beliau gak perlu capek mengucek. Kenapa sih niat baikku selalu buruk di mata keluarga kamu.
Aku sudah kasih tahu, jangan menyamakan aturan di keluarga kamu dengan keluargaku. Kamu tetap saja ngeyel, keras kepala, mau kamu sendiri.
Makanya, karena aku mau hidup sesuai mauku sendiri, makanya aku pilih kontrak.
Oke. Karena itu pilihan kamu, aku gak mau bayar kontrakan itu.
Gak masalah.
Aku gak suka cewek bekerja itu begini, sok punya kuasa, tapi ujung-ujungnya mengharap uangku.
Aku tak membalas lagi. Rasanya kalau mau diungkap juga nanti Akbar marah, malah semakin ngadi-ngadi saja omongannya. Lebih baik aku segera membeli spring bed, untuk tempatku tidur malam ini dan minta diantar sore.
Beruntung kakak Melda sangat baik, hingga area kontrakanku dibersihkan, dipel, sehingga saat aku diantar Melda, aku sudah tidak perlu lagi membersihkannya. Proses pembayaran selama setahun, sudah aku bayar lunas, tak lama spring bed kecil pun datang, dan aku minta untuk dimasukkan ke dalam kamar. Urusan kontrakan beres, selepas maghrib aku segera memesan ojol menuju rumah mertua. Aku yakin Mas Akbar tidak di rumah karena hari ini dia shift malam.
Rumah mertua terbuka, dan tumben sekali ibu dan kedua kakak iparku berada di ruang tamu, sedangkan ayah mertua biasanya masih di mushola sampai isya.
Aku mengucap salam, mereka menjawab dengan ketus. "Pulang akhirnya?" tanya ibu mertuaku.
"Jadi menantu kok enak banget ya, pulang sesuka hati. Gak menghormati mertua sekali," sahut kakak iparku, namun aku tak mau memperpanjang. Aku hanya tersenyum saja.
Aku menghadap ibu, dan mengutarakan niatku untuk mengontrak saja, agar lebih mandiri. Tahu gak jawabannya apa, "Ya gak pa-pa kalau kamu ngontrak, daripada pemborosan di rumah ini. Kapan?"
"Ini saya mau ambil barang-barang saya, Bu!" beliau mengangguk saja, mungkin kaget karena aku pergi dari rumah ini.
"Kemarin dia bayar uang listrik dan air gak, Bu? Kok langsung keluar begitu," aku memejamkan mata mendengar ocehan kakak iparku itu. Kalau saja aku gak diajak oleh Akbar tinggal di sini, gak bakal aku mau mandi dan pakai listrik di rumah ini. Tapi tak apa, nanti aku kasih uang tempel sebelum aku pergi.
Koper sudah aku bawa, dan bisa dipastikan tidak ada barang yang tertinggal, aku pamit pada mereka tak lupa memberi uang 300ribu pada ibu, tak lupa minta maaf kalau aku banyak salah selama tinggal di sini. Ibu mertua tak menjawab hanya menerima uang amplop itu saja.
Aku mengangkat koper sendiri, lalu kuikat dengan tali rafia, "Saya pergi ya, Bu. Assalamualaikum!" pamitku lalu starter motor menuju kontrakan.
Selama perjalanan aku terbengong, sudah tak pedulikan kendaraan lain yang terus menyalip. Aku hanya ingin merasakan dinginnya malam dan keluar dari rumah mertua. Lega sekali, sungguh lebih plong daripada kebelet pup. Aku tak peduli dengan Akbar, rasanya sudah terlalu sebal pada sikapnya.
Koper aku turunkan, motor aku masukkan ke dalam ruang tamu. Lalu aku menunaikan sholat isya, dan bersiap tidur. Chat dari Akbar sama sekali tak ada. Biarlah, aku tak menunggunya.
Ternyata dia mendiamkanku hingga seminggu lebih, dan aku juga tak berniat menghubungi. Justru aku terus bertelepon ria dengan ibu dan adikku, aku meminta bantuan untuk mengirim mesin cuci kemarin ke kontrakanku. Bahkan ibu sempat menginap di kontrakan kecilku ini.
"Kamu anak pertama, Mbak. Ego mu tinggi, kalau kamu gini terus, rumah tangga kamu yang menjadi korban."
"Iya, Bu. Aku memang egois banget, tapi aku kira lebih baik begini."
"Akbar juga kenapa gak menyusul kamu?" jelas aku tak tahu, mungkin kalau dia tinggal di sini khawatir aku suruh bayar kontrakan, sehingga dia tak mau menengokku. "Harusnya kamu ini masih tergolong pengantin baru, mesra-mesranya bulan madu, eh malah pisah rumah."
"Suami bego, ngapain diurus!" ucapku kesal, ibuku tertawa ngakak.
"Lebih bego kamu, Mbak. Udah tahu Akbar sejak dulu gak mau ngalah, tak ada perkembangan untuk bekerja lebih baik lagi, masih saja kamu pertahankan. Soal gaji, kamu lebih tinggi. Soal pendidikan, kamu lebih tinggi. Kamu lihat dia itu dari sisi apa sih. Ibu yang gak kuliah saja gak mau sama Akbar, Mbak."
Aku diam, aku sendiri juga bingung kenapa aku segoblok ini mau hidup dengan Akbar. Tiga tahun belakangan memang sifat asli Akbar sering sekali terlihat tanpa sengaja, dan rasanya aku memaklumi saja, tapi saat hidup berumah tangga kok rasanya pengen tonjok juga. Arrgh, nasi sudah jadi bubur, biarkan saja dulu. Mungkin datangnya masalah rumah tanggaku di awal pernikahan. Untuk kesekian kalinya aku akan bertahan dengan Mas Akbar.
Aku kaget saat weekend datang. Tiba-tiba setelah shubuh, aku berniat tidur lagi, ada yang mengetuk pintu. Ternyata Mas Akbar, setelah hampir 2 minggu kita tidak bertemu dan chat, dia menemuiku di kontrakan, dan apa tujuannya hanya menyalurkan kebutuhan biologisnya.
Aku tak menolak, toh aku sendiri juga butuh penyaluran sebagai perempuan dewasa. Kami melakukannya penuh hasrat, tak perlu munafik, aku juga sangat menikmati. Entah berapa kali dia keluar yang jelas sampai tengah hari kita masih bergelung dalam selimut dan pelukan.
"Mau ke mana?" tanyanya saat aku turun dari spring bed.
"Minum," jawabku masih tak memakai apa-apa. Kemudian Mas Akbar juga ikut bangun, memelukku dari belakang. Kondisi kontrakanku meski kecil, tapi perlengkapan utama sudah tersedia. Ingat, tak ada uang Mas Akbar yang masuk dalam kontrakan ini, bahkan uang nafkah sejak awal saja aku tak diberi.
"Enak tinggal di sini?" tanyanya sembari mencium pundakku. Aku mengangguk.
"Tapi aku gak mau tinggal di sini, gimana dong!" aku tersenyum muak. Tak peduli.
"Datang saja di saat kamu butuh pelampiasan," jawabku enteng. Aku sudah tidak mau ambil pusing, dan aku sendiri tak mau tinggal di rumah mertua lagi.
up teros sampe pagi