PENGHIANATAN SANG ADIK
Aku turun dari mobil dengan buru-buru. Sekarang waktu sudah menunjukkan pukul setengah delapan, seharusnya aku sudah hampir sampai kantor. Sialnya, naskah penting yang harus dikurasi hari ini tertinggal di rumah. Sambil berkejaran dengan waktu, aku memutar balikkan kendaraan dan menginjak pedal gas kuat-kuat.
"Ah, kenapa harus ketinggalan, sih?" gumamku sambil memasukkan kunci kedalam lubang pintu.
Entah aku memang gugup, atau memang pintu di depanku terasa aneh? Aku yakin tadi aku meninggalkan rumah dalam keadaan terkunci, sebab tadi pagi Dimas suamiku izin keluar terlebih dahulu.
Namun saat aku memutarnya, pintu jelas sekali tidak terkunci. Mungkin suami ku sudah pulang atau ada barang yang tertinggal ? Jika benar, kebetulan sekali.
Tak mau berpikir macam-macam, aku segera memutar gagang pintu dan mendorongnya kedalam.
"Sayang...!" aku memanggil suamiku dengan sumringah. "Kamu sudah pulang, atau ada ketinggalan sesuatu?" tanya ku sambil menyusun berkas yang tergeletak diatas meja ruang tengah.
Setelah dipastikan semua naskah sudah dimasukkan kedalam totebag, pandanganku mengedar ke seluruh ruangan, berharap suamiku muncul entah darimana.
Akan tetapi, lelaki pujaan hatiku tak kunjung terlihat meskipun aku sudah menunggunya dari tadi. Hingga dua atau tiga detik, mataku berhenti pada pintu kamar yang tertutup.
Pikir Ariana mungkin suaminya ada didalam kamar. Kemudian dia berjalan mendekati pintu ruangan dimana kami selalu tidur bersama.
Langkahku sengaja buat mengendap-endap. Pasti sangat menyenangkan melihat ekspresi wajah wajah suamiku. Membayangkan saja sudah bisa membuatku gemas.
Awalnya aku ingin mendorong pintu dengan keras, tapi tiba-tiba langkahku terhenti saat mendengar suara aneh dari dalam.
Wajah isengku berubah menjadi penasaran yang besar. Suara lenguhan terdengar tidak asing. Ya, itu sama persis seperti yang terjadi saat kami bergumul madu kasih tadi malam.
Aku masih mencoba berfikir positif, ku mendekatkan telingaku ke pintu. Aku berharap dugaanku salah. Bisa jadi Dimas sedang menonton adegan panas didalam.
Namun semakin aku menyimak, semakin berdebar pula jantungku dibuatnya. Aku berharap suara lenguhan itu berasal dari video, tapi jelas sekali.... suasananya terdengar sangat nyata.
"Ah, ouch-ya, disana, Mmph..."
Mata mendelik mendelik, debaran di dadaku seperti genderang yang kehilangan irama saat mendengar suara seksi penuh gairah seorang wanita terdengar jelas melalui celah pintu.
'Siapakah itu? Apakah mungkin diam-diam Dimas membawa panggilan kerumah?' batinku
Otakku mendadak beku. Jika itu benar, mungkin aku akan mengamuk saat itu juga. Aku berpikir itu adalah kemungkinan terpahit yang akan aku terima, sayangnya tidak.
Sebab diantara suara nafas kasar yang saling bertukar, nama seorang wanita yang aku kenal dengan baik keluar dari mulut suamiku.
"Ayunda, kamu pinter banget puasin aku".
Sudah cukup! Aku tidak bisa menunggu lagi didepan pintu sampai dua binatang itu selesai.
BRAKK!!
Aku menendang pintu dengan sekuat tenaga. Mungkin karena amarahku naik ke ubun-ubun, aku merasa tanagaku meningkat. Pintu yang tadinya tertutup rapat, sekarang terbuka lebar setelah menciptakan suara yang keras.
"Binatang kalian!" teriakku sambil menunjuk dua manusia yang lansung menutupi tubuh mereka dengan selimut.
Sepertinya bukan hanya aku yang terkejut. Sebab Dimas dan adikku juga terlihat kaget dan panik.
Aku menatap mereka dengan nafas naik turun dan darahku seakan sudah mendidih dikepalaku.Tanganku mengepal disamping rok yang aku kenakan.
Entah bagian mana yang membuatku murka. Entah mengetahui suamiku selingkuh, atau Ayunda yang bermain api dengan kakak iparnya.
Aku adalah Ariana Safitri, wanita berusia 28 tahun yang dikhianati oleh suami dan adikku sendiri.
"Jadi ini yang kalian lakukan kalau, aku gak ada dirumah?" Suaraku bergetar. Menahan air mata yang memaksa keluar yang menyesakkan.
"Riana, tenang dulu. ini gak seperti yang kamu pikirkan. Kita__"
"APA?" teriakku memotong ucapan Dimas yang belum selesai. "Kalian apa?"
Aku menatap keduanya secara bergantian, berulang kali untuk menunjukkan bahwa kemarahan ku tidak bisa diajak kompromi.
Aku tidak tahu harus bersikap bagaimana lagi menanggapinya. Marah, kecewa, semuanya masuk menjadi satu kedalam panci, lalu direbus sampai mendidih.
"Kalian tega?" Seruku dengan suara tercekat. "Kenapa, kamu lakuin ini sama Kakak, Ayunda?"
Pandanganku bergeser dan berhenti pada sosok perempuan yang terpaut di bawahku tiga tahun. Ya, dia adalah adik perempuan ku yang selama ini sangat aku sayangi.
"Kakak selalu mengalah sama, kamu. Apa yang kamu mau selalu kakak kasih walaupun kakak juga butuh! Tapi sekarang apa?" Bibirku bergetar saat mengatakannya.
Aku sengaja memberi jeda. Selain tidak ingin terdengar suara menangis, Aku juga berharap Ayunda mengucapkan kata maaf dan sikap merasa bersalah atas apa yang dia lakukan.
Jika gadis itu memohon, mungkin kemarahanku akan sedikit berkurang padanya . Itulah harapan terakhirku, meskipun masih masih besar rasa sesaknya.
Namun, terlalu naif. sebab, saat Ariana menatap Ayunda, tidak ada terlihat raut wajah bersalah disana, malah yang terlihat menyeringai ke arah Ariana..
"Ayunda!" tangan Ariana mengepal, dan kakinya bergerak sendiri ke arah perempuan yang belum sempat berpakaian.
PLAKK..!!
Sebuah tamparan keras aku hadiahkan di pipi mulus Ayunda.
"Selama ini aku selalu mengalah sama kamu! Aku selalu diam saat kamu merebut apa-apa punyaku. Tapi sekarang, suamiku juga mau kamu rebut, Ayunda?" dadaku naik turun menahan amarah yang memuncak. "Aku kakakmu, Ayunda!"
Ayunda bergeming sambil memegangi pipinya yang memerah akibat tamparan ku tadi. Perlahan wajahnya diangkat, dan menatapku dengan tatapan tajam.
"Berani-beraninya kamu menamparku!" ucap Ayunda, terdengar begitu keras. "Heh! Kamu itu cuma anak angkat Mama dan Papa. Kamu bukan Kakaku! Ngerti?"
PLAKK...!!
Aku kembali memberikan anak itu sebuah tamparan yang lebih keras dari yang tadi.
Aku mendengar hal itu rasanya sakit hati. Ia berpikir apakah karena aku anak angkat, sehingga Ayunda bisa bersikap seenaknya seperti itu?
"Kau!" Ayunda mendelik saat tatapan kami bertemu.
Sekarang kemarahan Ayunda semakin besar. Bisa dilihat pupil matanya yang terlihat menghitam, dengan gigi yang saling menekan satu sama lain.
"Keparat!" umpat Ayunda, sebelum tangannya diangkat untuk menarik rambutku kuat-kuat. "Dasar anak angkat gak tau di untung! Pembawa sial!"
Aku meringis merasakan perih di pangkal rambut yang Ayunda jambak. Tak mau hanya diam, akupun membalasnya dengan menarik rambut Ayunda tak kalah kuat. "Dasar gila! Kamu pikir aku takut, hah?"
"Argh! Lepas!" pekik Ayunda.
"Nggak akan aku lepasin!" balasku.
"Anak pungut sialan!"
Aku sudah tidak peduli. Bahkan jika Ayunda mengatai ku dengan kalimat terburuk pun, aku sama sekali tidak peduli. Karena menurutku setiap yang ada di dalam diri adikku adalah sampah, termasuk setiap kata yang keluar dari mulutnya.
"Argh! Lepasin dasar anak pungut keparat!"
Aku membiarkan Ayunda berteriak dan memaki diriku dengan sepuasnya, karena aku tidak akan melepaskan jambakanku pada rambut Ayunda.
Aku selama ini selalu mengalah dan diam. Akan tetapi, sekarang tak sama. Karena kali ini Ayunda sudah benar-benar melewati batas.
"Perempuan jalang gak tahu diri!" umpat ku. Selama hidupku, baru kali ini aku berkata kasar padanya. "Aku sumpahin, kamu bisulan seluruh badan!"
Kutarik rambut Ayunda semakin kuat, sampai-sampai membuat anak itu meringis kesakitan. Tapi tetap saja aku gak peduli.
"Argh, sakit!" pekiknya.
Cukup lama kami saling tarik menarik rambut satu sama lain. Apa yang dilakukan oleh satu-satunya pria disana?
Ya, Dimas yang bodoh itu hanya bergerak kesana-kemari dengan bingung.
Siapa yang akan dia bela? Sudah jelas, seharusnya aku.
"Udah. Tenang dulu, kalian", ucapnya setelah bergeming cukup lama. "Riana, lepasin rambut Ayunda".
Reflek ekor mataku mendelik pada Dimas. Bukan cuma aku yang menjambak disini, tapi kenapa laki-laki keparat itu hanya menyuruh aku melepaskan jambakan itu?
"Aduh, lepas. Ini sakit!"
Pandanganku beralih pada Ayunda yang terus merengek.
'Bukan cuma aku yang sakit, tapi aku juga' batinku.
"Ariana..."
Panggilan Dimas sama sekali tidak aku gubris. Jika dia hanya menyuruh ku untuk melepaskan rambut Ayunda, lebih baik lupakan saja. Karena aku tidak akan melakukannya.
"ARIANA! Aku bilang lepasin rambut Ayunda!"
Tiba-tiba lenganku ditarik dari samping. Otomatis cengkeramanku di rambut Ayunda terlepas, dan aku berbalik...
PLAKK...!!!
Tiba-tiba pipiku mendapatkan tamparan yang tak terduga, dan Dimas yang melakukannya.
Aku melongo beberapa detik. Rasanya otakku berhenti bekerja. Sebentar, apakah barusan aku benar-benar ditampar oleh suamiku sendiri hanya karena membela perempuan jalang itu?
"Kamu nampar aku, Dimas?" ucapku dengan nada tak percaya. "Kamu-"
"Ariana". Dimas terlihat mencoba meraih tanganku. Namun saat itu juga aku tepis dengan kasar.
"Jangan sentuh aku", kataku. "Kamu lebih memilih belaian Ayunda? Aku istrimu, Dimas! Istri sahmu".
"Riana, dengerin aku dulu. Aku bisa-"
"Cukup!" ku tepis tangan Dimas yang lagi-lagi ingin meraih tanganku. "Aku beneran gak habis pikir sama kalian. Terutama kamu, Dim".
Mataku terasa semakin panas. Sesak didalam dada seakan tidak ada apa-apanya saat ini, luka yang aku rasakan sudah melebihi kapasitas yang bisa aku rasakan.
"Riana--"
"Sekarang pilih", potongku cepat. Aku menatap Dimas dengan lekat. Setelahnya aku berkata, "Kamu pilih ninggalin dia, atau pilih ceraikan aku sekarang juga?"
Aku berharap Dimas masih memiliki sedikit kewarasan di dirinya dan memilih meninggalkan Ayunda. Namun, ada apa dengan sikap keraguan itu?
Dahiku mengernyit, hanya melihat dia bimbang saja sudah berhasil membuat aku muak. Jelas sekali, dia tidak bisa memberikan keputusan.
"Oke, maka ceraikan aku sekarang!" Ucapku pada akhirnya.
Bukan aku mengalah, tapi memang sejak awal aku tidak bisa menang.
"Kamu tidak bisa meninggalkan Ayunda, kan?".
Pelan tapi pasti, kulihat Dimas mengangguk.
Astaga! Rasanya aku ingin menggulung bumi saat ini juga. Kutarik napas dalam-dalam. Entah apa yang akan terjadi, semua rasa sakit hati yang tadi seperti hilang begitu saja ditimpa dengan sekap acuh yang luar biasa.
Setelah memberi jeda sebentar, aku mengangguk-angguk meski hati terasa begitu berantakan.
"Jadi, kamu milih pisah sama aku? Oke, aku jabanin".
Tak mau menunggu reaksi dari Dimas dan Ayunda, aku bergegas menuju lemari dan menurunkan koper dari sana. Kemudian, baju-baju yang ada di dalam sana aku keluarkan dan aku masukkan dengan sembarang kedalam koper.
Sesekali aku lirik Ayunda. Terlihat perempuan itu tersenyum, jelas sekali dia merasa sudah menang dariku. Atau... Dia mengira aku mengemasi baju-baju ini dan aku yang akan pergi?
Sayangnya, tidak! Maaf Ayunda, tapi orang yang harus pergi dari sini adalah kalian.
BRUAKKK!!
Kulempar setengah penuh kearah Dimas. "Pergi dari rumahku!" ucapku tegas. "Kamu memilih Ayunda, kan? Jadi, pergi dari sini sekarang!"
Hening. Bisa kulihat dua binatang yang bersampul manusia itu melotot kaget dengan tindakanku. Bukan hanya Dimas, tapi Ayunda juga mendelik tidak percaya.
"Jangan, kurangajar kamu, ya!" pekik Ayunda. "Satu-satunya yang harus keluar dari rumah ini ya, kamu! Rumah ini milik, Kak Dimas!"
"Oy, ya ?" aku memiringkan kepala dengan sikap meremehkan. "Sayang banget, rumah ini aku yang beli dan atas namaku. Kamu pikir rumah ini milik cowok mokondo ini? Haha, jangan ngimpi!"
Ayunda terlihat kesal. Tapi lagi-lagi aku tidak peduli.
"Kamu udah tahu kan, sekarang?" ucapku lagi. "Tunggu apa lagi? Mending sekarang kalian segara angkat kaki dari rumahku!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments
Ma Em
Bagus thor ceritanya aku langsung suka apalagi cerita perselingkuhan yg si istri yg diselingkuhin tdk bodoh dan berani melawan pada si suami dan pelakor .
2025-04-13
0
Kasih Bonda
next thor semangat
2025-02-26
0