Yunita, siswi kelas dua SMA yang ceria, barbar, dan penuh tingkah, tak pernah menyangka hidupnya akan berubah drastis saat orang tuanya menjodohkannya dengan seorang pria pilihan keluarga yang ternyata adalah guru paling killer di sekolahnya sendiri: Pak Yudhistira, guru Matematika berusia 27 tahun yang terkenal dingin dan galak.
Awalnya Yunita menolak keras, tapi keadaan membuat mereka menikah diam-diam. Di sekolah, mereka harus berpura-pura tidak saling kenal, sementara di rumah... mereka tinggal serumah sebagai suami istri sah!
Kehidupan mereka dipenuhi kekonyolan, cemburu-cemburuan konyol, rahasia yang hampir terbongkar, hingga momen manis yang perlahan menumbuhkan cinta.
Apalagi ketika Reza, sahabat laki-laki Yunita yang hampir jadi pacarnya dulu, terus mendekati Yunita tanpa tahu bahwa gadis itu sudah menikah!
Dari pernikahan yang terpaksa, tumbuhlah cinta yang tak terduga lucu, manis, dan bikin baper.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25
Malam turun dengan hujan deras. Petir menyambar sesekali, dan Yunita memeluk bantal sambil menonton film.
“Mas, kamu dulu suka hujan gak?” tanyanya tiba-tiba.
“Tidak terlalu.”
“Kenapa?”
“Karena biasanya di hari hujan, banyak murid yang gak masuk. Susah ngajar kalau separuh kelas kosong.”
Yunita tersenyum. “Dulu kamu marah kalau aku telat datang pas hujan.”
“Karena kamu selalu alasan ‘kejebak genangan’, tapi sepatumu kering.”
“Hehehe… ketahuan juga akhirnya.”
Ia meraih tangan Yudhistira. “Tapi aku suka hujan, Mas. Soalnya dulu waktu kamu ngasih payung di depan gerbang sekolah, itu pertama kalinya aku mikir, ‘Guru killer juga punya hati.’”
Yudhistira menatapnya, lalu tersenyum kecil. “Waktu itu saya cuma gak mau kamu sakit.”
“Dan dari situlah aku mulai jatuh cinta.”
Suasana hening sejenak. Hujan makin deras. Yunita bersandar di bahunya.
“Mas…”
“Hmm?”
“Kamu bahagia?”
“Bahagia itu bukan kata, tapi kebiasaan,” jawab Yudhistira lembut. “Dan tiap kali kamu tertawa seperti tadi, saya tahu saya bahagia.”
Yunita memejamkan mata. “Kalimat itu… lebih manis dari teh yang kamu buat.”
“Tehnya pahit.”
“Makanya aku suka. Pahit tapi nyata, kayak kamu.”
---
Beberapa minggu kemudian, Yunita diundang ke sekolah lamanya sebagai pembicara alumni muda inspiratif. Kepala sekolah berkata, “Kamu kan sekarang calon guru, pas banget jadi contoh untuk adik kelasmu.”
Saat ia datang, murid-murid langsung heboh.
“Itu istri Pak Yudhistira!”
“Cantik banget!”
“Dulu katanya muridnya, sekarang malah jadi istrinya!”
Yunita hanya tersenyum. Setelah sesi berbagi, ia menutup dengan kalimat sederhana:
“Dulu saya pikir guru cuma ngasih nilai. Tapi ternyata, guru juga bisa ngasih arah bahkan untuk hidup saya sendiri.”
Semua tepuk tangan. Dan dari belakang aula, Yudhistira berdiri memperhatikan dengan bangga.
Setelah acara, ia mendekatinya.
“Bagus pidatonya.”
“Beneran?”
“Cuma kurang satu.”
“Apa?”
“Ucapan terima kasih buat guru paling sabar.”
Yunita tersenyum geli. “Itu sudah tersirat, Mas.”
---
Suatu malam di teras rumah, Yunita duduk memandangi langit. “Mas, kamu pernah kepikiran punya anak belum?”
Yudhistira menoleh. “Kamu?”
“Kadang iya, kadang belum siap. Tapi kalau kebayang anaknya punya senyum kamu… kayaknya aku siap deh.”
“Kalau punya sifat kamu?”
“Wah, itu repot.”
Mereka tertawa. Tapi dalam tawa itu, ada harapan kecil yang tumbuh.
“Kamu tahu gak, Mas?” ujar Yunita lembut. “Dulu aku pengen banget hidupku punya arti. Sekarang aku tahu, artinya bukan tentang jadi siapa, tapi tentang bersama siapa.”
Yudhistira menatapnya lama. “Kamu akhirnya belajar hal paling penting.”
“Apa itu?”
“Bahwa cinta bukan pelajaran, tapi perjalanan.”
Beberapa Bulan Kemudian
Kehidupan mereka berjalan stabil. Yunita mulai magang mengajar di sekolah dasar, dan Yudhistira semakin sibuk dengan proyek kurikulum baru. Tapi setiap malam, mereka selalu punya waktu untuk duduk bersama entah di dapur, di balkon, atau sekadar di ruang tamu sambil saling menggoda.
Suatu malam, Yunita pulang dengan wajah lelah. “Mas, anak-anak di sekolah magang bandelnya luar biasa. Aku hampir gigit meja.”
“Selamat datang di dunia nyata.”
“Aku gak nyangka jadi guru itu capek tapi… lucu juga.”
“Kenapa?”
“Soalnya tiap hari aku bisa lihat versi kecil dari diriku waktu dulu: berisik, penasaran, dan gak bisa diem.”
Yudhistira tersenyum. “Dan kamu tetap sabar?”
“Setengah sabar. Setengah lagi pura-pura sabar.”
“Lumayan. Itu tahap awal jadi guru sejati.”
Yunita menatapnya lembut. “Mas, aku baru sadar. Kamu dulu bukan cuma ngajarin aku pelajaran sekolah. Kamu ngajarin aku hidup.”
“Dan kamu ngajarin saya tertawa.”
----
Malam itu, Yunita menulis lagi di buku hariannya:
“Sekarang aku yang berdiri di depan kelas, bukan lagi di bangku murid. Tapi setiap kali aku menatap papan tulis, aku ingat wajahnya guru yang dulu bikin aku marah, tapi akhirnya jadi rumahku.
Hidup memang seperti ujian. Tapi kalau kita punya seseorang yang sabar menemani belajar, nilainya gak pernah gagal.”
Ia menutup buku itu, lalu melihat Yudhistira yang sedang membaca di meja.
“Mas, aku nulis lagi.”
“Isi buku itu suatu hari bakal jadi novel,” katanya tanpa menoleh.
“Kalau udah jadi, kamu mau baca?”
“Kalau isinya gak nyerempet gosong omelet, saya baca.”
“Dasar Mas!”
Yunita tertawa keras sampai menetes air mata. Dan di tengah tawa itu, Yudhistira mendekat, menghapus air matanya dengan jari.
“Dari dulu saya cuma ingin satu hal, Yunita.”
“Apa?”
“Lihat kamu bahagia setiap hari bahkan dengan hal sepele.”
Yunita menatapnya lama. “Kamu tahu gak, Mas?”
“Apa?”
“Aku udah bahagia… dari pertama kali kamu panggil aku ‘murid paling cerewet’.”
Yudhistira tersenyum. “Dan sekarang kamu jadi istri paling cerewet.”
“Dan kamu masih guru paling sabar.”
Mereka berdua tertawa, pelan, lembut tawa yang hanya dimiliki dua orang yang benar-benar saling tumbuh bersama.
Di luar, hujan kembali turun, membawa aroma tanah basah dan kenangan lama. Tapi kali ini, Yunita tahu: masa lalunya bukan lagi sesuatu untuk ditinggalkan. Itu fondasi dari masa depan yang sedang mereka bangun.
Dan di bawah cahaya lampu temaram, ia berbisik pelan,
“Terima kasih, hidupku dimulai dari ruang kelas tapi berakhir di pelukanmu.”
Bersambung
yo weslah gpp semangat Thor 💪 salam sukses dan sehat selalu ya cip 👍❤️🙂🙏