Yurika Hana Amèra (Yuri), mahasiswi akhir semester dua yang mencari tempat tinggal aman, tergiur tawaran kosan "murah dan bagus". Ia terkejut, lokasi itu bukan kosan biasa, melainkan rumah mewah di tengah sawah.
Tanpa disadari Yuri, rumah itu milik keluarga Kenan Bara Adhikara, dosen muda tampan yang berkarisma dan diidolakan seantero kampus. Kenan sendiri tidak tahu bahwa mahasiswinya kini ngekos di paviliun belakang rumahnya.
Seiring berjalannya waktu, Yuri mulai melihat sisi asli sang dosen. Pria yang dielu-elukan kampus itu ternyata jauh dari kata bersih—ia sangat mesum. Apalagi ketika Kenan mulai berani bermain api, meski sudah memiliki pacar: Lalitha.
Di tengah kekacauan itu, hadir Ezra—mahasiswa semester empat yang diam-diam menaruh hati pada Yuri sejak awal. Perlahan, Ezra menjadi sosok yang hadir dengan cara berbeda, pelan-pelan mengisi celah yang sempat Yuri rindukan.
Antara dunia kampus, cinta, dan rahasia. Yuri belajar bahwa tidak semua yang berkilau itu sempurna.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SweetMoon2025, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
28. Tamu Tak Diundang
Sepulang dari rumah Ezra, Yuri nggak langsung menyalakan laptop untuk kembali berkutat dengan materi ujian. Tubuhnya terhempas begitu saja di atas kasur, menatap langit-langit kamar yang diam seolah menunggu, sementara pikirannya justru berisik luar biasa.
Bayangan foto di layar ponselnya tadi masih tercetak jelas. Mario dan Zia. Dua nama dari masa lalu yang seharusnya sudah tersimpan rapi di kotak kenangan putih abu-abu, kini mendadak terbuka secara paksa dan menghamburkan tanda tanya dibenaknya dari sore tadi.
Bagaimana bisa?
Pertanyaan itu berulang kali memantul di kepala Yuri. Litzia, atau yang akrab dipanggil Zia, adalah definisi "ekor" bagi Yuri selama tiga tahun masa SMA.
Gadis itu manis, tapi manja setengah mati. Suara cemprengnya yang khas selalu mendominasi setiap kali Yuri melangkah. Sejak kelas sepuluh hingga lulus, Zia adalah teman sebangku yang nggak terpisahkan. Di mana ada Yuri, pasti ada Zia yang mengekor sambil menggandeng lengannya, minta ditemani ke kantin, ke toilet, atau sekadar curhat hal-hal remeh dengan ceria.
Ironisnya, Mario adalah orang yang paling vokal menyuarakan ketidaksukaannya pada kehadiran Zia, saat itu.
"Ngapain sih tuh anak ikut mulu? Kita mau pacaran, Ri, bukan mau bikin grup trio," begitu protes Mario dulu setiap kali Zia merengek ingin ikut mereka berdua. Mario selalu bilang Zia itu pengganggu, berisik, dan kekanak-kanakan.
Namun sekarang?
Laki-laki yang dulu memutar bola mata malas setiap kali melihat Zia, kini tersenyum lebar sambil merangkul pundak gadis itu di sebuah foto yang baru di upload beberapa jam lalu di media sosialnya dengan caption romantis yang membuat bulu kuduk Yuri sedikit meremang. Jadi Zia perempuan di Tokyo Tower itu, batin Yuri.
Yuri memijat pelipisnya. Ingatannya mundur ke hari kelulusan setahun lalu.
Hari di mana ia memutuskan berpisah dengan Mario. Alasannya klise tapi logis bagi Yuri: dia benci hubungan jarak jauh.
Yuri adalah salah satu manusia realistis sejati; dia nggak akan sanggup memelihara rindu lewat layar kaca. Mario sempat menolak keputusan Yuri saat itu, tapi akhirnya menyerah pada keras kepalanya.
Di hari yang sama, Zia menangis sesenggukan memeluk Yuri, menciptakan drama perpisahan seolah mereka akan terpisah untuk selamanya. Zia bilang dia akan kuliah ke luar negeri—entah negara mana, Yuri lupa, atau mungkin memang nggak pernah diberi tahu oleh Zia, karena dia tipe orang yang anti-ribet dan malas kepo urusan orang lain jadi dia biarkan saja saat itu.
Dan begitulah mereka berpisah. Tanpa kabar. Tanpa grup chat reuni. Yuri sibuk dengan dunia barunya, Mario menghilang, dan Zia mendadak tanpa kabar.
Setahun lebih berlalu tanpa interaksi, tiba-tiba semesta menyuguhkan plot twist murahan ini. Apakah selama ini mereka berhubungan di belakang Yuri? Atau apakah kebencian Mario pada Zia dulu hanyalah kedok? Atau mungkin, cinta tumbuh karena mereka sama-sama kesepian di negeri orang?
Entahlah.
Yuri menghela napas panjang, mencoba mengusir rasa sesak yang aneh ini. Bukan cemburu, sungguh. Rasa yang pernah ada untuk Mario sudah habis sejak hari wisuda itu. Ini lebih kepada rasa terkhianati oleh logika—bagaimana skenario yang mustahil itu bisa terjadi pada dirinya.
Lagi pula, Yuri sadar posisinya sekarang. Dulu, saat bersama Mario, Yuri adalah sang Alpha Female. Dia yang mengatur kencan, dia yang memutuskan tempat makan, dia yang seringkali menjadi sandaran emosional Mario. Dia terbiasa mandiri, kuat, dan mendominasi.
Tapi saat ini dengan Ezra... rasanya berbeda. Ezra memperlakukannya bak gelas kaca yang berharga. Laki-laki itu melayaninya, membukakan pintu, menyuapinya, bahkan tahu hal-hal kecil tentangnya tanpa diminta. Bersama Ezra, perisai mandiri Yuri perlahan turun. Dia merasa dilindungi, bukan dituntut untuk selalu kuat dan mandiri.
"Hah... sudahlah. Jodoh orang siapa yang tahu," gumamnya pada diri sendiri, mencoba berdamai dengan kenyataan bahwa mantannya kini berpacaran dengan mantan "ekor"-nya. Lucu sekali.
Yuri bangkit dari kasur, menyambar handuk bersih. Dia harus mandi, menjernihkan kepala dari masa lalu yang rumit, dan kembali fokus pada masa depan.
Besok masih ada ujian, dan ada Ezra yang—meski sedikit misterius dan posesif—nyatanya ada di sini, saat ini, bersamanya. Mario dan Zia hanyalah masa lalu yang tak perlu lagi ia urusi.
***
Baru saja Yuri selesai menyisir rambutnya yang setengah kering dan membalurkan body lotion beraroma vanila ke lengannya, suara ketukan dari arah pintu depan terdengar lirih.
Tok. Tok. Tok
Jelas dia kaget. Jam dinding sudah menunjukkan pukul delapan malam lewat.
Siapa yang bertamu?
Yuri menajamkan pendengarannya, memastikan bukan halusinasi.
"Yuri..."
Ada suara bariton samar yang memanggil namanya. Yuri terpaku sejenak. Ia yakin—sangat yakin—itu suara dosennya.
Kali ini dengan kaki yang kondisinya sudah jauh lebih baik dan bisa leluasa bergerak, Yuri berjalan cepat ke ruang depan. Nggak lupa ia menyambar kardigan putih tipis yang tersampir di kursi untuk menutupi piyama tidurnya yang sedikit terbuka di bagian bahu.
"Sebentar," serunya sedikit gugup dari balik pintu.
Klik. Kunci dibuka, pintu ditarik perlahan.
"Iya, Pak?"
Sial.
Di bawah lampu teras yang menyala terang, kenapa malam ini Pak Kenan terlihat… berbeda?
Kemeja kerjanya sudah digulung sebatas siku dan rambutnya sedikit berantakan terkena angin malam, sepertinya dia baru saja pulang.
Kenapa Pak Kenan cakep banget malam ini?, batin Yuri menjerit, sementara wajahnya berusaha keras untuk bersikap biasa saja.
"Sorry kalau saya ganggu kamu malam-malam," ucap Kenan, suaranya rendah dan tenang.
"Tadi saya lihat rumah ini lampunya menyala, saya pikir kamu sudah pulang. Ini ada titipan dari Papa, hasil panen kebun buah di depan rumah."
Yuri menunduk, melihat sebuah kotak kardus yang dibawa Kenan. Tanpa berpikir panjang, ia mengulurkan tangan.
"Oh, makasih banyak, Pak. Sini biar saya—"
Yuri langsung menerima kotak itu. Namun, ia salah perhitungan. Kotak itu jauh lebih berat dari dugaannya. Tubuhnya oleng ke depan, dan kotak itu nyaris meluncur jatuh menimpa kakinya yang baru saja membaik.
Dengan refleks kilat, Kenan maju selangkah, menahan bagian bawah kotak itu dengan tangannya yang besar.
"Astaga!" pekik Yuri kaget.
Jantungnya seolah berhenti berdetak karena dua hal. Pertama, karena kotak buah yang hampir jatuh. Kedua, dan yang paling fatal, karena jemari mereka bersentuhan terusap cukup lama.
Kulit tangan Kenan terasa dingin, kontras dengan tangan Yuri yang hangat. Namun, efeknya justru panas yang merambat ke wajah Yuri. Nyes.
Seperti ada aliran listrik statis bertegangan rendah yang menyengat dari ujung jari, merambat naik ke lengan, hingga membuat bulu kuduk Yuri meremang.
Mereka bertatapan selama beberapa detik yang terasa seperti lama. Mata Kenan yang tajam menatapnya lekat, ada kekhawatiran di sana, tapi juga sesuatu yang lebih intens.
"Berat, kan? Biar saya bantu kamu bawa ini ke dalam," putus Kenan.
Tanpa menunggu persetujuan, ia mengambil alih beban kotak itu sepenuhnya dan melangkah masuk ke dalam rumah tanpa basa-basi. Wajahnya datar, namun pesonanya justru makin menguar karena sikap dominan yang gentleman itu. Kenan berjalan lurus menuju dapur seolah rumah ini adalah miliknya—yah, secara teknis memang milik ayahnya, jadi dia pasti hafal betul setiap sudut denah rumahnya.
Yuri hanya bisa mengekor di belakang seperti anak ayam, menatap punggung tegap dosennya yang kini meletakkan kotak itu di meja makan.
"Ini Bi Ati tadi yang ambil, katanya Papa pesan khusus buat kamu karena kamu sempat sakit kemarin," ujar Kenan sambil membuka tutup kotak. Aroma manis langsung menyeruak. Mangga harum manis yang matang pohon.
Yuri duduk di salah satu kursi meja makan, masih berusaha menetralkan degup jantungnya. "Salam buat Bapak Rudy ya, Pak. Terimakasih banyak. Jadi merepotkan..."
"Nanti saya sampaikan. Ini, kamu makan ya."
Alih-alih pamit, Kenan justru menarik kursi di hadapan Yuri. Dengan santai, ia mengambil piring kecil dan pisau buah yang tersedia di rak piring—lagi-lagi, ia tahu persis letaknya. Tangan terampilnya mulai mengupas mangga.
Yuri terdiam, sedikit terpana melihat pemandangan langka ini. Dosen famous-nya, Pak Kenan yang gandrungi para mahasiswi, kini sedang mengupaskan mangga untuknya di dapur sempit ini.
Potongan mangga pertama disodorkan ke piring Yuri. "Makan," perintahnya lembut.
Yuri menurut. Ia menusuk potongan mangga itu dengan garpu, mengunyahnya perlahan. Manis. "Enak banget, Pak."
Kenan tersenyum tipis, sangat tipis, tapi cukup untuk membuat pipi Yuri memanas. Ia lanjut mengupas mangga kedua.
Perlahan, suasana kaku itu mencair. Obrolan santai mulai mengalir di antara mereka. Awalnya hanya basa-basi tentang hujan yang sering turun, lalu merambat ke alasan Yuri tinggal di rumah paviliun ini, hingga diskusi ringan tentang materi ujian mata kuliah Kenan lusa nanti.
Yuri mulai merasa nyaman. Sangat nyaman. Obrolan mereka nggak terasa seperti dosen dan mahasiswa, melainkan layaknya teman sebaya atau... "mungkin" pasangan yang sedang menikmati waktu tenang.
"Serius, Pak? Bapak pernah salah masuk kelas pas kuliah saat ambil S3?" tanya Yuri sambil tertawa renyah, matanya menyipit membentuk bulan sabit.
"Serius. Saya duduk paling depan, sudah siap mencatat, ternyata itu kelas Sejarah Seni, bukan Ekonomi. Saya baru sadar pas dosennya mulai bahas materi yang saya nggak tahu," cerita Kenan sambil terkekeh pelan.
Tawa Yuri menggema di ruang makan, berpadu dengan suara jangkrik dan kodok yang bersahutan di luar sana. Tanpa Yuri sadari, Kenan berhenti mengupas. Pisau di tangannya terhenti.
Pria itu menatap Yuri lurus. Binar mata gadis itu, senyum tulus yang tanpa beban, wajah polos tanpa riasan yang terlihat begitu segar sehabis mandi, serta piyama rumahannya yang sederhana... semuanya membuat Kenan sulit berpaling.
Ada desiran aneh di dadanya. Perasaan ingin melindungi, sekaligus perasaan ingin memiliki yang seharusnya nggak boleh ada.
"Kamu..." Kenan bergumam lirih, hampir nggak terdengar.
"Kenapa, Pak?" Yuri menghentikan tawanya, menatap bingung karena tatapan Kenan yang tiba-tiba lebih hangat.
Kenan berdeham, salah tingkah. "Nggak. Cuma... senang lihat kaki kamu tadi sudah membaik."
Di salah satu kamar rumah utama yang remang, ponsel Kenan yang tertinggal di atas nakas terus berbunyi nyaring, menampilkan nama kekasihnya. Nggak ada yang mendengar.
Sementara itu, di kamar, ponsel Yuri di atas ranjang berkedip terus tanpa henti. Layarnya menyala, mati, lalu menyala lagi.
Incoming Call: Bang Ezra ❤️ (13 missed calls)
Nggak ada yang tahu.
Dunia seolah menyusut hanya seluas meja makan itu. Obrolan mereka nggak kunjung berhenti, seolah mereka punya stok waktu tak terbatas untuk dihabiskan berdua.
Hingga akhirnya, sebuah suara memecah gelembung kenyamanan itu.
Ting. Tong!
Suara bel pagar depan terdengar jelas, diikuti suara mesin mobil yang dimatikan mendadak.
Yuri tersentak kaget, garpu di tangannya berdenting jatuh ke piring. Kenan menoleh tajam ke arah pintu depan.
"Siapa malam-malam begini?" tanya Kenan, naluri waspadanya langsung muncul.
Btw, aku mampir nih kak. Seru ceritanya. Semangat 😊💕💕