NovelToon NovelToon
MAHKOTA SAMUDRA Darah Dan Janji

MAHKOTA SAMUDRA Darah Dan Janji

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta Istana/Kuno
Popularitas:496
Nilai: 5
Nama Author: penulis_hariku

“Mahkota Samudra bukan sekadar lambang kejayaan, melainkan kutukan yang menyalakan api cinta, ambisi, dan pengkhianatan. Di tengah pesta kemakmuran Samudra Jaya, Aruna, panglima muda, terjebak dalam cinta mustahil pada Putri Dyah, sementara Raden Raksa—darah selir yang penuh dendam—mengincar takhta dengan segala cara. Dari kedalaman laut hingga balik dinding istana, rahasia kelam siap menenggelamkan segalanya.”

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon penulis_hariku, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 27. Bayang-bayang dibalik jendela

Malam itu, istana Samudra Jaya tampak lengang. Hanya suara desir angin yang berhembus melewati pepohonan dan nyala lentera di serambi paviliun yang berayun lembut. Udara membawa wangi melati dari taman belakang—wangi yang sama yang terselip di rambut seorang gadis muda bernama Puspa. Langkahnya perlahan, di tangannya tergenggam nampan berisi segelas jamu hangat yang baru saja ia siapkan atas permintaan Nyi Jayem. Malam ini, giliran paviliun Raden Raksa yang harus ia datangi. Puspa berusaha menenangkan dirinya, meski jantungnya berdebar cepat tanpa ia tahu sebabnya. Rambut hitamnya tergerai lembut, sebagian terselip bunga melati putih di telinganya. Ia tak menyadari bahwa di halaman seberang, dari balik tiang batu, Raden Arya berdiri diam memperhatikannya. Sorot matanya redup, dan dalam diam, ia menggenggam tangan di sisi tubuhnya, seolah menahan sesuatu yang berat.

“Dia… tersenyum,” gumam Arya nyaris tanpa suara. Tatapan matanya tak lepas dari senyum lembut di bibir Puspa saat gadis itu melangkah ke arah paviliun Raksa. Ia ingin berpaling, tapi langkahnya terasa berat. Hatinya perih, seolah melihat serpihan dirinya sendiri hancur perlahan.

Sementara itu, di dalam paviliun, Raden Raksa baru saja menyelesaikan beberapa dokumen latihan dan catatan perwira muda. Saat Puspa mengetuk pintu dan masuk, ia mendongak perlahan. Senyum hangat tersungging di bibirnya.

“Puspa,” ucapnya lembut. “Kau datang juga malam ini.”

“Hamba hanya menjalankan tugas, Raden,” jawab Puspa sambil menunduk sopan. Ia meletakkan nampan berisi jamu di meja kecil di samping kursi sang pangeran. Namun sebelum sempat mundur, Raksa mengulurkan tangan, menahan gerakannya.

“Duduklah sebentar. Malam ini terlalu sepi untuk kulewati sendiri.” Suaranya tenang, tapi ada kelelahan yang jelas terdengar di balik tutur kata itu.

Puspa menatapnya ragu. “Hamba… tak seharusnya lama di sini, Raden. Jika dilihat orang—”

Raksa tersenyum kecil. “Siapa yang akan melihat? Semua telah tidur. Hanya bintang dan angin yang jadi saksi.” Ia menepuk kursi di sampingnya. “Duduklah.” Puspa akhirnya menuruti. Ia duduk perlahan di sisi Raden Raksa, sementara pangeran itu mengambil gelas jamu yang dibawanya, menyesap sedikit, lalu menatapnya lama.

“Rasanya selalu sama,” katanya pelan. “Hangat… tapi entah kenapa malam ini rasanya lebih menenangkan.”

Puspa tersenyum tipis. “Mungkin karena Raden kelelahan seharian. Jamu itu hanya membantu sedikit.” Raksa meletakkan gelasnya, lalu menatap wajah Puspa yang diterangi cahaya lentera. Senyum lembut itu, mata jernihnya, dan bunga melati yang terselip di rambutnya—semuanya terasa begitu damai. Lalu menuntun gadis itu duduk dipangkuannya. Gadis itu terkejut, namun tak sempat mundur. Dalam sekejap, Raksa menariknya perlahan, membuatnya terjatuh ringan ke pelukannya.

“Puspa,” panggilnya pelan. Puspa menatap lekat manik mata Raden Raksa tatapan mata itu lembut dan tenang tak seperti biasanya yang terlihat nyalang di depan orang lain.

“Raden…” suaranya nyaris berbisik. Tapi Raksa hanya tersenyum, menatapnya dengan lembut.

“Biarkan aku seperti ini sebentar saja,” ujarnya. “Hari ini terlalu banyak pedang dan kata-kata yang tajam. Aku butuh sesuatu yang membuatku lupa pada semuanya.” Puspa terdiam. Dalam pelukan itu, ia bisa merasakan degup jantung sang pangeran, hangat dan berat di dadanya. Ia menatap wajah Raksa yang tampak letih namun damai, lalu dengan pelan, tangannya terangkat, membelai sisi wajah dan rahang tegas sang pangeran.

“Raden… jika hamba bisa membuat Raden tenang, maka biarlah malam ini menjadi milik Raden,” ucapnya pelan. Raksa menutup matanya sejenak, membiarkan gadis itu menepuk lembut dadanya, seolah menenangkan badai di dalamnya. “Kau selalu tahu caranya membuatku diam, Puspa,” bisiknya. Mereka terdiam lama, hanya ditemani suara jangkrik dan desir kain yang bergesek lembut. Dunia seakan berhenti berputar di sekitar mereka. Tak ada perbedaan antara bangsawan dan dayang, hanya dua hati yang saling mencari tempat bernaung.

Namun, di luar paviliun yang temaram itu, seseorang berdiri mematung. Dari celah pintu yang sedikit terbuka, Raden Arya menyaksikan segalanya—tanpa suara, tanpa gerak, hanya sorot mata yang membeku di tempat. Senyum di wajah Puspa. Tatapan lembut di mata Raksa. Pelukan yang seolah tanpa dosa, tapi bagi Arya terasa seperti belati yang menembus dada. Ia ingin marah, tapi yang muncul hanyalah rasa kehilangan.

“Jadi ini sebabnya…” gumamnya pelan, suara tercekat di tenggorokan. “Inilah yang membuat hatinya tak bisa kutarik lagi.” Ia menutup perlahan daun pintu, langkahnya mundur dengan tubuh gemetar. Di luar, angin malam berembus membawa wangi melati yang menusuk hatinya. Setiap harumnya kini menjadi pengingat—bahwa cinta yang ia simpan, telah berpihak pada orang lain. Sementara di dalam, Raden Raksa membuka mata perlahan. Ia menatap Puspa yang masih di pangkuannya, lalu berbisik, “Jika dunia ini hanya mengizinkan satu malam seperti ini, aku tak akan menyesalinya.”

Puspa menatapnya sendu, lalu menjawab lirih, “Jangan berkata begitu, Raden. Dunia selalu mendengar doa orang yang tulus. Mungkin… suatu hari nanti, kita tak harus bersembunyi di balik bayang.” Raksa tersenyum samar, lalu menariknya sedikit lebih dekat. “Mungkin. Tapi malam ini… biarkan aku lupa segalanya, kecuali dirimu.” Di luar sana, bintang-bintang berkelip di langit Samudra Jaya, seolah menjadi saksi bisu dari cinta yang terlarang — cinta yang tumbuh di antara batas-batas istana, di bawah cahaya bulan dan wangi melati yang abadi.

****

Balairung Samudra Jaya sudah penuh dengan para bangsawan dan juga sebagian prajurit dari Mandalapura serta Raden Kusumanegara yang duduk disebelah Raden Raksa sementara di depannya duduklah Panglima Aruna yang juga ikut rapat pagi itu. Raden Kusumanegara sesekali melirik kearah Panglima Aruna sebenarnya laki-laki itu sadar akan tatapan sang Pangeran Mandalapura tapi dia lebih memfokuskan pikirannya pada rapat pagi ini.

“Baiklah...”Raja Harjaya membuka rapat itu,”Bagaimana dengan perkembangan Parang Giri, apakah mereka masih diperbatasan?”

“Ampun Gusti Prabu, menurut laporan pasukan Parang Giri mulai menarik diri dan menganggap mereka sudah menang saat kita.....” sebelum Tumenggung Wiranegara meneruskan kata-katanya datang Jagatpati—penyampai pesan datang tergopoh-gopoh.

“Ampun Gusti, pasukan...pasukan Parang Giri sudah masuk ke hutan Wrigin Gede mereka hampir berhasil masuk ke benteng Narasoma,” semua yang hadir dalam di balairung tentu kaget.

“APAAAA?!” bahkan Raja Harjaya langsung berdiri dengan tatapan tajam, membuat siapa pun yang ada di ruangan itu tak ada yang berani menatapnya. Raden Arya pelan-pelan menatap ke arah Raden Raksa, jika benar adik tirinya itu terlibat dalam pengkhianatan ini maka dia tidak akan segan-segan menghancurkannya, tapi rupanya raut wajah Raden Raksa juga terlihat sangat khawatir. Bahkan laki-laki itu mengkerutkan keningnya entah apa yang dipikirkannya.

“Patih...perkuat benteng di selatan, utara, dan timur, juga didalam istana aku rasa ini adalah pengalihan kenapa hanya satu benteng yang diserang. Raksa, Arya, dan Panglima Aruna persiapkan prajuritmu dan Raden Kusumanegara segenap darah Samudra Jaya memohon bantuan dari Mandalapura,” kata Raja Harjaya. Mendengar hal itu terlintas ide picik dipikiran Raden Kusumanegara tapi jika pikiran piciknya yang bergerak maka Putri Dyah justru akan membencinya.

“Baiklah...ikuti alir air yang tenang,” gumamnya dalam hati.

Raden Kusumanegara menunduk hormat setelah menyatakan kesetiaannya. “Hamba dan seluruh prajurit Mandalapura akan bergabung dalam barisan Samudra Jaya, Gusti Prabu. Kami akan bertempur sampai titik darah penghabisan demi menjaga kehormatan kedua negeri.” Raja Harjaya mengangguk dengan sorot mata yang masih penuh kekhawatiran. “Baiklah, segera lakukan persiapan. Waktu kita tidak banyak. Jangan biarkan mereka menembus benteng Narasoma.” Begitu rapat selesai, para bangsawan bergegas meninggalkan balairung. Dari kejauhan, terlihat Panglima Aruna sudah berbicara dengan beberapa prajuritnya, memberikan perintah singkat dengan suara tenang namun tegas. Raden Kusumanegara menatapnya sekilas—tatapan yang seolah membawa sisa bara dari malam sebelumnya.

Di barak utama, denting senjata terdengar bersahutan. Prajurit-prajurit memeriksa pedang, memasang panah, dan mengikat tali kuda. Asap dupa bercampur dengan aroma minyak kelapa yang digunakan untuk melumasi senjata, menciptakan wangi khas menjelang perang. Raden Kusumanegara berjalan perlahan di antara mereka, matanya menelusuri barisan dengan wibawa seorang bangsawan, namun pikirannya melayang pada satu sosok; Putri Dyah Anindya.

Ia masih ingat jelas tatapan khawatir sang putri saat Panglima Aruna di lapangan latihan . Tatapan yang tidak pernah ditujukan padanya—pangeran yang memiliki segalanya. Ia menggenggam sarung pedangnya lebih erat, menahan bara cemburu yang berdesir di dadanya.

“Panglima Aruna,” panggilnya akhirnya, suaranya berat namun berwibawa. Aruna yang tengah mengatur barisan pasukan menoleh dan segera menundukkan kepala. “Raden Kusumanegara. Ada yang dapat hamba bantu?” tanyanya sopan. Kusumanegara berjalan mendekat, langkahnya tenang namun penuh tekanan. Ia berdiri di hadapan Aruna, menatap lurus ke mata panglima muda itu. “Kau tampak bersemangat hari ini,” ujarnya datar. “Seolah medan perang adalah tempat yang telah lama kau rindukan.”

Aruna tersenyum tipis. “Bukan kerinduan, Raden. Hanya kewajiban. Samudra Jaya adalah tanah tempat darah kami tumpah, sudah sepatutnya kami menjaganya.”

“Begitu luhur kata-katamu,” sahut Kusumanegara dengan nada pelan tapi tajam. “Aku hanya berharap, kau tidak berjuang karena sesuatu yang lain... sesuatu yang bukan untuk negeri ini.”

Aruna mengerutkan kening. “Maksud Raden?” Kusumanegara mendekat sedikit, jaraknya kini hanya sejengkal. “Ada banyak hal yang bisa membuat seorang laki-laki berani mati di medan perang,” katanya lirih. “Namun... cinta seorang wanita kadang membuatnya lupa siapa dirinya.” Aruna menatapnya tanpa menjawab, tapi dari matanya tampak jelas keterkejutan yang berusaha ia sembunyikan. Kusumanegara tersenyum samar, lalu menepuk bahu sang panglima pelan—terlalu pelan untuk dianggap bersahabat, tapi cukup kuat untuk meninggalkan pesan.

“Jaga dirimu di medan perang, Panglima,” katanya. “Karena tidak semua panah datang dari musuh yang kau lihat.” Setelah itu, Kusumanegara berbalik, jubahnya berkibar ringan saat ia melangkah menjauh. Aruna masih terpaku di tempat, dadanya terasa aneh. Entah mengapa, kata-kata sang pangeran terasa seperti peringatan... atau mungkin ancaman yang dibungkus senyum ramah.

Tumenggung Wiranegara yang kebetulan lewat menepuk pundaknya. “Panglima, pasukanmu sudah siap. Waktu kita tidak lama. Benteng Narasoma butuh pertahanan segera.”

Aruna tersentak dari lamunannya. “Baik, Tumenggung. Aku segera ke sana.” Ia menatap ke arah punggung Kusumanegara yang semakin jauh, matanya menyipit samar. Malam menjelang, dan api unggun mulai dinyalakan di halaman barak. Pasukan Samudra Jaya dan Mandalapura bersiap di bawah cahaya merah jingga yang berkilau di mata mereka. Dari kejauhan, suara genderang perang mulai berdentum perlahan—pertanda fajar akan disambut oleh darah dan baja.

Di balik semua itu, dua laki-laki berdiri di sisi yang sama namun dengan hati yang berbeda; satu berjuang demi negeri, satu lagi berperang demi cinta yang belum sempat dimilikinya. Dan di antara mereka, nama Putri Dyah bergema di hati masing-masing, bagai nyala kecil yang kelak bisa menjelma menjadi api besar yang membakar segalanya.

****

Sementara itu Ken Suryawati pergi ke tempat mbok sanem—dukun langganannya, dia merasa kalau saat inilah kesempatannya bagi Raksa—anaknya untuk mendapatkan singgasana raja. Tapi apa yang diharapkan Ken Suryawati justru menjadi bahan tertawaan mbok Sanem membuat Suryawati dan nyi. Rengganis—dayang setianya mengkerutkan kening merasa heran.

“Hahahahahahaha....kau bodoh Suryawati kau benar-benar bodoh, bahkan aku yang bukan penyembah Dewata saja tahu kalau apa yang kau katakan itu semua adalah mimpi,” kata mbok Sanem.

“Apa maksudmu nyi?” tanya Ken Suryawati menahan emosi.

“Bukankah sudah aku bilang, anakmu tidak akan duduk di singgasana raja jika gadis yang bernama Puspa itu kau singkirkan dan justru apa yang kau lakukan itu malah menghancurkan kau dan seluruh keturunan Ken Surtaji,” jawab mbok Sanem membuat Ken Suryawati gemetar kaget

“A-apa...maksudmu nyi, aku tidak...aku tidak berusaha...”

“Cukup! Semua isi pikiranmu, aku sudah membacanya Suryawati,”

Ken Suryawati duduk bersimpuh di depan sang dukun dengan wajah tegang, sementara Nyi Rengganis berdiri di belakangnya, menunduk, tak berani menatap langsung ke arah Mbok Sanem.

“Hahahahahaha… Suryawati, kau datang dengan hati penuh ambisi, tapi otakmu tertutup kabut keserakahan,” suara parau Mbok Sanem bergema, membuat bulu kuduk siapa pun berdiri. “Aku sudah bilang padamu, tak semua takhta bisa diraih dengan tipu daya.” Ken Suryawati menatapnya dengan pandangan tajam namun gugup. “Aku hanya ingin masa depan untuk anakku, Raksa. Apa salah seorang ibu berharap putranya naik menjadi raja? Bukankah darah Ken Surtaji masih mengalir di tubuh kami?” Mbok Sanem menatapnya lama, lalu tersenyum miring. “Darah Ken Surtaji memang mengalir... tapi juga membawa kutukannya, jika keseimbangan itu kau rusak.”

Suryawati mengernyit, tidak mengerti. “Keseimbangan apa yang kau maksud, Nyi?” Mbok Sanem mendesis pelan, lalu mengambil semangkuk air yang memantulkan cahaya redup. Ia menggerakkan jarinya di atas air itu, dan permukaannya mulai beriak tanpa angin. “Anakmu, Raden Raksa... ditakdirkan untuk menyatu dengan seorang gadis bernama Puspa. Ia bukan sekadar dayang biasa. Darahnya—darah tua dari keturunan bangsawan yang tersembunyi, yang akan memulihkan keseimbangan dalam garis Ken Surtaji.”

Suryawati menatap dengan wajah tegang, suaranya gemetar. “Jangan katakan padaku bahwa masa depan keluargaku bergantung pada perempuan rendahan itu. Tidak, aku tidak akan membiarkannya mencemari darah bangsawan kami!”

“Hahahaha… kau sombong, Suryawati,” tawa Mbok Sanem kini terdengar getir, seperti tawa orang yang sudah tahu akhir sebuah tragedi. “Kau kira darahmu masih murni? Kau lupa, Ken Surtaji dulu melanggar ikrar kepada Dewata. Dan kini, satu-satunya jalan untuk menebusnya adalah jika keturunanmu bersatu dengan darah yang ia buang.” Wajah Suryawati menegang, antara takut dan marah. “Kau berbohong! Puspa hanyalah dayang istana! Tidak mungkin ia keturunan bangsawan!”

Mbok Sanem mendengus. “Percayalah atau tidak, nasibmu sudah tergambar di langit malam. Jika kau berani mengusik gadis itu, maka bukan tahta yang kau dapat, melainkan kehancuran.” Suryawati berdiri, berusaha menahan amarahnya. “Kalau begitu, carikan jalan lain, Mbok! Aku tidak peduli apa kata Dewata, aku hanya ingin anakku duduk di singgasana, bukan tunduk pada takdir yang menghinakan!” Mbok Sanem menghela napas panjang, lalu mengambil segenggam dupa dan menyalakannya. Asapnya membentuk pusaran tipis yang mengambang di udara. “Baiklah... kalau kau memaksa, aku akan bertanya pada junjunganku. Tapi ingat, jangan menyesal jika yang datang bukan jawaban yang kau harapkan.” Ia mulai melantunkan mantra, suaranya rendah namun menusuk. Kemenyan semakin pekat, lampu minyak bergetar hebat seolah ada angin yang berhembus dari dunia lain. Wajahnya perlahan berubah, matanya memutih, dan tangannya gemetar hebat. “Kosong…,” suaranya tiba-tiba serak, “…gelap. Tidak ada jalan lain… semua tertutup.”

Suryawati menelan ludah, napasnya memburu. “Apa maksudmu kosong?!”

Mbok Sanem menatapnya dengan mata yang kini tampak hitam seluruhnya. “Berikan tanganmu padaku.” Suryawati ragu, tapi tatapan tajam dukun tua itu membuatnya tak kuasa menolak. Ia mengulurkan tangannya. Begitu Mbok Sanem menggenggamnya, tubuh Suryawati menegang. Matanya terpejam rapat, dan dalam sekejap, dunia di sekitarnya menghilang. Ia melihat medan perang—gelap, penuh darah dan jeritan. Tubuh-tubuh prajurit bergelimpangan. Di antara mereka, terlihat Raksa, anaknya sendiri, berlumuran darah, diikat dan dipenggal di depan pasukan. Ia sendiri—Ken Suryawati—terkurung di penjara lembap, tubuhnya kurus dan rambutnya memutih, menjerit menyesali segalanya. Di kejauhan, bunga kamboja putih bersinar lembut di dalam balairung, dibawa oleh seorang gadis berwajah teduh—Puspa. Sinar bunga itu menerangi seluruh ruangan, seolah menepis kegelapan dan membawa kesejukan. Lalu semuanya lenyap.

Suryawati tersentak bangun, terengah-engah, keringat dingin menetes dari pelipisnya. “A-apa yang... apa yang kulihat barusan...?”

Mbok Sanem menatapnya tajam. “Itulah masa depan yang akan datang jika kau berani melawan kehendak Dewata. Jangan sekali-kali menyentuh gadis itu, Suryawati. Biarkan takdir berjalan sebagaimana mestinya, atau seluruh darah Ken Surtaji akan sirna dalam kutukan abadi.” Suryawati menunduk, tangannya gemetar hebat. Rengganis berlutut di sampingnya, memegang lengannya dengan takut. Tapi di balik ketakutannya, ada bara kecil yang belum padam—ambisi yang masih berdenyut di dada Ken Suryawati.

Ia berbisik pelan, nyaris tak terdengar, “Jika memang takdir bisa mengikat... maka harus ada cara untuk memutusnya.” Dan malam itu, angin berdesir kencang, membawa bau kemenyan yang belum padam—seolah alam pun tahu, seorang ibu sedang berperang melawan kehendak Dewata.

1
Yuuko Ichihara
Tersentuh banget dengan kisah ini.
Indah Devi: terima kasih /Smile/
total 1 replies
kokichi.oma.panta
Wuihh! Simpel tapi menghibur banget ni novel.
Indah Devi: terima kasih /Smile/
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!