Nayla Marissa berpikir jika pria yang dikenalnya tanpa sengaja adalah orang yang tulus. Pria itu memberikan perhatian dan kasih sayang yang luar biasa sehingga Nayla bersedia menerima ajakan menikah dari pria yang baru berkenalan dengannya beberapa hari.
Setelah mereka menikah, Nayla baru sadar jika dirinya telah dibohongi. Sikap lembut dan penuh kasih yang diberikan suaminya perlahan memudar. Nayla ternyata alat buat membalas dendam.
Mampukah Nayla bertahan dan menyadarkan suaminya jika ia tak harus dilibatkan dalam dendam pribadi suaminya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mami Al, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagian 7
Dua minggu kemudian..
Akad dan resepsi pernikahan telah usai, acara hanya berlangsung 7 jam saja karena Dhana yang meminta tidak mengundang terlalu banyak tamu.
Setelah acara, Dhana kemudian mengajak Nayla ke rumahnya. Meskipun, Andreas menawarkan keduanya menginap di hotel beberapa malam tetapi Dhana menolaknya dengan alasan tak mau merepotkan mertuanya itu.
Sejam perjalanan, mereka akhirnya sampai juga dikediaman Dhana. Begitu keluar dari mobil, Nayla berdiri memandangi bangunan 3 lantai dengan halaman yang luas. Ia tak menyangka rumah suaminya sangat mewah dan megah.
"Ayo masuk, kenapa berdiri saja?" ajak Dhana dengan lembut.
"Ini benar rumah kamu?" Nayla mengarahkan pandangannya kepada suaminya.
"Iya, ini rumahku!" kata Dhana.
"Kamu bilang rumahmu tidak semewah rumah orang tuaku," Nayla mengingat kata-kata yang dilontarkan suaminya kala meminta restu.
"Memang tidak semewah rumah orang tuamu, tetapi lebih mewah!" ucap Dhana tersenyum. Ia kemudian melangkah lebih dulu.
Nayla mengikuti langkah suaminya dari belakang.
"Di rumah ini memiliki tiga kamar utama, satu kamar tamu dan dua kamar pelayan. Silahkan kamu pilih yang mana!" ucap Dhana tersenyum seringai.
"Maksud kamu apa? Aku harus memilih kamar untuk kita?" tanya Nayla bingung.
"Sudah lupakan saja!" jawab Dhana kemudian kembali melangkah, ia menaiki anak tangga menuju kamarnya.
Nayla juga menyusulnya.
Dhana membuka pintu kamar miliknya dan lagi-lagi membuat Nayla terperangah.
"Jika kamu butuh sesuatu tinggal tekan tombol ini!" Dhana menunjukkan tombol dekat nakas tepat di samping ranjang.
"Ini pasti salah!" ucap Nayla.
"Apa yang salah?" Dhana membalikkan badannya menatap istrinya.
"Kamu memakai rumah siapa?" tanya Nayla.
"Ini rumahku," jawab Dhana.
"Aku tidak percaya. Bagaimana mungkin seorang sopir taksi mampu membeli rumah ini!" ucap Nayla tak yakin dengan harta milik suaminya.
"Memang kenapa jika sopir taksi memiliki rumah mewah dan megah?" tanya Dhana.
"Tak masuk akal saja," jawab Nayla.
"Memangnya cuma orang tuamu saja yang mampu membangun atau membeli rumah mewah!" Dhana tampak tersinggung.
"Aku masih belum percaya!" kata Nayla.
"Terserah kamu mau percaya atau tidak, ini adalah rumahku. Lakukan apa saja yang kamu mau di sini!" ucap Dhana kemudian melangkah keluar dari kamarnya.
Nayla berjalan berkeliling dan memperhatikan setiap sudut kamarnya yang sangat mewah dan luas.
Selepas melihat-lihat kamarnya, Nayla lalu keluar ia mencari keberadaan suaminya ke lantai bawah. Namun, ia tak menemukan sosok Dhana.
"Tuan Kavi sedang keluar, Nyonya!"
Nayla membalikkan badannya, ia begitu terkejut mendengar seseorang menyebut nama depan suaminya.
"Kemungkinan Tuan Kavi pulang larut malam, Nyonya. Apa Nyonya mau saya buatkan makanan?"
"Kenapa kalian memanggilnya 'Tuan'?" tanya Nayla heran.
"Karena Tuan Kavi adalah majikan kami," jawabnya.
"Majikan? Sejak kapan?" Nayla semakin penasaran.
"Sepuluh tahun lalu."
Nayla semakin bingung. Suaminya mengaku hanya orang biasa, tetapi rumah dan wanita pelayan menunjukkan bahwasanya Dhana bukan orang sembarangan.
"Nyonya, mau kami buat makanan apa?"
"Telur rebus dan ayam panggang saja!"
"Baiklah, Nyonya!" pelayan wanita itu kemudian melangkah ke dapur.
Nayla kembali ke kamar, ia membuka lemari tampak beberapa potong pakaian telah tergantung di sana.
Nayla lalu mengambil salah satu pakaian, ia kemudian ke kamar mandi membersihkan diri.
Selesai mandi, Nayla berniat menelepon kedua orang tuanya dan ingin memberitahu mengenai kecurigaan mereka selama ini.
Nayla mengeluarkan ponsel dari tasnya, ia mencari kontak telepon Papa Andreas tetapi panggilan tak tersambung.
"Ya ampun, tidak ada sinyal!" umpat Nayla kesal.
Nayla keluar kamar dan berjalan cepat menuju dapur. Di sana, ia berencana akan meminjam ponsel salah satu pelayan.
"Maaf, Nyonya. Kami tidak memiliki alat komunikasi, kami dilarang menggunakan alat itu selama bekerja dan di rumah ini."
"Peraturan aneh macam apa ini?" Nayla tampak kesal.
-
Malam harinya, beberapa hidangan telah tersaji di meja makan. Seikat bunga mawar berada di samping tempat duduknya Nayla.
"Bunga sengaja Tuan Kavi kirimkan buat Nyonya!"
"Aku tidak butuh bunga ini, aku butuh dia ada sini menemaniku makan!" ucap Nayla kesal.
"Lebih baik Nyonya nikmati makanan ini, karena Tuan Kavi tidak mau Nyonya jatuh sakit!"
Nayla menikmati makan malam dengan keterpaksaan. Ia tak mungkin tidur dalam keadaan lapar. Apalagi, rumah suaminya tak seperti kediaman orang tuanya. Nayla sudah mengetahui setiap sudut rumah.
Selepas makan malam, Nayla menuju kamarnya. Begitu masuk matanya membulat, di atas ranjang ada 2 tas dan seikat bunga mawar lagi serta sepucuk surat.
Nayla mendekat dan mengambil surat itu lalu membacanya. Isinya, Dhana akan pulang larut malam karena ada urusan mendadak.
"Apa 'sih yang dilakukannya di luar sana?" gumam Nayla heran.
Jam 1 malam, Dhana pulang dengan pakaian acak-acakan. Nayla yang sangat mengantuk karena kelelahan pasca resepsi pernikahan tampak begitu pulas sehingga ia tak tahu kepulangan suaminya.
***
Pagi harinya, Nayla lebih dahulu terbangun kala mendengar suara kicauan burung yang terbang dari satu pohon ke pohon yang lain.
Melihat suaminya masih tertidur, Nayla menyandarkan kepalanya di dada suaminya dan memeluknya.
Dhana membuka matanya karena merasakan sentuhan, ia menyingkirkan tangan istrinya dari perutnya.
"Kita melewati malam pertama. Kemana kamu semalam?" tanya Nayla dengan lembut.
"Bukan urusanmu," jawab Dhana.
"Bukan urusan aku? Kita ini baru menikah," ucap Nayla dengan mata berkaca-kaca.
"Tidak perlu menangis, aku tidak mengkhianatimu bukan seperti papa kamu!" tukas Dhana.
"Papa? Kenapa dikaitkan dengan papaku? Apa hubungannya?" Nayla begitu heran.
"Aku mau mandi dan siap-siap berangkat kerja!" kata Dhana mengalihkan pembicaraan. Ia turun dari ranjang dan ke kamar mandi.
Selesai membersihkan diri, Dhana yang masih memakai handuk dan bertelanjang dada membuat Nayla tergoda dengan tubuh sempurna milik suaminya.
Nayla memeluk Dhana dari belakang. "Kita baru menikah, luangkan waktumu bersamaku!"
"Aku tidak bisa, aku harus bekerja. Biaya pernikahan kita sangat besar, jadi aku harus kembali menabung!" kata Dhana beralasan.
"Aku akan meminta papa membantumu!" ucap Nayla.
"Aku tidak butuh uang orang tuamu!" Dhana melepaskan pelukan istrinya.
"Aku hanya ingin meringankan beban kamu!" ucap Nayla lagi.
Dhana membalikkan badannya dan memegang kedua lengan istrinya kemudian mendorongnya secara pelan. "Terima kasih, aku masih sanggup!"
"Tapi...."
Dhana dengan cepat mengecup bibir istrinya agar berhenti berbicara.
Kecupan singkat itu membuat Nayla sejenak terdiam.
"Pergilah mandi, sebentar lagi aku akan berangkat kerja. Kita akan sarapan bersama!" ajak Dhana.
Nayla tersenyum lalu berkata, "Baiklah!"
Selang 20 menit kemudian, Nayla telah selesai mandi dan berpakaian. Ia menemui suaminya di ruang makan. Tampak Dhana sebentar lagi akan selesai menikmati sarapannya.
"Apa aku boleh pinjam ponsel kamu?" Nayla memberanikan diri.
"Tidak!"
"Kalau begitu, izinkan aku menelepon orang tuaku di dekat gerbang!" kata Nayla. "Di sini sinyal telepon sangat buruk!" lanjutnya.
"Tidak boleh juga, kamu tak aku izinkan menghubungi siapapun!" tegas Dhana.
"Mengapa begitu? Mereka 'kan orang tuaku!" ucap Nayla.
"Ya, tapi yang berhak atas kamu adalah aku!" Dhana mempertegas ucapannya.
Nayla pun terdiam.
"Jika kamu membuat masalah dan memancing kemarahan, aku akan memberikan hukuman untukmu!" Dhana memandang wajah istrinya dengan tatapan seringai.