"Kenapa kau menciumku?" pekik Liora panik, apalagi ini adalah ciuman pertamanya.
"Kau yang menggodaku duluan!" balas Daichi menyeringai sembari menunjukkan foto Liora yang seksi dan pesan-pesan menggatal.
Liora mengumpat dalam hati, awalnya dia diminta oleh sahabatnya untuk menggoda calon pacarnya. Tapi siapa sangka Elvara malah salah memberikan nomor kakaknya sendiri. Yang selama ini katanya kalem dan pemalu tapi ternyata adalah cowok brengsek dan psikopat.
Hingga suatu saat tanpa sengaja Liora memergoki Daichi membunuh orang, diapun terjerat oleh lelaki tersebut yang ternyata adalah seorang Mafia.
Visual cek di Instagram Masatha2022
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Masatha., isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7
Liora mematikan ponselnya, melemparkannya ke atas meja rias. Napasnya masih berat, bayangan wajah dingin Daichi terus menghantui pikirannya. Ia memutuskan mandi—air hangat mengalir di kulitnya, sedikit menenangkan rasa takut yang masih menempel.
"Padahal aku tidak melakukan aktivitas berat, tapi aku merasa sangat lelah. Sepertinya aku terkena mental karena Kak Daichi. Apakah setelah ini hari-hatiku bisa tenang? Oh Tuhan, sebulan. Hanya sebulan. Semoga semua cepat berlalu."
Begitu selesai, hanya handuk yang membalut tubuhnya. Ia berniat langsung ke lemari pakaian, namun langkahnya terhenti seketika.
Seorang lelaki tengah berbaring santai di ranjang, tangan terlipat di belakang kepala. Tatapan hitam itu menyorotinya dengan tenang, seolah kehadirannya di kamar lantai tiga adalah hal biasa. Tapi tak bisa Liora pungkiri, kakak dari sahabatnya itu memang sangat tampan dan menawan. Hot.
“ Kak Daichi…?” suara Liora tercekat, tubuhnya menegang. “Pintunya terkunci… bagaimana kamu masuk?”
Lelaki itu tersenyum tipis, sudut bibirnya terangkat penuh kesombongan. “Dari balkon."
"Jangan bercanda, aku ada di lantai tiga."
"Nyatanya sekarang aku ada di depan maya kamu bukan?" balas Daichi menyeringai.
Rumah papa tirinya ada penjaga, juga ada CCTV, apalagi lantai tinggi terlalu tinggi untuk dimasuki tanpa bantuan. Fakta bahwa Daichi bisa berdiri di sini dengan mudah membuat jantungnya berdegup tak karuan.
“Sebenernya… kerjaan kamu itu apa?” suaranya lirih, nyaris bergetar. “Kenapa kamu bisa melakukan hal-hal seperti ini?”
Daichi bangkit, duduk di tepi ranjang. Matanya mengamati Liora dari atas hingga bawah, lalu ia terkekeh pelan. “Sebenarnya kamu sedang mencoba menggodaku lagi?”
Tatapannya berhenti pada kulit Liora yang hanya terbalut handuk.
Seketika darahnya naik ke wajah. “Tidak!" seru Liora, buru-buru merapatkan handuk di dadanya.
“Melihatmu begini… sulit sekali untuk percaya kalau itu tidak disengaja,” jawab Daichi dengan nada iseng namun matanya tetap gelap, mendominasi.
Liora mundur satu langkah, lalu berlari masuk ke ruang ganti. Tangannya gemetar saat meraih pakaian, buru-buru mengenakan gaun tidur tipis. Tubuhnya masih bergetar, keringat dingin menetes meski baru saja mandi.
"Bagaimana ini? Aku sangat takut. Apa aku lapor ke Elvara biar dia menasihati kakaknya biar tidak mengangguku? Tapi bagaimana juga aku langsung dibunuh?"
Dia kembali berdiri di dekat meja rias, menatap bayangannya di cermin. Pertanyaan yang terus berputar di kepalanya: manusia macam apa Daichi? Bagaimana bisa seorang lelaki menembus keamanan rumah papa tirinya seolah tidak ada yang mampu menghentikannya?
Saat keluar dari ruang ganti, Daichi masih di ranjang. Kali ini ia duduk dengan satu kaki naik ke atas kasur, rokok menyala di antara jarinya. Asap tipis membubung, aroma tembakau memenuhi ruangan.
“Aku bukan manusia baik-baik, Liora,” ucapnya santai, seolah membaca pikiran gadis itu. “Aku terbiasa hidup dalam bayangan. Membunuh, menyusup, berbohong—semua hal yang tidak seharusnya kamu tahu. Tapi sekarang kamu sudah melihat terlalu banyak.”
Liora menelan ludah, wajahnya pucat.
“Au sudah janji nggak akan membongkar rahasiamu, bukan?” tanyanya pelan, suara hampir hilang.
Daichi mematikan rokoknya di asbak kristal di meja nakas, kemudian berdiri. Tubuhnya mendekat, langkahnya tenang tapi berat. Tangannya terulur, menyentuh dagu Liora, memaksa wajahnya menengadah menatap mata hitam itu.
"Aku tidak bisa percaya pada siapapun."
Napas Liora tercekat, tubuhnya seakan membeku di bawah dominasi lelaki itu.
"Kalau begitu, apa maumu?"
"Kenapa kau tak mengangkat telpon ku?" tanya Daichi berubah dingin.
"Aku—sedang berendam di dalam," jawab Liora sampai gemetar.
Daichi tersenyum tipis, lalu menempelkan keningnya ke kening Liora. “Jangan pernah berpikir kau bisa lari dariku. Aku selalu bisa menemukanmu… bahkan di balik kunci yang kuat sekalipun."
Kedua lutut Liora melemas, tapi sebelum ia bisa menjauh, Daichi lebih dulu menarik pinggangnya. Tubuh mungil itu terjerat dalam dekapan kuat, dipangku seolah tak punya jalan keluar.
“Babe,” bisik Daichi dengan nada tenang tapi tegas, “jangan lupa kalau kita pacaran. Jadi bersikaplah selayaknya pacar.”
Liora mencoba meronta, tapi tangan Daichi mencengkeramnya semakin erat. Lelaki itu menunduk, jemari panjangnya menyusuri tengkuk hingga berhenti di leher halusnya. Ia menarik wajah Liora mendekat, dan sebelum gadis itu sempat menolak, bibirnya sudah ditangkap dalam ciuman lembut namun mendominasi.
Tubuh Liora sontak menegang. Aroma sabun mandinya masih menempel, namun panas lain kini menjalar cepat. Jantungnya berdegup tak karuan, dadanya terasa sesak. Ia ingin menepis, ingin berteriak, tapi ciuman Daichi terlalu kuat—terlalu memabukkan.
Daichi menahan setiap gerakan kecilnya. Sentuhan bibirnya perlahan, nyaris sabar, tapi justru itulah yang membuat Liora kehilangan kendali. Tubuhnya merespons, napasnya terengah, hingga akhirnya ia hanya bisa pasrah saat Daichi memintanya membuka mulut.
Ciuman mereka dalam, mengguncang. Daichi tahu persis bagaimana mengendalikan ritmenya, mengaduk perasaan sekaligus meruntuhkan pertahanan. Liora tidak pernah merasakan hal seperti ini—bahkan hanya dalam mimpi.
Ketika akhirnya Daichi melepaskan ciuman itu, Liora terengah, pipinya panas. Jemarinya mencengkeram kuat bahu Daichi, antara ingin mendorong atau justru bertahan di sana.
“Brengsek…” gumamnya dengan suara lirih, penuh kekesalan yang bercampur kebingungan. “Kamu orang pertama yang berani mencuri first kiss aku…”
Daichi tertawa rendah, nada suaranya seperti ejekan tapi juga penuh kepuasan. Ia mengusap bibir Liora dengan ibu jarinya, lalu menatap lurus ke matanya. “Dan kau juga orang pertama yang aku cium."
Liora terdiam, matanya melebar tak percaya. Ia ingin menuduh itu hanya gurauan, tapi sorot mata Daichi terlalu serius, terlalu jujur dalam cara yang aneh.
“Aku tidak percaya,” desisnya, menunduk berusaha menjauh.
Daichi kembali menariknya lebih erat, dagunya menempel di bahu Liora. “Percaya atau tidak, akuntan peduli. Yang jelas… sekarang kamu sudah terikat denganku.”
Gadis itu menggigit bibir bawahnya, perasaan takut dan panas bercampur jadi satu. Ia tidak tahu mana yang lebih dominan—ketakutan pada sisi gelap Daichi, atau tarikan aneh yang membuatnya sulit menolak.
"Tapi hanya satu bulan, setelah itu jangan ganggu aku lagi!" tegas Liora.
"Oke," jawab Daichi dengan santai.
Dalam hati Liora menjerit. Bagaimana bisa ia membiarkan lelaki sekejam ini merebut sesuatu yang seharusnya ia jaga rapat? Namun tubuhnya sendiri mengkhianati pikirannya, masih gemetar bukan karena benci, melainkan karena terlalu terpengaruh pada sentuhan singkat tadi.
Tok Tok Tok!
"Sayang, kamu sudah tidur?" Panggil Anita dari luar. Sontak saja Liora menjadi panik.
"Ada mama, kamu pergilah!" pinta Liora.
"Nggak mau, aku ingin menginap di sini," tolak Daichi.
"Jangan gila, kalau ketahuan bisa gawat!" sergah Liora melotot.
Daichi terkekeh, baginya saat Liora marah justru nampak imut.
"Oke, tapi beri aku ciuman," pinta Daichi sengaja mengisengi.
Liora tak punya pilihan, diapun segera menarik leher Daichi lalu menciumnya.
Ahh, Daichi sangat menikmatinya.
semoga sehat selalu
gemes deh bacanya