Aluna, seorang pekerja kantoran, punya satu obsesi: Grand Duke Riven Orkamor, antagonis tampan dari game otome yang seharusnya mati di semua rute. Baginya, menyelamatkan Riven adalah mimpi yang mustahil.
Hingga sebuah truk membuatnya terbangun sebagai Luna Velmiran — putri bangsawan kaya raya yang manja dan licik, salah satu karakter dalam game tersebut.
Kini, Riven bukan lagi karakter 2D. Ia nyata, dingin, dan berjalan lurus menuju takdirnya yang tragis. Berbekal pengetahuan sebagai pemain veteran dan sumber daya tak terbatas milik Luna, Aluna memulai misinya. Ia akan menggoda, merayu, dan melakukan apa pun untuk merebut hati sang Grand Duke dan mengubah akhir ceritanya.
Namun, mencairkan hati seorang antagonis yang waspada tidaklah mudah. Salah langkah bisa berarti akhir bagi mereka berdua. Mampukah seorang fangirl mengubah nasib pria yang ia dambakan, ataukah ia hanya akan menjadi korban tambahan dalam pemberontakannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BlackMail, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27 : Kencan Pertama?
Luna terkesiap, matanya terbelalak tak percaya. "Apa!? Jangan gila! Kamu sudah kelelahan! Ini namanya bunuh diri!"
"Risikonya sepadan," balas Riven dengan tenang. "Lihat hadiah yang kita dapatkan sejauh ini. Tulang Truno, Jantung Naga Palsu, Kotak Persenjataan. Hadiah di lantai atas pasti jauh lebih berharga."
"Tidak boleh! Nyawamu lebih berharga dari hadiah mana pun!" seru Luna tanpa berpikir. Wajahnya langsung memerah padam saat menyadari apa yang baru saja ia katakan.
Riven terdiam, menatap Luna dengan ekspresi yang tak terbaca.
Luna menelan ludah, mencoba mengendalikan emosinya. Ia menatap Haris yang tak berdaya, lalu Theo yang sudah di ambang batasnya. Kemudian ia menatap Riven, yang berdiri tegak meski jelas-jelas kelelahan, matanya menyiratkan tekad yang tak tergoyahkan. Ia akhirnya membuat keputusan.
"Theo," panggilnya dengan suara tegas. Theo menoleh, matanya merah dan bengkak. "Ambil Return Stone milikmu. Bawa Haris dan keluar dari sini sekarang juga. Lalu tembakkan suar darurat untuk memanggil tim medis."
"Ta-tapi, Tuan Putri..."
"Ini perintah," kata Luna, nadanya tidak menerima bantahan.
Setelah memastikan Theo mengangguk patuh dan dengan susah payah mulai mempersiapkan evakuasi Haris, Luna berbalik menghadap Riven. Ia mengambil Return Stone miliknya sendiri, namun tidak menghancurkannya.
"Baiklah," katanya, suaranya kini mantap. "Namun, Anda tidak akan pergi sendirian."
Ia juga melepaskan gelang skornya. "Saya juga akan naik menemani Anda. Jadi, jangan coba-coba melakukan hal yang berbahaya! Jika musuh terlalu kuat, Anda harus langsung memecahkan Return Stone, oke?"
Riven menatap gadis di hadapannya. Ia melihat ketakutannya, tapi ia juga melihat keberanian yang lebih besar. Ia melihat kekhawatirannya, tapi ia juga melihat kesetiaan yang tak terpikirkan. Untuk pertama kalinya, sebuah senyum yang sangat tipis, nyaris tak terlihat, tersungging di bibirnya.
"Aku berjanji."
Luna terpesona. "Dia... dia tersenyum? Senyum yang hanya untukku? Ya Tuhan, pemandangan ini saja sudah setara dengan artefak legendaris! Aku tidak akan pernah melupakannya seumur hidupku!"
Theo, setelah berhasil menopang Haris, akhirnya menghancurkan Return Stone miliknya. Sebuah pilar cahaya putih menyelimuti mereka berdua, dan dalam sekejap, mereka lenyap dari lantai itu.
Keheningan yang canggung langsung menyelimuti ruangan. Kini hanya ada mereka berdua. Luna merasakan jantungnya berdebar tak karuan. "Berduaan... dengan Riven-ku tersayang... di tempat sepi seperti ini... Ini seperti sebuah kencan! Kencan berbahaya di tengah menara kuno! Romantis sekali! Setelah ini apa? Mungkin kami akan menemukan ruangan tersembunyi dengan satu tempat tidur, lalu karena kedinginan kami terpaksa..."
Pikiran Luna mulai berkelana semakin liar, membayangkan skenario-skenario romantis yang mustahil.
"Luna!"
Sebuah tepukan pelan di bahunya membuat Luna tersentak kaget dari lamunannya. "Iy-iya, kenapa!?" jawabnya tergagap.
Ia menoleh dan mendapati wajah Riven begitu dekat. Dan yang lebih mengejutkan lagi, wajah pria dingin itu tampak sedikit... memerah.
"Warna hatinya... emas, merah, dan sekarang... berputar-putar dengan merah muda yang kotor. Apa yang sebenarnya sedang dia pikirkan?" batin Riven, mencoba mengabaikan gambaran-gambaran aneh yang ia tangkap dari aura Luna.
"Apa kamu sudah siap?" tanyanya, mencoba mengalihkan suasana.
Luna mengangguk mantap. Namun, sesaat sebelum Riven mendorong pintu, Luna buru-buru menghentikannya, memegang lengannya dengan erat.
"Tu-tunggu! Lantai berikutnya juga penuh air, kan? Bagaimana caraku bernapas? Aku hampir lupa!" Ia panik.
Momen romantis barusan hampir membuatnya mati konyol. Etika bangsawan sudah tidak penting lagi.
Riven menatap Luna dengan bingung, lalu ke kipas di tangannya. "Aku memang bertanya-tanya dari tadi kenapa kamu tidak menggunakan Desera dengan benar... Rupanya kamu tidak bisa menggunakannya, ya?"
"Eh? Desera? Maksud Anda kipas ini?"
"Riven tahu soal kemampuan tersembunyi kipas ini?"
Riven mengulurkan tangannya. "Boleh aku lihat?" Luna menyerahkan kipas itu. "Darimana kau tahu nama artefak ini?"
"Ibuku yang menjualnya pada Duke Velmiran bertahun-tahun yang lalu," jawab Riven singkat. Saat tangannya menyentuh kipas itu, ukiran ular merah di atasnya bersinar, lalu bentuknya meleleh dan berubah menjadi ukiran seekor paus pembunuh yang megah.
"Ibu Riven... Kalau begitu... Mantan Ratu, ya," batin Luna, kini mengerti. Jika itu mantan Ratu itu pasti wanita yang bernama Duchess Mantaris itu. Tidak ada ilustrasi atau cerita yang benar-benar menceritakan beliau, tetapi kadang disebut sebagai figur bangsawan wanita yang luar biasa.
Riven dengan santai melempar kipas Desera ke udara, dan kipas itu berputar sebelum kembali dengan sempurna ke tangannya, seperti bumerang. "Boleh aku pinjam sebentar?"
Luna hanya bisa mengangguk, masih terpana.
Riven memejamkan mata, mengalirkan energi magis ke dalam Desera. Seketika, aura gelap yang pekat keluar dari tubuhnya, disertai hembusan angin dahsyat yang membuat kemeja Riven terombang-ambing, memperlihatkan sekilas bagian dadanya yang bidang.
Tanpa berkedip, Luna secara refleks memanggil smartphone dari penyimpanannya dan menekan tombol rekam. "UAH!! Momen langka, nih! Dada reveal Riven-ku! Dapat! Apa dia sengaja ngasih aku fans service karena sudah aku pinjamin kipas?"
Saat Riven membuka matanya kembali, dua bayangan raksasa muncul dari auranya. Dua ekor paus orca transparan berukuran hampir dua puluh meter kini berenang dengan anggun di udara kering di sekitar mereka.
"Wow... jadi ini... Peminjaman Kekuatan Suci itu?" bisik Luna, benar-benar terkagum-kagum. Ia bergerak perlahan dan menempelkan tangannya ke salah satu orca.
Rasanya dingin dan halus, seperti menyentuh jeli padat. Ia benar-benar bisa menyentuhnya.
Orca kemudian berputar, mengelilingi tubuh Luna, membuatnya sedikit takut. "Ri-Riven... Dia tidak akan memakanku, kan?"
Riven tertawa kecil, suara tawa yang sangat langka. "Tentu saja dia akan memakanmu," katanya, menenangkan Luna dengan nada bercanda.
Paus orca yang satunya mendekati Riven, membuka rahangnya dan... HAP! "Memakannya". Luna terkejut, tapi tidak terjadi apa-apa. Riven hanya melayang, tubuhnya kini berada di dalam tubuh transparan sang Orca, seolah sedang berenang di udara. "Kata mereka kamu akan mendapatkan efek yang sama seperti Berkah Thalvarian jika berada di dalam tubuhnya," jelas Riven dari dalam.
"Eh? Anda bisa bicara dengannya?"
Luna menatap orca yang masih setia mengitarinya. Paus itu seolah mengerti dan membuka rahangnya... HAP!
"Yah... daripada ditelan, rasanya lebih seperti ditembus gelombang air," gerutu Luna dalam hati saat tubuhnya kini melayang di dalam paus kedua.
Ia merasa bisa bernapas dengan normal, bahkan lebih segar dari sebelumnya. "Ini mirip seperti sihir Theo, tetapi berbeda." Ia menatap Riven yang juga melayang di dalam orcanya.
"Aku siap," kata Luna, senyum petualangan terukir di wajahnya.
Riven mendorong gerbang batu itu dengan satu tangan. Cahaya terang menyelimuti mereka, dan sedetik kemudian, pemandangan di depan mereka berubah total.