Pada tahun 2086, umat manusia berdiri di puncak kejayaan teknologi. Negara-negara besar bersatu di bawah Proyek Helios — percobaan menciptakan sumber energi tak terbatas dengan memanipulasi ruang dan materi gelap.
Namun pada malam ketika Helios Reactor diaktifkan untuk pertama kalinya, sesuatu terjadi. Langit di atas Samudra Pasifik retak seperti kaca yang dilempar batu. Membentuk celah raksasa bercahaya ungu, berdenyut seperti nadi dunia yang terluka.
Seekor makhluk bersisik emas, bersayap seperti petir, mengaum di atas laut. Lalu menyusul bayangan-bayangan lain: raksasa dari batu, wanita bersayap burung gagak, binatang bertanduk dari legenda kuno.
Nuklir ditembakkan, senjata diluncurkan. Sebuah kedatangan para makhluk mitologi yang mengancam ras manusia berdatangan dan membawa pesan,
“Kalian membuka pintu tanpa izin. Dunia kami hancur karenanya. Kini, keseimbangan harus ditegakkan.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon See You Soon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Penciptaan Arena
Langit siang itu bergetar. Awan-awan bergulung seperti lautan putih yang marah, sementara sinar matahari menembus celah-celahnya, memantulkan kilau keemasan di seluruh cakrawala.
Di bawah gemuruh lembut angin surgawi itu, The Ancient One berdiri di atas tebing awan tertinggi dunia. Tubuhnya menjulang, sayap garudanya terentang luas hingga menutupi separuh langit.
Presiden Amerika memandang dari bawah, bersama para penjaga dan juga seluruh umat manusia yang tampak pasrah. Semua menatap ke atas, ke arah makhluk bersayap itu, yang kini tampak seperti dewa pencipta dari kisah purba.
The Ancient One mengangkat tangannya. Cakar emasnya menggores udara, meninggalkan jejak cahaya yang berputar seperti pusaran matahari. Suara dalam yang menggema dari dadanya bukan sekadar kata-kata, melainkan firman alam itu sendiri.
"Jika dunia lama tak sanggup menampung kehendak dua ras, maka biarlah langit yang menjadi saksi bagi dunia baru.”
Awan-awan di bawahnya bergetar, menggulung seperti badai putih.
Dari pusaran itu, tanah muncul. Bukan tanah biasa, melainkan hamparan raksasa yang membentang tanpa ujung, terbuat dari batu, cahaya, dan energi murni.
Gunung-gunung kecil terbentuk di pinggirannya, dan pilar-pilar raksasa menjulang tinggi ke langit seperti tiang penopang surga.
Di tengahnya, berdiri Colosseum Agung, begitu besar hingga bayangannya sendiri menutupi awan sejauh ribuan mil.
Tembok-temboknya berwarna emas berkilau, diselingi marmer putih dan ukiran makhluk-makhluk dari dua dunia. Naga, manusia, peri, robot, dan roh.
Arena utamanya membentang luas, seperti gurun di tengah surga, mampu menampung ribuan pasukan sekaligus.
Suara petir menyambar perlahan di kejauhan, namun bukan petir biasa, melainkan gema kekuatan magis dan energi buatan manusia yang menyatu, membentuk batas medan. Sebuah kubah transparan, bercahaya lembut, melingkupi seluruh arena sekaligus pelindung antara kekuatan para juara dan penonton.
Kemudian, dari tanah yang baru lahir itu, muncul tribun-tribun megah yang mengelilingi colosseum. Di satu sisi, ribuan manusia duduk dengan pakaian dengan simbol negara masing-masing, dan di sisi lain, makhluk-makhluk mitologi dari segala ras. Naaga kecil, centaur, elf, troll, hingga roh air, duduk berdampingan. Suara mereka bergema seperti riuh festival dan peperangan yang bercampur jadi satu.
Lalu, di ujung tertinggi arena, di antara dua tiang cahaya yang menjulang ke langit, terbentuk dua singgasana. Yang pertama, di sisi barat, dari logam hitam yang berpadu dengan baja dan serat cahaya. Singgasana Teknologi, tempat Presiden umat manusia duduk. Di belakangnya, hologram bendera dunia berkibar lembut, simbol umat manusia yang kini menggantung nasibnya di ujung kehormatan.
Yang kedua, di sisi timur, berdiri megah di atas pilar kristal emas, dihiasi ukiran matahari dan sayap burung. Singgasana Surya, milik The Ancient One. Ketika ia duduk di atasnya, sayap-sayapnya terbentang ke langit, membentuk bayangan raksasa yang menutupi matahari, seolah langit sendiri menunduk memberi hormat.
Gemuruh dari makhluk langit terdengar, dan angin berubah menjadi lagu sakral yang tak pernah didengar sebelumnya.
The Ancient One mengangkat tangannya sekali lagi. Dari cakar emasnya, cahaya menyalakan simbol besar di udara. Simbol keseimbangan, dua lingkaran yang saling mengikat, mewakili manusia dan mitologi.
“Inilah panggung yang akan menentukan takdir kita,” ujarnya dengan suara bergemuruh,
“Arena di mana darah akan menjadi perjanjian, dan kehormatan menjadi hukum.”
Presiden berdiri dari singgasananya, menatap luasnya arena yang melayang di antara awan. Ia berkata lirih namun tegas, suaranya terbawa angin ke seluruh penjuru:
“Maka biarlah di bawah matahari ini, kekuatan dan keadilan berbicara. Tidak untuk kebencian, tapi untuk masa depan.”
Awan bergetar, cahaya memancar, dan seluruh penghuni dua dunia. Manusia maupun makhluk mitologi, bersorak dalam satu suara.
Langit bersinar seperti siang abadi, dan Arena Dua Dunia resmi lahir. Tempat di mana sejarah baru akan ditulis, dan dunia akan menentukan siapa yang layak disebut penguasa langit dan bumi.
...****************...
Langit yang tadinya cerah perlahan mulai redup. Bayangan mendung menggelayut di antara awan putih yang bergulung di bawah Colosseum raksasa itu. Cahaya matahari yang tadi memantul di dinding-dinding arena kini terselubung lembut, seolah semesta menahan napas menantikan sesuatu yang agung.
Angin berembus pelan, membawa hawa sejuk yang menghapus sisa panas dari bebatuan arena yang baru saja terbentuk. Daun-daun kering yang entah dari mana datangnya beterbangan ringan, lalu berhenti ketika sebuah kilatan cahaya ungu membelah udara di tengah langit. Dari sana, perlahan sosok itu turun.
Virgo — sang pengadil dari bintang-bintang.
Tubuhnya bersinar lembut bagai cahaya bulan yang jatuh di permukaan air. Rambutnya ungu, panjang menjuntai hingga mata kakinya, dengan hiasan bintang dan bulan sabit berwarna keemasan bertabur di antara helaian rambutnya yang berpendar lembut, seperti potongan langit malam yang hidup. Di tangan kirinya ia menggenggam timbangan emas, berayun ringan, memancarkan cahaya kekuningan yang kontras dengan mendung di atas sana.
Setiap langkah yang ia ambil meninggalkan jejak cahaya perak di lantai batu. Sorot matanya tenang, tidak tajam, namun memantulkan rasa tahu yang dalam, seolah ia telah melihat segala bentuk kebohongan dan kebenaran yang pernah diciptakan.
The Ancient One menundukkan kepala sedikit, sementara Presiden hanya mampu menatap dengan kagum dan sedikit gentar. Bahkan para makhluk mitologi yang penuh kekuatan. Naga, minotaur, elf, dan peri api, kini diam terpaku, seolah keberadaan Virgo menuntut penghormatan tanpa harus memintanya.
Ketika akhirnya ia berhenti di tengah arena, udara di sekitar membisu. Timbangan di tangannya berayun pelan… ting… suara logam halus itu menggema jauh, dan setiap makhluk di tempat itu merasa jantung mereka berdetak serentak.
Lalu, dengan suara lembut namun menggema seperti gema surgawi, ia berkata:
“Keseimbangan telah terusik. Maka aku datang. Bukan untuk berpihak, tetapi untuk menimbang.”
Suara itu, walau lembut, menembus hati semua yang hadir, menenangkan sekaligus mengguncang. Mendung tetap menggantung di atas mereka, namun tak ada hujan, hanya udara yang sejuk dan tenang, seperti jeda sebelum dunia memutuskan nasibnya sendiri.
Seisi Colosseum terdiam. Hening seperti ruang hampa. Suara Virgo barusan, walau hanya sepatah dua kata, meninggalkan gema yang tak mampu ditelan waktu.
Presiden, yang biasanya berbicara tegas dan berwibawa, kini menatap kosong ke udara. Matanya basah, bukan karena sedih, melainkan karena keindahan suara yang baru saja melintas di udara. Ia, manusia yang telah melewati perang dan diplomasi paling getir dalam sejarah umatnya, tak pernah membayangkan bahwa suara saja mampu meluruhkan segala rasa takut, dendam, dan kebencian yang menumpuk di dadanya.
Di sisi lain, The Ancient One, makhluk agung yang berwujud garuda berzirah emas, perlahan menundukkan kepalanya. Sayap-sayapnya yang megah mengepak pelan, menebarkan serpihan cahaya keemasan. Mata elangnya yang tajam kini berkaca-kaca.
“Sungguh… suara yang menembus jiwa bahkan bagi makhluk yang tak memiliki hati manusia,” gumamnya lirih, suaranya parau karena terharu.
Makhluk-makhluk mitologi lain ikut terdiam. Naga yang biasanya sombong menundukkan kepala, peri air menitikkan butiran bening dari matanya, dan minotaur, sang penjaga lorong, berlutut sambil menatap ke tanah, terisak dalam diam.
Sementara itu, manusia yang hadir di arena. Tentara, ilmuwan, utusan diplomatik, semuanya hanya bisa berdiri terpaku, banyak di antara mereka menangis tanpa tahu alasan mengapa.
Lalu Virgo kembali berbicara.
Suara itu kini mengalun lembut, seperti lagu yang berasal dari awal penciptaan. Setiap katanya bergema di hati para pendengar. Bukan hanya terdengar oleh telinga, tapi dirasakan oleh jiwa.
“Jangan gentar, wahai anak-anak dari dua dunia. Aku bukan dewi, bukan pula penguasa. Aku hanyalah Virgo. Potongan kecil dari langit yang kalian sebut rasi bintang.”
Timbangan emas di tangan kirinya berputar perlahan, memancarkan cahaya keperakan yang menyapu seluruh arena.
“Aku menjelma menjadi sosok ini karena melihat saudaraku, sang Matahari, tampak gelisah dari takhta cahayanya. Ia menangis dalam nyala yang tak pernah padam. Maka Aries, kakak tertua dari antara kami para Rasi Bintang, mengutusku untuk menelusuri penyebab kegelisahan itu. Sebuah getaran yang lahir dari galaksi kalian… dari planet biru yang kalian sebut Bumi.”
Langit di atas Colosseum bergemuruh lembut. Bayangan rasi bintang perlahan tampak di antara awan, seolah menatap dari kejauhan.
Virgo menatap ke sekeliling, matanya berkilau bagai samudra ungu.
“Dan di sini aku melihatnya. Pergesekan antar dimensi, antara dunia manusia dan mitologi. Pertarungan yang tak seharusnya ada. Tabir yang robek karena keserakahan proyek kalian, Proyek Helios. Sebuah ambisi yang tak hanya mengusik bumi, tapi mengguncang keseimbangan semesta.”
Kata-katanya melayang lembut, namun setiap hurufnya menampar hati dengan kejujuran telanjang.
Presiden menunduk dalam-dalam, merasa kecil di hadapan makhluk yang bahkan bukan berasal dari dunia manapun. Sementara The Ancient One memejamkan matanya, mencoba menenangkan denyut emosinya yang bergejolak.
Dan untuk sesaat, tak ada yang berani bersuara.
Yang terdengar hanyalah napas, lembut dan sinkron. Seolah seluruh ras, seluruh makhluk, seluruh entitas yang hadir di bawah langit itu kini berbagi satu napas yang sama.
Langit mendung tetap bergelayut, tapi kini terasa berbeda. Bukan pertanda murka, melainkan pertanda awal penilaian.
Virgo menatap lurus ke arah dua pemimpin dunia itu, lalu menambahkan dengan nada yang lebih tenang namun tak kehilangan kekuatannya:
“Kini, aku akan menimbang bukan hanya dosa, tapi juga harapan.”
Ni mungkin lebih alami dan baik kalo dirimu gak maksa make gpt buat proofreading paksa
Jangan dipaksa, manual aja, suruh dia koreksi/nyari typo, habis tuh benerin sendiri manual, kelihatan entar kemampuanmu yang asli ama kagak
mampir nih .
peperangan di abad serba canggih yah !