Ivana Joevanca, seorang wanita ceria dan penuh ide-ide licik, terpaksa menikah dengan Calix Theodore, seorang CEO tampan kaya raya namun sangat dingin dan kaku, karena tuntutan keluarga. Pernikahan ini awalnya penuh dengan ketidakcocokan dan pertengkaran lucu. Namun, di balik kekacauan dan kesalahpahaman, muncul percikan-percikan cinta yang tak terduga. Mereka harus belajar untuk saling memahami dan menghargai, sambil menghadapi berbagai tantangan dan komedi situasi yang menggelitik. Rahasia kecil dan intrik yang menguras emosi akan menambah bumbu cerita.
“Ayo bercerai. Aku … sudah terlalu lama menjadi bebanmu.”
Nada suara Ivy bergetar, namun matanya menatap penuh keteguhan. Tidak ada tangis, hanya kelelahan yang dalam.
Apa jadinya jika rumah tangga yang tak dibangun dengan cinta … perlahan jadi tempat pulang? Bagaimana jika pernikahan ini hanyalah panggung, dan mereka akhirnya lupa berpura-pura?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rosee_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24 - Malam yang Menjerat
Malam merambat semakin hening.
Ivy menggeliat kecil, lalu perlahan membuka mata. Lampu kamar sudah redup, hanya temaram lampu tidur yang menemani. Ia terdiam sejenak, mencoba memahami keadaan.
Terakhir yang ia ingat… ia masih di sofa ruang tamu. Jadi kenapa sekarang sudah terbaring di ranjang, dengan kaus tidur yang nyaman menempel di tubuhnya?
Tangannya menyentuh kain itu, keningnya mengernyit. “Bajuku?” gumamnya pelan.
Ia duduk perlahan, memandang sekeliling. Ranjang rapi, selimut tertata menutup sebagian tubuhnya. Di meja samping, segelas air putih baru saja diletakkan.
Pandangan Ivy teralihkan ketika mendengar suara pintu kamar mandi terbuka. Dari sana, Calix keluar dengan rambut basah, setetes air masih menuruni garis rahangnya. Hanya selembar handuk melilit di pinggang, menampakkan dada bidang dan otot perut yang masih berkilau basah.
Mata Ivy terpaku. Seketika kantuk yang masih menggantung sirna, digantikan dengan rasa terpesona yang menusuk dada.
Basahnya rambut Calix, tetesan air yang menuruni garis rahangnya, hingga lekuk dada bidang yang tampak sempurna di bawah cahaya temaram—semua itu membuat Ivy seakan lupa bernapas.
“Uh …” suara kecil lolos dari bibirnya, antara kagum dan gemas.
Calix baru saja mengibaskan handuk kecil ke rambutnya ketika ia sadar istrinya sudah bangun. Tatapan dinginnya sempat terarah pada Ivy, tapi ia tidak berkata apa-apa, hanya berjalan pelan menuju lemari.
Namun Ivy, dengan kebiasaan manjanya setiap bangun tidur, sudah lebih dulu meraih selimut lalu menyibakkannya. Ia melangkah turun dari ranjang dengan gerakan malas tapi pasti, mendekat ke arah suaminya.
“Sayang …” suaranya serak manja, nyaris seperti rengekan. Tangannya terulur, jelas penuh keinginan. “Aku ingin sentuh!” Tatapannya tertuju tepat pada dada bidang Calix, seolah tak berniat menyembunyikan sama sekali rasa ingin tahunya.
Wajahnya antara manja dan malu, tapi matanya jelas tak berkedip.
Calix menunduk sedikit, menatap istrinya yang tengah terpana. Alih-alih menyingkir, pria itu justru condong ke arahnya, membuat jarak mereka semakin dekat.
Calix menangkap pergelangan tangannya dan dengan sengaja menempelkan telapak tangan Ivy ke dada bidangnya yang masih basah.
"Begini maksudmu?” ucapnya, suara beratnya bercampur ejekan halus. “Hm … kamu kelihatan menikmatinya.”
Ivy merona, tapi bukannya menarik tangan, ia justru menggerakkan jemarinya, seolah menguji kerasnya otot suaminya. “Aku cuma penasaran,” bantahnya dengan nada manja.
Memangnya bukan tanpa alasan ia ingin selalu memeluk suaminya? Inilah alasannya! Alasan yang tidak boleh di sia-siakan di depan mata ini.
Calix mendekatkan wajahnya, hampir menempel di telinga Ivy. Senyum tipis yang jarang muncul terlukis di bibirnya.
“Kalau begitu,” bisiknya. “Jangan salahkan aku kalau aku menuntut hal yang sama.”
Ivy masih dengan santainya menelusuri dada suaminya, seolah tak sadar betapa dekat wajah mereka sekarang, mengabaikan ucapan itu. Ia tahu Calix hanya menggoda.
“Kenapa harus mandi tengah malam?” bisiknya manja, jari telunjuknya menggambar lingkaran kecil di otot perut Calix. “Mau pamer, ya?” Walau sebenarnya tidak mungkin. Ia pun mengerti pria ini baru saja kembali bekerja.
Calix menunduk, satu alisnya terangkat, sorot matanya setengah geli setengah berbahaya. “Mungkin aku sengaja, agar ada seseorang yang tidak bisa menahan diri.”
Pipi Ivy memanas, tapi ia tidak mau kalah. Ia pura-pura manyun, lalu menggeser tangannya naik, menyentuh bahu bidang Calix. “Hm, tidak salah. Suami tampan memang enak dilihat. Tapi jangan salahkan aku kalau jadi keterusan.”
Calix mendekat perlahan, membiarkan napas hangatnya menyapu wajah Ivy. “Keterusan seperti apa, hm?” suaranya nyaris berbisik, tapi mengguncang jantung Ivy.
Ivy menelan ludah, namun tetap menatap suaminya dengan senyum menantang. “Seperti —ini.” Ia mencubit kecil sisi perut Calix lalu cepat-cepat mundur sambil cekikikan.
Calix refleks meraih pergelangan tangannya, menahannya dengan mudah. Senyum tipisnya makin jelas. “Berani sekali kau.”
Ivy memiringkan kepala, pura-pura polos. “Kenapa? Tidak boleh?”
Calix menunduk lebih dekat, hidungnya nyaris menyentuh kening Ivy. “Tentu boleh. Sangat boleh, asal kau siap dengan konsekuensinya.”
Ivy masih berusaha mengalihkan dengan senyum manisnya. “Konsekuensi? Kau terlalu suka menggertak,” ucapnya, tangannya dengan berani kembali menelusuri dada bidang Calix, pura-pura tak gentar.
Calix hanya menatapnya lama, senyum tipis tak pernah pudar. Dalam sekejap, ia menarik Ivy mendekat, tubuhnya terperangkap di antara lengannya yang kuat. “Aku tidak menggertak,” suaranya dalam, berbisik tepat di telinga Ivy, membuat bulu kuduknya meremang.
Ivy sempat terdiam, lalu mencoba balas dengan nada manja. “Co — coba saja.”
Ucapan itu jadi bumerang. Calix menunduk tanpa ragu, mencium bibir Ivy dengan penuh tuntutan. Tidak ada ruang untuk menghindar, tidak ada jeda bagi Ivy untuk mengatur napas. Ia hanya bisa pasrah dalam pelukan yang makin erat, sambil tubuhnya perlahan kehilangan kekuatan untuk melawan.
Ivy sempat menepuk dada Calix, bermaksud bercanda, tapi malah terseret makin dalam. Napasnya tercekat, dan akhirnya ia hanya bisa menggenggam erat lengan suaminya, mencoba menyeimbangkan diri.
Calix memutus ciuman sejenak, menatap Ivy dari jarak sangat dekat. “Masih mau main-main denganku?” tanyanya rendah, suaranya serak.
Wajah Ivy memerah, matanya berkilat namun kini tak setegar tadi. Tatapannya menajam, wajahnya semakin mendekat hingga Ivy bisa merasakan hembusan napas hangat di bibir. “Kau sendiri yang menantang.”
Tanpa memberi waktu, Calix menunduk dan merebut bibirnya. Ciuman itu dalam, menuntut, menenggelamkan. Ivy sempat tersentak, tapi tubuhnya cepat luluh, melingkarkan tangan di leher Calix — hanya untuk segera ditangkap lagi, dipaku di sisi ranjang.
Calix mendorongnya perlahan ke bantal, tubuhnya menindih dengan berat penuh kuasa. Ivy menggeliat kecil, separuh menolak, separuh menyerah. “Ca — Calix…”
“Diam.” Satu kata itu terdengar begitu tegas, membuat Ivy refleks menggigit bibirnya sendiri. Sorot mata Calix tak memberinya ruang kabur, hanya membuatnya makin terperangkap.
Setiap ciuman berikutnya lebih dalam, setiap sentuhan lebih menuntut. Jemari Calix bergerak tanpa ragu, menguasai tiap inci tubuh Ivy, seolah menandai bahwa ini miliknya. Ivy hanya bisa mendesah, manja sekaligus kewalahan, tubuhnya mengikuti ritme yang ditentukan sepenuhnya oleh Calix.
Ia mencoba menggoda balik, meraba punggung suaminya — namun Calix langsung menekan tangannya ke atas kepala, menahan agar Ivy tetap berada di bawah kendali. “Jangan coba-coba. Malam ini, kau yang harus menyerah. Aku menagih dirimu yang kemarin."
Ivy terengah, matanya basah, napasnya bergetar di antara kecupan yang tak memberinya kesempatan bicara. Seluruh tubuhnya digiring dalam irama yang hanya Calix tentukan. Hingga akhirnya, segala manja dan protes yang tadi keluar dari bibirnya berubah menjadi erangan lirih, pasrah sepenuhnya dalam dominasi sang suami.
Dan ketika segalanya mencapai puncak, Calix tetap menatapnya, sorot dingin yang berubah menjadi api tak terbendung. Seakan ia ingin memastikan satu hal. Bahwa Ivy tidak pernah bisa lari, tidak pernah bisa menang, dan tidak pernah bisa melupakan siapa yang menggenggam penuh dirinya.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
mungkin si ivy klo melek jg bakal meleyot ya /Applaud/emhh manisnya abang cal/Kiss/
semangat kaka sehat selalu
pliss thor jangan sampai hiatus lagi yaa and jaga kesehatan selalu
smangat 💪💪💪